Jejak Susuk: Dari Mitos Purba, Ruang Ritual Melayu, Hingga Meja Radiologi Modern (Oleh Redaksi)
Jabarmedsos.com - Di negeri yang tanahnya disiram legenda dan lautnya dibingkai cerita nenek moyang, susuk selalu hadir sebagai bisik-bisik yang tidak pernah benar-benar hilang. Ia hidup laksana bayangan, setengah mitos, setengah fakta. Di masa ketika manusia membangun pesawat antariksa dan kecerdasan buatan, susuk masih diselipkan diam-diam ke tubuh seseorang untuk kecantikan, karisma, keberanian, bahkan proteksi. Bagi sebagian orang, susuk adalah anomali: warisan masa lampau yang seharusnya tenggelam bersama takhayul. Namun bagi sebagian lain, susuk adalah bagian dari pengetahuan lokal yang bertahan justru karena memberikan jawaban atas rasa cemas manusia yang tidak pernah selesai.
Susuk bukan sekadar “jarum gaib” yang diperbincangkan dalam cerita pelayan salon atau ritual rahasia para selebritas. Ia adalah entitas budaya yang panjang jejaknya; jejak yang bisa ditelusuri dalam manuskrip etnografi Melayu abad ke-19, narasi antropologi kolonial, tradisi dukun kampung, dan, di era modern, laporan rontgen dalam jurnal kedokteran.
Di balik tirai mistik yang membungkusnya, susuk memiliki sejarah yang dapat dipetakan. Tradisi Melayu mencatat praktik memasukkan benda-benda kecil ke tubuh, logam halus, serpih emas, benang perak, hingga tulang atau biji tertentu, sebagai “penyemat daya”. Antropolog Belanda pada masa kolonial mencatat bentuk ritual ini di Sumatra, Semenanjung Tanah Melayu, Kalimantan Barat, hingga pesisir Borneo. Di Jawa, Bali, Madura, dan Lombok, keyakinan terhadap kekuatan benda kecil yang “ditanam” juga ditemukan dalam variasi yang beragam. Motifnya selalu sama: harapan untuk memperoleh sesuatu yang tidak diberikan oleh keadaan, kecantikan yang tak pudar, kewibawaan yang tidak dibantah, perlindungan yang tidak terlihat.
Namun penjelasan paling menarik justru datang dari teori antropologi kontemporer. Dalam tradisi struktur simbolik Clifford Geertz, susuk adalah model of sekaligus model for, model dari dunia yang dipahami masyarakat, sekaligus model bagi tindakan mereka. Di dunia yang penuh ketidakpastian, manusia mencari “kendali simbolik”. Dan susuk memberikan rasa bahwa tubuh bisa dinegosiasi ulang dengan alam semesta.
Dengan kata lain, susuk adalah cara manusia menjawab pertanyaan yang tak pernah selesai: bagaimana mengatasi nasib?
Meski hidup di ranah kepercayaan, susuk sesungguhnya sudah lama tidak lagi “gaib” di mata sains. Benda asing di tubuh dapat terekam rontgen dan CT scan secara jelas. Di beberapa rumah sakit besar di Indonesia dan Malaysia, dokter radiologi beberapa kali melaporkan temuan benda logam tipis sepanjang 0,5–1 cm berada di pipi, rahang, bibir, lengan, hingga dada pasien. Banyak pasien yang datang bukan karena ingin melepas susuk, melainkan karena infeksi lokal, nyeri, migrasi benda asing yang bergerak ke jaringan lebih dalam, atau komplikasi kosmetik.
Beberapa publikasi kedokteran gigi mencatat kasus pasien yang sulit membuka rahang akibat benda tipis yang tertanam di jaringan submukosa mulut. Dalam laporan bedah minor, dokter menemukan serpihan logam yang terbungkus jaringan granulasi, menandakan tubuh berusaha “mengasingkan” benda tersebut seperti menyerang infeksi. Seorang dokter THT pernah menulis temuan susuk yang menimbulkan peradangan kronis pada rongga hidung. Fenomena ini membuat susuk tidak lagi bisa diperlakukan semata sebagai “cerita gaib”; ia memiliki konsekuensi klinis yang dapat diverifikasi.
Sains memberi fakta: benda asing, apa pun itu, memiliki efek biologis. Tubuh bukan sekadar wadah ritual, ia adalah sistem imun yang responsif.
Di tengah perkembangan sains, masyarakat masih memadukan kepercayaan dan modernitas dengan cara yang unik. Di satu sisi, para ahli medis menjelaskan susuk dalam bahasa inflamasi dan jaringan lunak; di sisi lain, dunia kepercayaan membahas pantangan, syarat batin, dan “resep” metafisik. Dalam banyak wawancara etnografis, pemakai susuk bukan hanya mencari kecantikan, tetapi ketenangan psikologis: keyakinan bahwa mereka kini memiliki “pegangan”. Dari perspektif psikologi budaya, efek yang dirasakan dapat masuk kategori placebo belief effect, ketika keyakinan terhadap ritual memicu perubahan sikap diri, kepercayaan diri, dan ekspresi sosial.
