Breaking News

"Catatan di Tepi Sampah: Antara Gerakan Simbolik dan Upaya Sistemik" (Tedi Yusnanda N - pegiat Sarasa Institute)

Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute) 

Pangandaran - Pada satu sore yang rawan hujan, seorang anak kecil tampak memungut plastik bekas minuman dari pasir pantai. Di belakangnya, seorang lelaki paruh baya—mungkin ayahnya—membawa karung seadanya. Mereka bukan pemulung. Mereka bukan bagian dari petugas kebersihan berseragam oranye yang biasa kita lihat dengan gerobak dan sapu lidi. Mereka adalah relawan, bagian dari gelombang baru: gerakan pungut sampah yang kini tumbuh di berbagai pantai dan destinasi wisata, menyusul ledakan kritik di media sosial tentang “sampah berserakan di mana-mana.”

Sebelumnya, kabar baik sempat datang: Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata mencapai Rp 9 miliar. Angka yang seharusnya menjadi penanda kebangkitan. Namun, yang muncul justru ironi. Semakin banyak wisatawan, semakin tebal pundi-pundi kas daerah, tetapi juga semakin penuh pula tumpukan sampah yang berserak, tak hanya di pantai tetapi di sepanjang jalur menuju objek wisata. Lalu, seperti biasa, kambing hitam pun dipanggil: “Itu karena wisatawan buang sampah sembarangan!”

Kita menyambut gerakan-gerakan memungut sampah sebagai wujud cinta pada lingkungan. Namun, pertanyaannya: sampai kapan kita akan terus berada dalam logika pemadam kebakaran? Apakah memungut sampah satu per satu setiap akhir pekan cukup untuk menyelesaikan masalah struktural yang kronis?

Dalam pengalaman saat bekerja selama puluhan tahun di sebuah industri otomotif terbesar, saya belajar dan mengenal tiga prinsip dasar yang menjadi nafas dalam setiap proses pemecahan masalah: Genchi - Genba - Genbutsu, seringkali ditulis dan diartikan berbeda, namun memiliki substansi yang saling melengkapi. Genchi Genbutsu artinya “pergi ke lokasi sebenarnya dan lihat langsung faktanya,” Genba atau Gemba adalah “tempat kejadian” atau “lokasi nyata,” dan Genbutsu merujuk pada “objek nyata.” Ketiganya saling bertaut: jangan ambil keputusan dari ruang rapat ber-AC; turunlah ke lapangan, amati langsung, dan temukan akar persoalan dari realitas yang ada, bukan dari asumsi semata.

Suatu kali, saat kami menghadapi keluhan pelanggan mengenai cat mobil yang mudah terkelupas, tim tidak serta-merta menyalahkan vendor atau pekerja produksi. Manajer senior kami mengajak tim ke lantai pabrik. Kami menyentuh bodi mobil, mengendus bau pelarut, dan mencocokkan suhu ruang pengecatan. Ternyata, akar masalahnya bukan pada cat, melainkan pada pendingin ruangan yang rusak dan menyebabkan kelembaban tinggi. Ini ditemukan bukan karena teori, melainkan karena konsep genchi - genba - genbutsu.

Metodologi lanjutannya adalah Ishikawa diagram, yang membantu menelusuri kemungkinan penyebab dari sebuah masalah melalui kategori: manusia, metode, mesin, material, lingkungan, dan pengukuran. Dalam konteks tumpukan sampah, mari kita coba uraikan (misalnya).

1. Manusia (People): Apakah petugas kebersihan cukup jumlahnya? Apakah wisatawan mendapat edukasi yang memadai?

2. Metode (Method): Apakah sistem pengumpulan sampah sudah jelas dan terjadwal? Apakah waktu pembersihan sesuai dengan puncak keramaian?

3. Mesin (Machine): Apakah tersedia alat pendukung seperti gerobak sampah, tempat sampah yang layak dan mencukupi?

4. Material (Material): Apakah kantong plastik, tempat sampah daur ulang, dan sarana kebersihan lainnya tersedia dalam jumlah cukup?

5. Lingkungan (Environment): Apakah penempatan tempat sampah strategis dan terjangkau? Apakah jalur wisata dilengkapi dengan papan larangan buang sampah?

6. Pengukuran (Measurement): Apakah ada evaluasi kuantitatif tentang jenis, jumlah, dan waktu pembuangan sampah oleh wisatawan?

Dengan pendekatan seperti ini, kita tak perlu lagi menyalahkan semata wisatawan atau menjadikan gerakan memungut sampah sebagai simbol kebaikan semu yang tak menyentuh akar masalah. Kita harus mulai dari hal mendasar: survei lokasi, observasi lapangan, dan pembuatan checklist logistik kebersihan.

Sejarah Jepang menunjukkan bahwa perbaikan sistematis lebih kuat daripada respons moral. Pascaperang, negara itu hancur. Namun mereka bangkit bukan karena gerakan-gerakan heroik, melainkan karena sistem dan filosofi kerja yang rapi dan konsisten. Toyota Production System—yang kemudian dikenal dengan The Toyota Way—menanamkan dua nilai utama: Kaizen (perbaikan terus-menerus) dan Respect for People (penghargaan pada manusia dan kenyataan di lapangan). Inilah yang harus kita serap, bukan sekadar bentuk luar atau gerakan simbolik sesaat.

Kita perlu bertanya: mengapa PAD bisa naik, tetapi sistem kebersihan tak ikut diperkuat? Mengapa tempat sampah tak diperbanyak? Mengapa tidak ada denda tegas bagi pembuang sampah sembarangan? Mengapa tidak dibuat pemetaan waktu-waktu krusial ketika sampah menumpuk, misalnya saat libur panjang atau event-event tertentu?

Lebih jauh, kita juga bisa menelusuri akar budaya buang sampah sembarangan. Di Jepang, sejak taman kanak-kanak, anak diajarkan memilah sampah. Bukan sekadar karena takut didenda, tapi karena dipahami sebagai tanggung jawab sosial. Apakah kita telah memulai dari sekolah-sekolah kita? Atau hanya puas dengan jargon "sadar lingkungan" saat Hari Bumi?

Gerakan memungut sampah harus tetap dihargai, tetapi jangan sampai menjadi semacam "kebajikan kosmetik" yang menutupi kelalaian institusi dalam membangun sistem yang tahan uji. Kita bisa menggalang ribuan tangan untuk memungut sampah, tapi jika akar masalahnya tak disingkap, semua hanya akan berulang.

Jangan-jangan, kita memang lebih nyaman memungut sampah setiap minggu, daripada membongkar sistem yang tak bekerja.

Seperti kata Taiichi Ohno, arsitek Toyota Production System, “No problem is problem.” Kalau kita tak melihat masalahnya, mungkin kita telah berhenti melihat.

No comments