Breaking News

Tedi Yusnanda N: Minta Pemkab Pangandaran Transparan Rinci Soal Pelunasan Utang


jabarmedsos.com — Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N., menilai pernyataan Pemerintah Kabupaten Pangandaran yang menyebut utang daerah “sudah dibayar kurang lebih setengahnya” justru menimbulkan pertanyaan publik yang lebih mendasar. Menurutnya, tanpa rincian resmi dan transparan, klaim itu hanya akan mempertebal ketidakpercayaan warga terhadap pengelolaan keuangan daerah.

“Kalau pemerintah bilang utang sudah dibayar setengahnya, ya sebut dong yang mana saja yang sudah dibayar. Ini uang rakyat. Bukan uang pribadi pejabat,” ujar Tedi dalam keterangannya kepada media.

Ia mengingatkan, berdasarkan hasil Audit BPK-RI per 31 Desember 2023, Pemkab Pangandaran tercatat memiliki saldo utang sebesar Rp 411,6 miliar. Jumlah itu bukan rumor atau opini, melainkan data resmi yang rinci. Dalam laporan BPK-RI itu, utang Pemkab terdiri dari belanja pegawai, gaji, dan TPP yang mencapai Rp 50,5 miliar, belanja barang dan jasa hingga Rp 129,7 miliar, belanja hibah Rp 2,2 miliar, belanja modal peralatan dan mesin Rp 19,5 miliar, belanja gedung dan bangunan Rp 21,5 miliar, belanja pembangunan jalan dan irigasi Rp 82,2 miliar, belanja aset tetap lainnya Rp 37 juta, serta utang jangka pendek lain yang mencapai Rp 104,7 miliar.


“Itu rinci sekali. Jadi publik juga berhak tahu mana yang katanya sudah setengah dibayar? Apakah honor non-PNS sudah lunas? Apakah transfer bagi hasil pajak ke desa-desa sudah cair? Apakah hibah ke Pramuka, KNPI, pondok pesantren sudah dibayar penuh? Apakah utang untuk BPJS sudah diselesaikan?” tegas Tedi.

Menurutnya, tanpa laporan resmi yang terbuka dan terperinci, kalimat “sudah dibayar kurang lebih setengahnya” tak ubahnya selimut kabut yang menutupi lubang fiskal. Ia menyebut hal itu berbahaya karena bisa menunda penyelesaian masalah struktural keuangan daerah.

“Ini bukan hanya soal angkanya. Ini soal etika. Utang pemerintah itu janji kepada publik. Harus jelas. Harus terbuka. Kalau tidak, itu pengkhianatan pada prinsip republik, res publica, hal-hal yang menyangkut kepentingan umum,” kata Tedi.

Ia juga mengingatkan pentingnya komunikasi publik yang jujur untuk membangun kepercayaan. “Kita ini di era keterbukaan. Harvard Kennedy School bilang, pemerintah yang berkomunikasi terbuka dengan warganya bisa meningkatkan kepercayaan publik, menurunkan biaya kepatuhan, dan memperbaiki hasil kebijakan. Jangan dibalik: malah bikin rakyat curiga,” ujarnya.

Tedi menekankan bahwa utang daerah bukan sesuatu yang tabu atau memalukan selama dikelola dengan transparan. Ia mencontohkan bagaimana pada era otonomi daerah banyak kabupaten/kota yang belanja melebihi kemampuan fiskal sehingga pemerintah pusat pada 2015 sampai mengeluarkan aturan khusus untuk membantu restrukturisasi utang Pemda.

“Utang itu wajar asal jelas penggunaannya, tercatat pembayarannya. Tapi kalau hanya klaim setengah lunas tanpa bukti dan tanpa penjelasan detail, itu merendahkan akal sehat publik,” katanya.

Ia juga menyinggung filosofi lokal Sunda silih asah, silih asih, silih asuh yang menurutnya relevan dengan cara pemerintah daerah mestinya berhubungan dengan warganya.

“Pemerintah seharusnya mendidik rakyat dengan data, peduli pada hak rakyat untuk tahu, dan membimbing dengan kejujuran. Itu inti silih asah, silih asih, silih asuh. Jangan malah menutup-nutupi,” tandas Tedi.


Karena itu, Sarasa Institute mendesak Pemkab Pangandaran segera mempublikasikan data resmi mengenai pembayaran utang. “Tunjukkan bukti pembayaran. Mana yang sudah, mana yang belum. Ini uang rakyat, ini janji pemerintah. Jangan jadi dosa administratif yang diwariskan ke generasi berikutnya,” pungkas Tedi.

(JBRMDS/05-18/02/25)

No comments