Tedi Yusnanda Nilai Evaluasi Dana Transfer oleh Purbaya Jadi Cermin Buram Defisit Pangandaran
jabarmedsos.com - Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N, menilai pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tentang evaluasi dana transfer daerah merupakan “tamparan keras” bagi pemerintah daerah yang gagal menjaga disiplin fiskal. Ia menyebut, kebijakan tersebut menjadi relevan sekaligus ironis, terutama jika dikaitkan dengan kondisi keuangan Kabupaten Pangandaran yang mengalami defisit anggaran melebihi batas ketentuan dan tiga tahun berturut-turut mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Evaluasi yang dilakukan Kementerian Keuangan seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, tapi sebagai cermin buram bagi daerah yang selama ini menutup lubang defisit dengan cara-cara administratif. Pangandaran harus jujur mengakui bahwa persoalan keuangannya bukan lagi teknis, melainkan struktural,” ujar Tedi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (14/10/2025).
Menurut Tedi, batas defisit anggaran daerah sebenarnya sudah diatur secara tegas dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2023, di mana defisit maksimal APBD ditetapkan sebesar 0,24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) secara kumulatif nasional. Sedangkan secara umum, PP Nomor 23 Tahun 2003 juga menegaskan bahwa total defisit kumulatif APBN dan APBD tidak boleh melebihi 3 persen dari PDB.
“Yang terjadi di Pangandaran justru jauh di atas itu. Berdasarkan LHP BPK, total defisit laten yang mencakup dana transfer pusat yang digunakan untuk menutup kas, utang jangka pendek, dan selisih belanja modal mencapai sekitar Rp260,5 miliar atau sekitar 13,7 persen dari total APBD. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bukti kegagalan tata kelola fiskal,” tegasnya.
Tedi juga mengkritik peran Bupati dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dinilainya “mengecilkan arti integritas fiskal.” Ia menjelaskan bahwa penggunaan dana earmarked seperti DAK dan DBH untuk menutup defisit kas merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Bupati itu pengguna anggaran tertinggi, dan TAPD adalah mesin teknisnya. Kalau dana pusat yang sudah ditentukan penggunaannya malah dipakai menutup kekurangan belanja lain, itu bukan hanya pelanggaran etika birokrasi tapi juga potensial pidana. Karena di situ ada unsur kesengajaan menyalahi aturan penggunaan anggaran,” kata Tedi.
Lebih lanjut, Tedi menilai DPRD Pangandaran turut memikul tanggung jawab moral dan politik karena tiga tahun berturut-turut membiarkan opini WDP tanpa langkah korektif nyata. Menurutnya, DPRD seharusnya menggunakan kewenangannya untuk melakukan audit politik dan hak angket, bukan sekadar menerima laporan pertanggungjawaban kepala daerah setiap akhir tahun.
“DPRD punya fungsi pengawasan, bukan seremoni pengesahan. Kalau sudah tiga tahun berturut-turut WDP, seharusnya ada tindakan tegas. Bisa berupa rekomendasi pembatasan belanja non-prioritas, pembentukan pansus, atau bahkan evaluasi terhadap TAPD,” ujarnya.
Tedi Yusnanda N (Sarasa Institute)Namun di tengah kritik tajam itu, Tedi juga menyampaikan sejumlah solusi alternatif yang menurutnya masih realistis dilakukan tanpa menunggu tindakan pusat. Ia mendorong agar Pemkab Pangandaran melakukan audit forensik independen, memisahkan rekening dana transfer dari kas umum daerah, dan melakukan rasionalisasi belanja secara menyeluruh.
“Yang harus dilakukan sekarang bukan menyalahkan evaluasi pusat, tapi memperbaiki diri. Pangandaran bisa memulai dari audit forensik, memisahkan dana yang bersifat khusus, dan menunda proyek-proyek yang tidak berdampak langsung pada pelayanan publik,” jelasnya.
Selain itu, Tedi juga menyarankan restrukturisasi utang daerah dan moratorium pinjaman baru agar beban jangka pendek tidak terus menekan kas. Ia menilai langkah-langkah itu perlu dibarengi dengan transparansi publik berbasis digital, di mana realisasi anggaran bisa dipantau masyarakat secara langsung melalui dashboard keuangan daerah.
“Kalau masyarakat bisa mengawasi langsung posisi kas dan realisasi belanja, praktik manipulasi akan sulit dilakukan. Transparansi itu obat paling mujarab bagi birokrasi yang sudah terbiasa bekerja dalam gelap,” tambahnya.
Tedi menutup keterangannya dengan nada tegas. “Evaluasi dari Purbaya jangan dianggap ancaman, tapi kesempatan untuk memperbaiki diri. Kalau Pangandaran berani jujur dan transparan, pusat tidak akan menarik dana. Tapi kalau terus menutupinya, maka evaluasi akan berubah menjadi intervensi. Dan itu sudah di ambang pintu,” pungkasnya.
No comments