Breaking News

"INDEKS KEPUASAN YANG PREMATUR" Oleh: Tedi Yusnanda N (pegiat Sarasa Institute dan aktif di Fokus Mapan)

Jabarmedsos.com - Ada sebuah angka yang dipajang besar di papan publikasi Bapenda Pangandaran: 87,75 persen, Baik. Angka ini, dalam kesan pertama, ingin menghadirkan citra pelayanan yang memuaskan, seolah masyarakat luas telah memberi tepuk tangan. Namun jika kita membuka lapisan metodologinya, tampak bahwa angka tersebut berdiri di atas pijakan yang rapuh.

Jumlah responden hanya 22 orang. Sementara Kabupaten Pangandaran dihuni oleh kurang lebih dari 300 ribu jiwa (BPS 2024). Bagaimana mungkin suara segelintir orang dapat dianggap mewakili denyut kepuasan ratusan ribu penduduk? Dalam teori sampling, inilah yang disebut sebagai bias representasi. Ibarat menakar rasa laut hanya dengan satu sendok, hasilnya tak akan pernah menggambarkan keseluruhan.

Komposisi responden pun tidak jelas. Disebut ada PNS dan TNI sebanyak tiga orang, swasta empat orang, dan sisanya, lima belas orang, dimasukkan ke dalam kategori “lainnya”. Kategori yang kabur ini menutup peluang untuk membaca siapa sebenarnya pengguna utama layanan Bapenda: apakah para wajib pajak, pedagang kecil, nelayan, ataukah pelaku usaha pariwisata. Padahal dalam PermenPAN-RB No. 14 Tahun 2017, penyusunan survei kepuasan masyarakat diwajibkan menggunakan instrumen baku dengan sembilan unsur layanan, mulai dari persyaratan, biaya, hingga sarana prasarana. Tanpa transparansi itu, angka yang diumumkan hanyalah deret persentase tanpa ruh analisis.

Lebih jauh, periode survei yang hanya berlangsung dua bulan, Mei hingga Juni, menyisakan pertanyaan. Apakah kepuasan masyarakat bisa dipotret hanya dalam satu musim? Bukankah ada fluktuasi yang muncul pada saat jatuh tempo pembayaran PBB, musim liburan wisata, atau momen masyarakat mengurus izin usaha? Dengan kata lain, survei ini bersifat parsial, hanya merekam fragmen, bukan keseluruhan dinamika pelayanan.

Dalam teori pelayanan publik (Dwiyanto, 2006), kualitas layanan diukur melalui lima dimensi: tangible, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy. Namun publikasi Bapenda tidak menunjukkan apakah kelima dimensi itu menjadi bagian dari penilaian. Yang ditampilkan hanya hasil akhir: baik. Tanpa cerita tentang bagaimana proses pelayanan berlangsung, angka itu tidak lebih dari klaim sepihak.

a. Survei sebagai Alat Membangun Opini

Di sinilah pentingnya membaca survei bukan hanya sebagai alat ukur, melainkan juga sebagai alat opini. Darrell Huff, dalam buku klasiknya How to Lie with Statistics (1954), membongkar bagaimana angka statistik sering dipakai bukan untuk menggambarkan realitas, melainkan untuk mengkonstruksi persepsi publik. Angka dapat dibentuk melalui pemilihan sampel yang kecil, grafik yang dilebih-lebihkan, atau bahkan istilah yang sengaja dibuat kabur.

Contoh ringannya dapat kita temukan dalam iklan sehari-hari: pasta gigi yang mengklaim “90 persen dokter gigi merekomendasikan”, tanpa pernah dijelaskan siapa dokter yang disurvei, berapa jumlahnya, atau bagaimana pertanyaan diajukan. Angka dibuat untuk menimbulkan keyakinan, bukan untuk membangun pengetahuan. Hal yang sama kini merasuki praktik lembaga publik: angka kepuasan masyarakat ditampilkan besar-besar di brosur dan baliho, seakan publik sudah puas, padahal respondennya hanya segelintir orang.

Fenomena ini semakin berbahaya dalam era post-truth, ketika opini publik lebih sering digerakkan oleh emosi, simbol, dan angka instan, ketimbang oleh data yang valid. Sebuah survei kepuasan dengan 22 responden bisa saja lebih dipercaya masyarakat ketimbang laporan audit BPK yang setebal ratusan halaman. Dalam post-truth, angka bukan lagi fakta, melainkan alat retorika.

Lebih jauh lagi, beberapa teori komunikasi politik bahkan menyatakan bahwa negara adalah produsen hoaks terbesar. Pandangan ini lahir dari studi kritis atas propaganda dan informasi resmi yang seringkali dikemas untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan. David Miller, dalam The Propaganda Machine (2004), menunjukkan bagaimana negara menggunakan data, survei, dan narasi resmi sebagai bentuk “hoaks terstruktur”. Noam Chomsky juga menyinggung fenomena serupa dalam Manufacturing Consent bahwa informasi negara kerap berfungsi untuk membentuk kesepakatan palsu di tengah publik.

Maka, jika kita letakkan survei Bapenda dalam bingkai ini, 87,75 persen itu lebih menyerupai simbol propaganda administrasi ketimbang cermin riil kepuasan masyarakat. Angka itu bekerja sebagai retorika legitimasi: “lihatlah, masyarakat sudah puas.” Ia membentuk opini, bukan fakta.

b. Kepatuhan Formil, Kehilangan Substansi

Secara hukum, hal ini jelas problematis. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan PermenPAN-RB No. 14 Tahun 2017 telah menetapkan standar survei kepuasan yang mengikat, dari jumlah responden hingga unsur yang wajib diukur. Tetapi dalam praktik, aturan sering dipenuhi secara formil yang penting ada laporan survei, ada persentase, ada cap “baik”. Substansi evaluasi pelayanan publik hilang digantikan angka dekoratif.

Akibatnya, publik tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya, melainkan sekadar angka resmi yang nyaman dibaca. Ini selaras dengan tesis dalam teori propaganda: negara sering menjadi sumber hoaks terbesar, justru karena punya otoritas formal untuk mengumumkan data yang dianggap sahih.

c. Epilog

Indeks kepuasan masyarakat seharusnya menjadi instrumen koreksi, bukan sekadar legitimasi. Namun dalam praktik, ia mudah berubah menjadi angka prematur yang dipublikasikan demi citra. Jika tidak diperbaiki secara metodologis, survei akan terus menjadi alat membentuk opini semu, bagian dari gelombang post-truth yang menyesatkan publik.

Di sinilah letak tanggung jawab etis penyelenggara pelayanan publik: berani menghadirkan survei yang valid, meski hasilnya tidak setinggi 87,75 persen, demi membangun kepercayaan masyarakat di atas fondasi fakta, bukan ilusi.

*Bandung Barat, 24 September 2025

No comments