Breaking News

Federasi Buminu Sarbumusi dan Jalan Panjang Memutus Rantai TPPO dari Desa hingga Istana

Jabarmedsos.com - Tidak ada kejahatan modern yang begitu rapi menyaru sebagai kebaikan seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) berkedok lowongan kerja ke luar negeri. Di desa-desa yang sunyi, di WhatsApp Group keluarga, di brosur pelatihan instan, hingga di kantor yang mengaku sebagai “agen resmi”, TPPO bekerja dengan wajah ramah: menjanjikan pekerjaan. Namun di balik senyum para perekrut, terbentang jaringan eksploitasi yang mencabut hak dasar manusia, bahkan kerap merampas nyawa. Karena itu, Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menyebut TPPO sebagai “praktik paling keji terhadap kemanusiaan dalam era migrasi buruh modern”. Sebuah kejahatan berlapis yang tidak hanya merampas tubuh, tetapi juga masa depan.

Mengapa TPPO Sulit Diberantas? Sebuah Kritik terhadap Regulasi yang Mandek

Indonesia mengklaim memiliki payung hukum kuat melalui UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO dan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Tetapi seperti jam rusak yang diletakkan di ruang keluarga, regulasi ini lebih sering menjadi ornamen daripada perangkat yang bekerja.

Beberapa titik lemahnya jelas:

1. Mandat pencegahan tidak berjalan di desa, tempat perekrutan pertama kali terjadi. UU 18/2017 memang mewajibkan pembentukan Desa Migran Produktif (Desmigratif), namun implementasinya sporadis dan tidak menyentuh kantong-kantong pengiriman PMI terbesar.

2. Sponsor ilegal tetap bergerak bebas, bahkan sering dilindungi oknum aparat lokal. Regulasi tidak pernah benar-benar menutup celah perantara, hanya membatasi mereka—yang artinya tetap memberi ruang gerak.

3. Sanksi pidana dalam UU 21/2007 tidak disertai pengawasan sistematis. Penegak hukum bekerja berdasarkan laporan, bukan intelijen berbasis data risiko. TPPO pun bekerja seperti benalu yang piawai berpindah inang, memanfaatkan kelengahan sistem.

4. Model perlindungan masih bertumpu pada negara tujuan, padahal akar kejahatannya berada di Indonesia. Tanpa memutus rantai rekrutmen lokal, penindakan hanya akan menyapu permukaan.

Dalam ruang inilah TPPO tumbuh: regulasi lamban, pengawasan lemah, dan ekonomi desa yang rapuh.

Federasi Buminu Sarbumusi: Aktivisme yang Menggerakkan Negara

Ali Nurdin dan Federasi Buminu Sarbumusi tidak mengajukan wacana normatif atau retorika seminar. Mereka mendorong perubahan struktural yang menyentuh level terendah hingga tertinggi: dari balai desa sampai kementerian. Menurut Ali Nurdin:

“Pemberantasan TPPO tidak bisa hanya mengandalkan aparat. Buruh migran, aktivis, dan masyarakat desa harus membentuk barisan terdepan. Negara hadir sebagai penguat, bukan sekadar penanggap laporan.” (Ali Nurdin, Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi) 

Sikap itu menegaskan bahwa akar TPPO berada pada relasi kuasa dan ekonomi yang timpang. Aktivisme adalah kunci yang membongkar apa yang selama ini dianggap sebagai “jalur kerja informal”.

Strategi Pemutusan Rantai TPPO: Menyisir Desa, Menekan Negara

1. Menghapus dominasi sponsor ilegal di desa
Sebagian besar kasus TPPO dimulai dari pintu rumah: sponsor datang membawa janji gaji besar. Federasi Buminu Sarbumusi mendorong:
a) pendataan ulang seluruh sponsor dan calo,
b) penutupan jalur rekrutmen non-prosedural,
c) sanksi langsung terhadap kepala desa yang membiarkan praktik ilegal berjalan. TPPO tidak akan runtuh bila tokoh desa masih menjadi pelindung.

2. Membangun koalisi aktivis–PMI–pemerintah desa
Koalisi ini menjadi mata dan telinga lapangan. Ali Nurdin menyebutnya “Posko Kesadaran”, sebuah konsep di mana edukasi migrasi aman dilakukan bukan hanya oleh pemerintah, tetapi oleh mereka yang pernah menjadi korban atau penyintas.

3. Revisi UU 18/2017 dan harmonisasi dengan UU 21/2007
Regulasi yang tumpang tindih membuat celah luas bagi mafia TPPO. Federasi Buminu Sarbumusi mengusulkan:
a) penghapusan total perantara non-lisensi,
b) aturan ketat verifikasi pemberangkatan berbasis NIK dan satu data PMI,
c) audit independen terhadap semua perusahaan penempatan PMI.

4. Penegakan hukum berbasis intelijen, bukan laporan
TPPO bekerja senyap, sehingga negara tidak boleh bergerak lambat. Diperlukan:
a) patroli siber untuk menindak lowongan fiktif,
b) investigasi keuangan untuk membongkar aliran dana sponsor,
c) sweeping berkala ke titik rawan perekrutan.

5. Media sebagai alat pembongkar jaringan
Salah satu kekuatan TPPO adalah kegelapan informasi. Media harus menjadi penerang, bukan sekadar pemberita insiden. Federasi Buminu Sarbumusi menempatkan media sebagai sekutu strategis untuk menyebarkan narasi perlindungan, bukan sekadar sensasi.

Mengapa Aktivis Buruh Migran Justru Menjadi Kekuatan Kunci?

Negara memiliki kewenangan, tetapi aktivis memiliki pengetahuan lapangan. Buruh migran memiliki pengalaman. Ketiganya membentuk trinitas yang menentukan apakah TPPO bisa dilumpuhkan atau dibiarkan tumbuh.

Jika negara adalah mesin, maka aktivis adalah alarm, dan PMI adalah kompas moral.

Ali Nurdin menegaskan:

“Tidak ada kebijakan anti-TPPO yang berhasil tanpa keterlibatan korban dan calon korban. Mereka tahu bagaimana jaringan bekerja, siapa calonya, dan bagaimana janji-janji itu menjebak.”

Itulah keunggulan aktivisme: ia mengubah pengalaman pahit menjadi kekuatan sosial.

Pemberantasan TPPO Harus Dimulai dari Tempat yang Paling Sederhana: Desa

TPPO bukan kejahatan biasa. Ia adalah industri gelap miliaran rupiah, transnasional, terorganisasi, dan beroperasi melalui struktur sosial yang lemah. Karena itu, strategi melawannya tidak bisa dimulai di bandara atau kantor imigrasi. Ia harus dimulai di halaman rumah warga, di kantor desa, di ruang-ruang tempat sponsor menawarkan harapan palsu.

Federasi Buminu Sarbumusi berdiri di garis depan, mengingatkan bahwa pemberantasan TPPO adalah ujian moral sebuah bangsa. Ketika buruh migran masih dijual atas nama pekerjaan, Indonesia belum selesai menjadi negara.

No comments