Yeni Rahayu Soroti Fenomena Emak-Emak Jadi Content Creator: "Monetisasi Ketenaran Menghapus Nilai Edukatif"
Pangandaran — Dalam wawancara melalui sambungan telepon, Yeni Rahayu, Sekretaris Sarasa Institute, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap fenomena maraknya emak-emak yang kini beralih menjadi content creator dengan impian menjadi selebriti media sosial. Menurutnya, tren ini bukan sekadar gejala hiburan, melainkan bagian dari dinamika perubahan sosial yang kompleks dan tak jarang problematik.
"Yang kita lihat hari ini bukan hanya emak-emak yang belajar teknologi atau beradaptasi dengan zaman," ujar Yeni. "Namun sebuah pergeseran orientasi sosial, di mana eksistensi dan pengakuan diri direduksi menjadi angka—viewer, subscriber, dan engagement rate."
Yeni menilai bahwa sebagian besar konten yang diproduksi emak-emak cenderung mengutamakan sensasi, gimmick lucu, atau kepolosan yang dibuat-buat, ketimbang memberikan muatan edukatif yang bisa memberdayakan. “Ada yang mengunggah tips dapur, parenting, sampai review produk, tapi banyak yang sebenarnya hanya meniru tren agar viral. Nilai pendidikan di dalamnya cenderung samar, bahkan hilang,” tambahnya.
Lebih jauh, Yeni memaparkan bahwa fenomena ini tak bisa dilepaskan dari konteks relasi kuasa gender. “Dalam banyak kasus, popularitas emak-emak ini tetap berada dalam koridor domestik yang dikemas ulang. Mereka tidak keluar dari stereotip lama sebagai pengasuh, penghibur, atau objek perhatian, hanya saja sekarang dalam versi digital,” jelasnya. “Relasi kuasa patriarkal tak serta-merta runtuh di ruang digital. Ia justru mengalami reproduksi dalam bentuk yang lebih halus dan algoritmis.”
Mengutip teori cultural industry dari Theodor Adorno dan Max Horkheimer, Yeni menyebut bahwa industri konten hari ini berperan seperti industri budaya di era kapitalisme awal, yang membentuk selera massa secara pasif dan menjadikan produk budaya sebagai komoditas. “Ketenaran emak-emak ini bukanlah bentuk emansipasi yang sejati, karena pilihan mereka sangat dibatasi oleh logika pasar: konten harus laku, harus viral, harus bisa dimonetisasi,” tegasnya.
Dalam kerangka sejarah, Yeni juga menyinggung bagaimana perubahan sosial dalam masyarakat agraris-ke-digital ini sering kali memunculkan ilusi kebebasan. “Dulu perempuan desa dianggap tidak memiliki suara, kini mereka bisa bersuara di TikTok. Tapi suara itu hanya terdengar jika sesuai algoritma. Ini bukan kebebasan, melainkan domestikasi dalam bentuk baru.”
Yeni mengajak agar masyarakat—khususnya komunitas perempuan—tidak hanya menjadi konsumen atau penghasil konten, tetapi juga menjadi subjek kritis yang mampu merebut kembali makna produksi budaya. "Jika pun emak-emak ingin viral, buatlah konten yang menyuarakan pengalaman otentik, perjuangan, bahkan kritik. Jangan biarkan algoritma menentukan nilai diri kita," tutupnya.
No comments