Breaking News

Ketika Bangsa Beradab Kembali ke Zaman Batu: Pribumi vs Pendatang, SARA ala Manusia Modern Berotak Purba (Oleh Redaksi)

jabarmedsos.com - Di sebuah republik yang penuh slogan “maju,” ada satu gejala yang tak kunjung mati: kerinduan sebagian orang untuk kembali hidup dengan logika zaman batu. Di masa ketika teknologi berbicara dalam algoritma, sebagian warga justru berbicara dengan diksi pra-peradaban, menghidupkan kembali istilah pribumi dan pendatang sebagai alat pukul sosial–politik, seolah-olah bangsa ini belum punya pengalaman pahit sejarah yang cukup untuk mengajar.

Padahal negara ini, lewat Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 dan kemudian ditegaskan melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, telah melarang penggunaan istilah yang memecah belah itu. Negara menggantinya dengan istilah Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai identitas tunggal. Sederhana: untuk memastikan bahwa kita adalah bangsa, bukan kawanan suku-suku yang siap saling bantai hanya karena narasi etnis.

Namun logika hukum kadang kalah oleh romantisme primitif. Dan di sanalah kisah satire ini bermula.

Mitos Lama yang Selalu Dipoles Ulang

Dalam banyak kebudayaan kuno, ada mitos tentang manusia yang memakai dua wajah: satu wajah untuk sesamanya, satu wajah untuk “kaum lain.” Di Yunani kuno, muncul cerita tentang Cyclops, kaum bermata satu yang digambarkan hanya melihat satu sisi dunia: “kita” dan “bukan kita.” Sementara antropolog Clifford Geertz pernah menulis bahwa masyarakat yang belum matang secara politik kerap hidup dalam “primordialism,” yaitu dorongan naluriah untuk mengutamakan kelompok asal sebagai identitas absolut.

Ironisnya, fenomena itu kini hidup di tengah masyarakat yang mengaku modern. Menyebut seseorang “pendatang” bukan lagi fakta geografis, melainkan senjata sosial. Istilah itu dipakai untuk menandai siapa yang berhak bicara, siapa yang boleh hidup, bahkan siapa yang dianggap “lebih asli” persis seperti ritus tribal masa lampau ketika manusia purba menjaga wilayah berburu.

Padahal antropologi modern menjelaskan, seperti ditulis Benedict Anderson, bahwa negara-bangsa adalah “imagined community” komunitas politik yang dibayangkan, bukan garis suku yang diwariskan. Identitas kebangsaan adalah konstruksi kolektif, bukan urat leher yang ditarik dari silsilah ratusan tahun.

Namun tampaknya sebagian warga masih ingin menegaskan keasliannya seperti suku-suku dalam mitos Inca yang percaya bahwa mereka muncul langsung dari matahari. Bedanya, mereka melakukannya sambil memegang smartphone.

Sejarah yang Diulang Karena Tak Pernah Dipahami

Sejarah Indonesia tak kekurangan trauma akibat kategorisasi sosial semacam ini. Tragedi 1965, ketegangan sosial 1998, hingga konflik horizontal di berbagai daerah menunjukkan betapa mudahnya bangsa ini meledak jika bara identitas disulut.

Karena itu, seusai peristiwa 1998, pemerintah sadar bahwa retorika “pribumi vs non-pribumi” adalah bahan bakar konflik. Maka lahirlah Inpres 26/1998: pelarangan absolut terhadap istilah tersebut dalam administrasi publik maupun pernyataan resmi. Lalu UU 40/2008 memperjelasnya: segala tindakan, ucapan, atau kebijakan yang berbasis ras/etnis adalah diskriminatif dan melanggar hukum.

Namun hukum tidak pernah menang dari fantasi jika masyarakat lebih percaya pada dongeng konflik leluhur ketimbang akal sehat. Alienasi sosial, kecemasan ekonomi, dan kompetisi politik sering membuat orang kembali pada logika tribalisme: siapa “kami,” siapa “mereka.”

