Bayangan yang Tak Mau Pergi: Jika Seorang Mantan Pemimpin Menderita NPD (Tedi Yusnanda N)
Inilah kisah tentang seorang mantan presiden atau bisa jadi gubernur, bupati, tokoh partai, bahkan pemimpin komunitas yang tak pernah benar-benar mau mundur. Tak sekadar soal ambisi kekuasaan, tetapi kemungkinan besar berakar dari Narcissistic Personality Disorder (NPD), sebuah gangguan psikologis yang menyaru dalam wujud kharisma, karisma yang tak pernah bisa benar-benar menerima akhir dari masa kejayaan.
Saat menjabat, ia tampil penuh keyakinan. Bahasanya besar, proklamatif, seolah ia dan negara adalah satu. Kebijakan-kebijakannya monumental, tapi banyak yang tampak seperti monumen untuk dirinya sendiri, bukan solusi untuk rakyat. Pembangunan tidak diukur dari seberapa menyelesaikan kemiskinan atau ketimpangan, melainkan seberapa besar pujian yang didapatkan.
"Narsisme pada pemimpin politik sering kali bukan tentang cinta diri, tetapi ketergantungan pada pemujaan publik," kata Dr. Jerrold Post, seorang psikolog politik dari George Washington University yang menganalisis psikologi para pemimpin dunia. Dalam bukunya “Narcissism and Politics”, ia menyebutkan bahwa banyak pemimpin dengan kecenderungan narsistik menggunakan kekuasaan bukan untuk melayani, tapi untuk terus mengonfirmasi superioritas diri mereka.
Dalam kasus NPD yang parah, validasi eksternal menjadi kebutuhan psikologis utama. Negara hanyalah latar belakang dalam drama internal mereka, dan rakyat, alih-alih menjadi subyek konstitusional, hanyalah penonton yang diharapkan terus bertepuk tangan.
Seorang mantan presiden dengan kecenderungan NPD tidak pernah benar-benar pensiun. Ia akan tetap hadir dalam wacana politik, membentuk barisan loyalis, memberi sinyal politik, atau bahkan secara terang-terangan mencoba kembali merebut kekuasaan. Ia menciptakan narasi bahwa dirinya adalah bapak bangsa, penjaga ideologi, atau korban konspirasi.
Dr. Bandy Lee, psikiater forensik dan editor buku “The Dangerous Case of Donald Trump”, menyatakan bahwa pemimpin dengan gangguan narsistik berat bisa menjadi ancaman psikologis bagi demokrasi. "Ketika pemimpin dengan NPD kehilangan kekuasaan, mereka sering kali mengembangkan delusi persekusi dan bertindak destruktif untuk menjaga relevansi mereka," tulisnya.
Kita bisa melihat ini terjadi pada sejumlah tokoh di berbagai negara: Donald Trump di AS yang setelah kalah pemilu 2020 tetap mengklaim kemenangan dan memobilisasi kerusuhan 6 Januari; Benjamin Netanyahu yang dalam kondisi kehilangan kekuasaan masih terus menekan sistem hukum dan koalisi politik di Israel; hingga mantan pemimpin militer di Afrika atau Asia Tenggara yang tetap bermain di balik layar pemerintahan sipil.
Rakyat adalah korban pertama dari pemimpin yang tak mau melepaskan panggung. Polarisasi menjadi parah. Wacana publik dibajak nostalgia. Setiap kritik pada masa lalu dilabeli sebagai penghinaan. Identitas pemimpin dilekatkan dengan identitas bangsa: “Kalau Anda melawan dia, berarti Anda melawan negara.”
Loyalis menyebarkan glorifikasi masa lalu dengan semangat religius. Kritik dianggap penghujatan. Dalam jangka panjang, hal ini membunuh daya nalar dan partisipasi kritis masyarakat. Politik tidak lagi soal ide dan kebijakan, tetapi soal kesetiaan personal dan mitologi tokoh.
Pemimpin dengan NPD membutuhkan cermin eksternal yang selalu memantulkan kebesaran dirinya. Di sinilah para loyalis berperan. Mereka bukan hanya pendukung; mereka adalah bahan bakar psikologis.
Menurut teori mirror-hungry narcissism dari Heinz Kohut, seorang tokoh psikologi psikoanalitik, penderita narsistik butuh “cermin” yang memvalidasi dirinya secara terus menerus. Maka wajar bila di sekitar pemimpin seperti ini, bermunculan milisi digital, pasukan buzzer, relawan fanatik, bahkan politisi dan aktivis penjilat yang naik pangkat karena kemampuannya mengidolakan tokoh secara membabi buta.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di level presiden. Di level kepala daerah, rektor universitas, bahkan ketua RT, gangguan kepribadian ini bisa muncul dalam bentuk miniatur. Kita mengenal pemimpin lokal yang tak pernah mau diganti, yang tetap memimpin pemerintahan walau pensiun, atau yang membuat kelompok sosial hanya agar bisa terus disebut sebagai “sesepuh”.
Seperti disebut oleh Prof. Harold Lasswell, pelopor psikologi politik: “Politics is the process of who gets what, when, and how—but for the narcissist, it is about who gets the spotlight.”
Bagi pemimpin yang menggantikan mereka, tantangannya berat. Ia harus menghadapi tekanan politik, loyalis yang masih aktif, dan perbandingan konstan yang membatasi ruang manuver. Ia tidak hanya memimpin bangsa, tapi juga harus membersihkan residu psikologis dan simbolik dari kekuasaan sebelumnya.
Jika tidak hati-hati, pemimpin baru bisa terjerumus dalam dua ekstrem: menjadi duplikat demi menghindari konflik, atau menjadi reaktif dan terperangkap dalam dendam sejarah. Dalam kedua kasus, rakyat kembali menjadi korban dari ego yang tak selesai.
Fenomena pemimpin yang tak mau berhenti tidak hanya soal individu, tetapi juga cermin dari budaya politik yang membiarkan narsisme tumbuh. Kita butuh institusi yang kuat, media yang kritis, dan warga negara yang melek psikologi kekuasaan.
Kita tidak perlu membenci para pemimpin masa lalu. Tapi kita harus berani membatasi cengkeramannya atas masa depan. Menghargai jasa mereka bukan berarti menoleransi kultus pribadi.
Karena demokrasi bukanlah drama satu aktor. Ia adalah panggung bersama, tempat setiap warga negara punya peran. Dan pemimpin yang hebat, adalah mereka yang tahu kapan waktunya turun dari panggung, dan membiarkan generasi berikutnya melanjutkan cerita.
*Seberang Gedung DPRD Pangandaran, 9 Mei 2025
No comments