Survei Pemda Dinilai Sarat Masalah, Tedi Yusnanda N: “Harus Transparan, Jangan Jadi Proyek yang Mengarah ke Dugaan Korupsi”
Jabarmedsos.com – Polemik pelaksanaan survei oleh pemerintah daerah kembali menjadi sorotan. Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N., ketika dimintai pendapat melalui saluran telepon, memberikan analisis tajam. Ia menilai praktik survei kerap menyimpan persoalan serius, baik secara metodologis, teoritik, maupun dalam aspek keuangan negara.
“Survei pada dasarnya adalah instrumen metodologis untuk membaca realitas sosial. Dalam ilmu sosial, survei menuntut syarat akademik yang ketat: kejelasan populasi, sampel, metodologi, hingga validitas instrumen. Namun kenyataannya, survei sering dipakai bukan untuk diagnosis, melainkan legitimasi. Ia bukan alat untuk memahami publik, melainkan untuk membangun opini sesuai kepentingan pemesan,” tegas Tedi.
Ia menyinggung buku klasik How to Lie with Statistics karya Darrell Huff yang relevan dengan fenomena hari ini. “Buku itu dengan gamblang menunjukkan bagaimana data dan grafik bisa dimanipulasi. Misalnya margin of error dibiarkan kabur, atau sampel dipilih hanya untuk menguntungkan satu pihak. Di era post-truth seperti sekarang, fakta sering kalah dengan narasi. Survei bisa dipelintir menjadi amunisi politik, bukan refleksi realitas,” ujarnya.
Tedi juga menyoroti dimensi politik informasi. “Hari ini, teori komunikasi politik menyebut negara justru bisa menjadi produsen hoax terbesar. Negara memproduksi data, klaim, bahkan survei, untuk menciptakan persepsi yang menguntungkan pemerintah. Di satu sisi, publik melihatnya sebagai riset; di sisi lain, ia hanya skenario propaganda,” katanya.
Persoalan lain yang ia soroti adalah soal keuangan negara. “Kalau survei dilakukan oleh pemerintah daerah, pertanyaan publik yang paling mendasar adalah: dari pos anggaran mana biaya survei ini diambil? Sesuai UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap pengeluaran wajib ada dasar hukum, bukti lengkap, dan hanya untuk kegiatan yang sudah ditetapkan dalam APBN atau APBD. Ditambah lagi, Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dengan jelas menyebutkan syarat administratif dan substantif dalam setiap belanja daerah. Jadi, kalau pos anggarannya tidak jelas, publik berhak curiga,” ungkap Tedi.
Ia menambahkan, “Jangan sampai survei ini hanyalah proyek formalitas untuk menghabiskan anggaran. Kalau itu yang terjadi, maka bukan saja bermasalah secara etis, tapi juga potensial melanggar hukum. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas disebutkan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara bisa dipidana. Jadi kalau survei ini hanya sekadar proyek, kita bicara tentang potensi korupsi, bukan sekadar kelemahan metodologis.”
Sebagai contoh ringan, Tedi menyebut adanya survei kepuasan masyarakat yang hanya mengulang data lama, tapi tetap dicetak dalam laporan dengan grafik baru. “Saya pernah lihat kasus di mana survei dibuat hanya untuk memenuhi laporan. Data lama dipoles, grafik diganti warna, lalu dilaporkan sebagai hasil riset. Padahal tidak ada temuan baru. Ini kan sebenarnya bohong dengan statistik, sekadar mengakali publik,” katanya.
Menurutnya, kondisi semacam ini sangat berbahaya bagi demokrasi lokal. “Kalau masyarakat sudah tahu bahwa survei hanya jadi alat propaganda, maka kepercayaan publik runtuh. Survei yang seharusnya memberi arah kebijakan berubah menjadi senjata politik yang justru merusak legitimasi pemerintah,” jelasnya.
Tedi lalu menawarkan solusi. “Pertama, setiap survei harus diumumkan secara terbuka: siapa pelaksana, metodologi apa yang dipakai, siapa respondennya, dan untuk tujuan apa. Kedua, harus ada transparansi anggaran. Dari pos mana biaya survei diambil harus jelas, dan masyarakat bisa mengakses informasinya. Ketiga, lembaga independen harus dilibatkan. Jangan hanya melibatkan pihak yang dekat dengan pemerintah, karena itu hanya akan menghasilkan angka yang menguntungkan satu sisi saja.”
Ia menutup dengan peringatan keras: “Survei itu penting, tapi jangan dijadikan alat menipu publik. Kalau memang ingin memperbaiki kebijakan, lakukan dengan benar. Kalau hanya dijadikan proyek, apalagi kalau anggarannya tidak jelas, maka itu sudah masuk wilayah yang berpotensi pada tindak pidana korupsi. Ini yang harus kita cegah bersama.”
No comments