“Ganti Rugi” atau “Ganti Untung”? Ketika Negara Mengklaim, Rakyat Mengalah (Tedi Yusnanda N)
Ironi pun muncul. Ketika ganti rugi diberikan, istilah yang belakangan makin sering digunakan justru “ganti untung.” Seolah-olah perpindahan paksa adalah keberuntungan. Seolah-olah kehilangan tempat hidup adalah naik kelas. Dalam nalar administratif, negara merasa sudah cukup berbuat adil. Mereka tak mengusir tanpa alasan, dan bahkan memberi “uang pengganti”. Namun dalam nalar kehidupan, masyarakat yang selama ini menjadi penjaga dan pengisi tanah itu justru merasa terlempar dari sejarahnya sendiri.
Pertanyaan filosofis pun mencuat: apakah yang disebut tempat tinggal hanya bisa diakui jika ada sertifikat? Apakah hidup puluhan tahun, membangun komunitas, dan menjaga tanah negara tidak cukup menjadi dasar atas hak untuk tetap tinggal?
Rousseau sejak awal telah mengingatkan bahwa kepemilikan atas tanah tak pernah alamiah; ia adalah hasil dari kekuasaan yang diberi legitimasi. Negara, dalam hal ini, bukan sekadar pemilik sah menurut hukum, tetapi juga pemegang tafsir atas hak hidup. Dalam tafsir itu, masyarakat yang tinggal di atas tanah negara diposisikan sebagai penyewa tanpa kontrak, atau bahkan penyusup yang diberi toleransi. Maka ketika waktu habis dan tanah dibutuhkan, mereka cukup diberi “ganti rugi”—dan selesai.
Namun filsafat kehidupan tak semudah itu. Martin Heidegger menyebut bahwa manusia tidak sekadar tinggal di suatu tempat, tetapi mendiami. Artinya, tempat bukan hanya lokasi fisik, melainkan ruang eksistensial: di sanalah manusia membentuk identitas, merajut relasi, membangun ingatan. Dalam perspektif ini, penggusuran bukan hanya soal pemindahan fisik, tetapi pencabutan akar makna. “Ganti” menjadi mustahil, karena yang hilang adalah sesuatu yang tak bisa ditakar: rasa memiliki, rasa tinggal, rasa menjadi bagian dari tempat itu.
Sementara John Rawls menyatakan bahwa keadilan bukan hanya tentang hasil akhir yang setara, tetapi tentang proses yang adil sejak awal. Dalam konflik semacam ini, masyarakat seringkali tak diundang berdiskusi sebagai pihak yang setara. Mereka hanya diberi informasi, bukan ruang negosiasi. Maka uang pengganti, berapa pun jumlahnya, bukanlah simbol keadilan, melainkan pengesahan dari ketimpangan posisi. Negara memberi bukan karena mengakui hak, tetapi karena merasa murah hati. Ini bukan keadilan, tapi belas kasihan yang dibungkus formalitas.
Kita juga harus menyimak peringatan dari Emmanuel Levinas: bahwa etika dimulai dari tatapan wajah orang lain. Bila negara membangun proyek tanpa memandang wajah-wajah yang harus pergi, tanpa mendengar cerita dari rumah-rumah yang akan dirobohkan, maka negara sedang mencabut relasi etisnya dengan rakyat. Ia menjelma menjadi kekuasaan buta yang hanya patuh pada target, bukan pada tanggung jawab.
Mereka yang tinggal di atas tanah negara bukan penjajah, bukan perampas. Mereka adalah warga yang tak sempat mendapatkan legalitas, tapi telah lebih dahulu menanam akar hidup. Banyak dari mereka ditugaskan negara sendiri—sebagai transmigran, relokasi bencana, atau penggarap hutan produksi. Negara pernah hadir ketika mereka mulai, tapi kini negara datang lagi untuk mengakhiri—tanpa menyisakan jejak.
Dalam konteks ini, istilah “ganti rugi” terasa ambigu. Ia menyiratkan bahwa telah terjadi pelanggaran oleh warga, dan negara membayar untuk menebus rasa bersalah atas pengusiran. Sementara istilah “ganti untung” justru lebih absurd: seakan-akan pengusiran adalah anugerah. Padahal bagi masyarakat, tanah itu bukan hanya tempat hidup, tetapi juga tempat mati: tempat di mana orang tua mereka dikuburkan, dan di mana mereka ingin kelak disemayamkan.
Keadilan sejati bukan sekadar soal status legal tanah, tetapi pengakuan atas sejarah hidup bersama. Bila negara bersikukuh menganggap tanah itu miliknya, maka ia pun harus mengakui bahwa masyarakat adalah bagian dari tubuhnya sendiri. Memindahkan mereka berarti merelokasi bagian dari dirinya sendiri—dan itu tak bisa dilakukan sembarangan. Sebab tak ada negara tanpa rakyat, dan tak ada rakyat yang hidup tanpa tempat.
Maka ketika tanah negara dihuni rakyat, dan negara butuh tanah itu kembali, pertanyaannya bukan hanya: “berapa ganti rugi yang pantas?”, melainkan: “apa bentuk penghormatan yang layak bagi kehidupan yang telah dibangun di atasnya?” Filsafat tak menawarkan angka, tapi ia menuntut satu hal: jangan pernah mencabut hidup orang lain hanya karena kita punya kuasa dan alasan hukum. Sebab kehidupan tak bisa diganti, apalagi diuntungkan.
*Bojongsalawe, 10 Mei 2025
No comments