Maka muncullah kembali istilah yang lama dikubur. Bersama satu fenomena yang tak kalah absurd: benturan “mata elang” dalam menagih utang, yang entah bagaimana, dengan kreativitas khas media sosial, berkembang menjadi isu SARA. Dari persoalan menagih uang, tiba-tiba melompat menjadi persoalan “kelompok mana yang asli dan mana yang tamu.”

Dalam masyarakat primitif, konflik antar-kelompok selalu dimulai dari hal remeh: berebut air di sungai, berebut rusa, berebut gua. Kini, rupanya, berebut narasi menjadi sumber konflik upgraded version.

Teori yang Menjelaskan Betapa Mudahnya Kita Tergelincir

Sosiolog modern seperti Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa istilah identitas bisa menjadi “symbolic violence”, kekerasan simbolik, yang tidak terlihat, tetapi merusak relasi sosial. Menyebut orang lain sebagai “pendatang” adalah cara halus untuk mengusir mereka dari percakapan publik.

Sementara teori psikologi evolusioner menyebut bahwa manusia memiliki evolutionary baggage: bias pramodern yang diwariskan nenek moyang pemburu-peramu. Ini membuat manusia modern, meskipun mengenakan pakaian bermerek dan hidup di kota megapolitan, tetap memendam kecenderungan berpikir “kami vs mereka.”

Atau seperti yang ditulis antropolog Richard Wrangham, manusia modern sering tampak beradab hanya karena negara menahan nalurinya. Ketika negara tak hadir, atau media sosial memberi panggung, naluri purba itu keluar, lengkap dengan aksesoris digital.

Primitif dalam Balutan Jaket Modern

Maka ketika seseorang hari ini berteriak di ruang publik:

“Kami pribumi, mereka pendatang!”

yang terdengar sebenarnya bukan suara WNI abad ke-21. Melainkan gema nenek moyang yang hidup 12.000 tahun lalu, menjaga batas wilayah dari suku sebelah agar tidak mencuri umbi-umbian.

Perbedaan utamanya: 
"dulu orang-orang itu telanjang dada, kini mereka memakai kemeja rapih, jaket mahal, dan memegang ponsel 5G."

Menyebut orang lain “pendatang” di negara kepulauan yang seluruh penduduknya berasal dari migrasi berlapis-lapis sejak zaman Austronesia adalah ironi paling besar dalam sejarah kebodohan manusia. Kita semua pada dasarnya adalah pendatang yang datang lebih dulu atau lebih belakangan. Bahkan fosil manusia tertua di Nusantara pun bukan Homo sapiens, melainkan spesies lain.

Maka jika masih ada yang mengaku “paling asli,” mungkin ia perlu diuji DNA-nya, siapa tahu justru lebih dekat dengan turunan kolonial daripada tetangga yang ia sebut “pendatang.”

Bangsa Modern, Kepala Primitif

Fenomena bangkitnya kembali istilah pribumi vs pendatang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia hidup dalam tubuh abad 21 dengan otak abad batu. Negara sudah memerintahkan sejak 1998, hukum menegaskan tahun 2008, sejarah memperingatkan berkali-kali, antropolog dunia menuliskannya dalam ratusan buku, tetapi narasi SARA tetap menjadi komoditas politik dan amunisi konflik sosial.

Dalam republik yang semakin digital,
kita justru semakin mudah tergelincir ke kedunguan analog: mengulang konflik yang seharusnya sudah tamat.

Dan jika kita tidak hati-hati, istilah “WNI” yang inklusif itu bisa terkubur oleh romantisme tribalisme yang dibungkus bahasa modern. Sebuah tragedi, tentu saja, namun tragedi yang begitu mudah berubah menjadi komedi.

Komedi tentang bangsa beradab
yang gemar berpikir seperti manusia purba yang baru menemukan kata-kata.

No comments