Breaking News

Tedi Yusnanda: Pangandaran Harus Lepas dari Bayangan Kekuasaan Lama


www.jabarmedsos.com – Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N, menilai langkah Presiden Prabowo Subianto yang kini mulai menegaskan kemandirian politik dan kebijakan nasional tanpa intervensi dari kekuasaan sebelumnya, menjadi contoh nyata kepemimpinan yang berani dan dewasa. Dalam pandangannya, hal ini seharusnya menjadi inspirasi bagi Bupati Pangandaran Citra Pitriyami dan Wakil Bupati Ino Darsono dalam menata ulang pemerintahan daerah yang selama bertahun-tahun diwarisi dari sistem lama yang tidak efisien dan sarat persoalan akuntabilitas.

“Prabowo telah memberi pelajaran penting: bahwa kepemimpinan sejati tidak diukur dari seberapa besar loyalitas kepada pendahulu, tapi dari seberapa berani memperbaiki kesalahan masa lalu,” ujar Tedi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (11/10/2025).

Menurut Tedi, langkah Presiden Prabowo mengevaluasi bahkan mengoreksi kebijakan lama Presiden Joko Widodo menunjukkan arah baru pemerintahan nasional yang ingin menegakkan kemandirian kebijakan dan supremasi kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok politik. Padahal, dalam Pilpres 2024, Prabowo diusung oleh koalisi yang juga melibatkan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, sebagai calon wakil presiden. Namun setelah menjabat, Prabowo justru menunjukkan keberanian politik untuk meninjau ulang sejumlah kebijakan yang dinilai tidak relevan dan membatasi ruang intervensi politik lama.

“Keberanian Prabowo memutus bayangan kekuasaan Jokowi bukan tindakan konfrontatif, tetapi afirmasi terhadap kedaulatan kepemimpinan. Di sini letak kedewasaan politiknya. Ia menegaskan bahwa mandat rakyat lebih tinggi daripada warisan kekuasaan,” kata Tedi.

Ia menegaskan, spirit yang sama harus menjadi teladan di tingkat daerah, terutama di Pangandaran yang kini menghadapi realitas defisit fiskal dan warisan tata kelola keuangan yang buruk. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun Anggaran 2024, keuangan Kabupaten Pangandaran menunjukkan kondisi memprihatinkan: dari total APBD Rp1,9 triliun, terdapat defisit Rp260,5 miliar, atau setara 13,7 persen dana publik yang tidak sampai ke rakyat.

Tedi Yusnanda N (Sarasa Institute) 

“Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi bukti bahwa pemerintahan sebelumnya gagal menegakkan disiplin fiskal,” ujar Tedi.

Dalam laporan tersebut, BPK menemukan tiga hal krusial. Pertama, dana transfer pusat Rp188,1 miliar yang semestinya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pembangunan desa, justru dipakai menutup defisit kas daerah. Tindakan ini, kata Tedi, jelas melanggar Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta Pasal 298 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kedua, muncul utang jangka pendek senilai Rp49,8 miliar yang menjerat RSUD, belanja barang/jasa, hingga bunga pinjaman daerah. “Ini praktik gali lubang tutup lubang yang menyalahi Pasal 28 UU Keuangan Negara. Akibatnya, pelayanan publik menurun—bahkan RSUD menunggak Rp17,8 miliar dan pasien harus membeli obat sendiri,” ungkapnya.

Ketiga, belanja modal senilai Rp22,6 miliar tidak sesuai dengan kondisi fisik lapangan. Jalan-jalan yang rusak, irigasi yang tak berfungsi, dan jembatan yang cepat retak menunjukkan lemahnya kontrol teknis dan dugaan penyimpangan kontraktual. “Ini bisa masuk ke ranah Pasal 78 Perpres 16/2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dan Pasal 3 UU Tipikor,” lanjut Tedi.

Lebih jauh, Tedi menilai, temuan berulang dengan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) tiga tahun berturut-turut (2022–2024) menandakan adanya pola kesalahan sistemik, bukan sekadar kelalaian administrasi. “Ketika kesalahan yang sama terjadi setiap tahun, itu bukan lagi ketidaktahuan, tapi kesengajaan yang dilembagakan,” ujarnya tegas.

Ia juga menyinggung kasus dugaan korupsi dalam tata kelola tiket wisata Pangandaran yang hingga kini belum jelas penanganannya. “Kasus tiket wisata itu seperti bayangan yang tak mau hilang dari tubuh pemerintahan daerah. Jika pola lama dibiarkan, kepercayaan publik akan terus menurun, dan Pangandaran akan sulit bangkit dari defisit moral dan fiskal,” ujar Tedi mengingatkan.

Karena itu, ia menilai tagline ‘Melanjutkan Lebih Pesat’ yang diusung Bupati Citra Pitriyami harus dimaknai bukan sebagai kontinuitas politik, tetapi sebagai akselerasi perbaikan struktural. “Melanjutkan bukan berarti meneruskan kesalahan lama. Pesat itu harus berarti perubahan yang terukur, transparan, dan berpihak pada rakyat,” ujarnya.

Menurut Tedi, dalam usia ke-13 tahun Kabupaten Pangandaran, masyarakat memiliki hak untuk menagih cita-cita awal pemekaran: pemerintahan yang bersih, mandiri, dan mensejahterakan. “Dulu Pangandaran memisahkan diri dari Ciamis karena ingin lebih cepat berkembang. Tapi yang terjadi justru stagnasi karena warisan sistem lama yang menjerat birokrasi dan politik anggaran,” katanya.

Dalam perspektif teori kritis kepemimpinan, Tedi mengutip pandangan Max Horkheimer dan Herbert Marcuse, bahwa kepemimpinan sejati harus berani “melampaui struktur lama” (to transcend the structure) agar tidak menjadi bagian dari sistem penindasan yang diwarisi. “Dalam konteks ini, baik Prabowo di pusat maupun Citra Pitriyami di daerah harus menegaskan independensi kekuasaannya dari pengaruh struktural masa lalu. Itu bukan pembangkangan, tapi penegasan eksistensi kepemimpinan yang rasional dan berdaulat,” ujarnya menutup percakapan.

No comments