Karena itu, di dunia selebritas Asia Tenggara, susuk pernah menjadi fenomena terselubung. Demi tampil “lebih bersinar”, beberapa artis dikabarkan memasang susuk mata, susuk pipi, hingga susuk suara. Beberapa akhirnya mengaku, sebagian membantah. Namun cerita terus tumbuh, karena di wilayah budaya ini, kecantikan dan karisma sering dibayangkan tidak hanya sebagai anugerah genetis, tetapi juga hasil “ilmu”.
Dalam perspektif agama, perdebatan tentang susuk berlangsung keras. Di komunitas Islam Nusantara, sebagian ulama mengharamkannya karena dianggap menyerahkan ajal diri kepada hal-hal yang berbau syirik. Ritual pelepasan susuk muncul sebagai bagian dari dakwah modern, menggunakan ruqyah, doa-doa tertentu, dan pendekatan psikoterapis Islami. Di pesantren dan majelis dakwah tertentu, praktik pengembalian susuk digambarkan sebagai “membersihkan diri dari kontrak batin yang tidak jelas statusnya”. Menariknya, banyak ritual pelepasan dilakukan bukan karena susuk menimbulkan bahaya medis, tetapi karena pemakai mulai merasa terbebani secara mental oleh pantangan yang menyertainya.
Susuk, dengan demikian, tidak hanya menyentuh tubuh, tetapi juga menyentuh moralitas.
Secara hukum, susuk berada di area abu-abu. Tidak ada undang-undang yang secara eksplisit mengatur “tanam susuk”, namun beberapa pasal dapat diterapkan jika praktik tersebut dilakukan dengan unsur penipuan, eksploitasi, atau melibatkan tindakan medis tanpa izin. Jika dukun melakukan pemasangan menggunakan alat medis steril atau sayatan minor tanpa izin praktik, ia dapat dikenakan pelanggaran praktik kedokteran ilegal. Jika pemasangan menyebabkan luka, infeksi, atau kecacatan, dapat timbul delik pidana. Jika susuk dipakai untuk menipu orang lain, misalnya dalam kasus “pengasihan berbayar” yang merugikan korban, pelaku dapat dijerat pasal penipuan dan perbuatan merugikan secara ekonomis.
Susuk, pada titik ini, menjadi persoalan publik, bukan hanya persoalan privat.
Dalam diskursus epistemologi sains, susuk adalah contoh menarik tentang bagaimana dua sistem pengetahuan berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan. Bagi ilmu kedokteran, susuk adalah foreign body, benda asing yang bereaksi dengan tubuh. Namun bagi antropologi budaya, susuk adalah konstruksi simbolik yang bertahan karena menjawab kebutuhan psikologis manusia. Kepercayaan berjalan pada jalurnya sendiri, sains berjalan pada jalurnya sendiri. Keduanya bertemu hanya di tubuh manusia, ruang paling intim yang bisa memuat makna dan fakta sekaligus.
Sebuah wawasan menarik muncul ketika orang-orang yang memakai susuk diwawancarai. Ada yang mengaku merasa lebih percaya diri. Ada yang merasa lebih “berdaya”. Ada juga yang akhirnya menyesal ketika usia tua membawa komplikasi kesehatan. Tetapi tidak satupun dari mereka menganggap susuk hanya benda logam. Susuk bagi mereka adalah harapan yang dipadatkan, lalu disematkan ke daging sendiri.
Pertanyaan terbesar yang mengakhiri laporan panjang ini bukanlah apakah susuk itu benar-benar “berkhasiat”. Pertanyaan itu justru terlalu sederhana. Pertanyaan yang lebih relevan adalah: mengapa manusia, sejak ribuan tahun lalu, selalu berusaha menanamkan sesuatu ke tubuhnya demi memperoleh hidup yang lebih baik? Dari tato suku kuno, jimat di rompi prajurit, cincin kepercayaan orang Yunani, hingga susuk di pipi perempuan Melayu, semuanya adalah upaya manusia memodifikasi tubuh agar sesuai dengan impian dan ketakutannya.
Susuk, pada akhirnya, bukan tentang logam kecil yang masuk ke jaringan lunak. Ia adalah kisah bagaimana manusia memagari dirinya dari dunia yang tidak pasti. Seutas logam yang hampir tak terlihat menjadi bukti bahwa antara mitos dan sains, manusia tetap mencari cara untuk merasa aman, cantik, dihargai, dan dicintai.
Dan selama kebutuhan-kebutuhan itu tetap abadi, susuk akan terus hidup, bukan hanya sebagai praktik kuno, tetapi sebagai refleksi terdalam dari kecemasan dan harapan manusia modern.
No comments