"Tahun 2026: Manusia Punah? Ramalan Fisikawan Heinz von Foerster Mendekati Titik Kritis di Tengah Ancaman Perang Dunia Ketiga"
Springfield — Ramalan kiamat kembali menjadi perbincangan serius di kalangan akademisi dan pengamat geopolitik. Namun kali ini bukan berasal dari tafsir agama atau narasi konspiratif, melainkan dari persamaan matematika seorang fisikawan visioner, Heinz von Foerster, yang pada 1960 pernah memprediksi secara saintifik bahwa populasi manusia akan mengalami ledakan tak terkendali dan menemui “titik singularitas” pada 13 November 2026—hari di mana, secara teoritis, populasi akan tak terhingga dan sistem sosial global tak lagi dapat menopang dirinya sendiri.
Teori itu, yang diterbitkan dalam jurnal Science, bukanlah ramalan mistis, melainkan hasil proyeksi eksponensial dari pertumbuhan penduduk dunia yang jika tidak terkendali akan menyebabkan kehancuran sistemik. Foerster menyebutnya “a mathematical singularity”—suatu titik ketika rumus prediksi berhenti bekerja, dan peradaban akan terguncang karena kompleksitasnya sendiri.
Kini, 66 tahun kemudian, dunia benar-benar tampak menuju titik tersebut.
Krisis Multi-Dimensi: Ketika Teori Bertemu Realitas
Dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan penduduk memang mulai melambat, namun kompleksitas sistem global justru meningkat tajam. Teknologi, informasi, dan hubungan ekonomi dunia telah menciptakan “jaring-jaring kepentingan” yang saling membelit, mengingatkan pada apa yang dikatakan ilmuwan sistemik Donella Meadows sebagai limits to growth.
“Von Foerster bukan sekadar bicara tentang jumlah manusia, tapi kompleksitas sosial yang tak lagi bisa dikendalikan,” jelas Prof. Yuval Noah Harari, sejarawan dari Hebrew University dalam wawancaranya dengan The Economist. “Ketika sistem terlalu kompleks, satu percikan bisa menyalakan api global.”
Dan kini, percikan itu tampak semakin banyak.
Perang Dunia Ketiga di Ujung Tanduk?
Ketegangan di Selat Taiwan, serangan balasan Iran dan Israel, serta penumpukan pasukan NATO di Eropa Timur membuat dunia berada di ambang eskalasi global. Sejumlah pakar bahkan menyebut situasi ini sebagai prelude Perang Dunia Ketiga.
Mantan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta menyebut situasi saat ini sebagai “cocktail dari kesalahan strategis, nasionalisme digital, dan kebangkrutan moral.” Menurutnya, tidak seperti Perang Dunia I dan II yang dipicu oleh insiden konkret, perang modern bisa muncul dari “algoritma yang salah tafsirkan ancaman.”
Di pihak lain, Rusia dan Tiongkok mempererat poros strategis melalui forum BRICS+, sementara Amerika Serikat, Jepang, dan sekutunya menggelar latihan militer gabungan berskala besar. Tak hanya itu, negara-negara di Selatan Global dilanda krisis pangan, air, dan energi yang mempercepat migrasi massal—persis seperti yang diperingatkan Foerster sebagai “tekanan sistemik terhadap keseimbangan global.”
Bencana Informasi dan Runtuhnya Rasionalitas Publik
Selain tekanan fisik dan geopolitik, dunia juga dibanjiri dengan infodemi. Kebingungan publik yang masif akibat disinformasi, deepfake, hingga AI yang digunakan untuk propaganda, membuat krisis akal sehat menjadi nyata.
“Bayangkan dunia dengan miliaran manusia, masing-masing hidup dalam versi realitas yang berbeda,” ujar Tristan Harris, mantan etika teknologi di Google dan pendiri Center for Humane Technology. “Ini bukan fiksi ilmiah, ini sudah terjadi.”
Foerster mungkin tidak membayangkan algoritma dan media sosial saat ia menulis teorinya, namun prediksinya tentang “titik kritis rasionalitas kolektif” kini terlihat di mana-mana. Polarisasi politik ekstrem, intoleransi budaya, dan konflik identitas menjadi bahan bakar ketidakstabilan yang terus menyala.
Menuju Titik Singularity?
Apakah dunia akan benar-benar berakhir pada 13 November 2026? Tentu tidak dalam arti harfiah. Namun banyak ilmuwan kini mulai melihat prediksi Foerster bukan sebagai tanggal kiamat, tetapi peringatan keras atas struktur peradaban yang tak lagi mampu menahan bobot dirinya sendiri.
Dalam laporan The Global Catastrophic Risk Institute (GCRI) tahun 2024, disebutkan bahwa risiko sistemik dari perang nuklir, keruntuhan iklim, dan AI tak terkendali telah melampaui ambang “acceptable uncertainty”.
Dengan kata lain, dunia kini tak hanya menghadapi ancaman satu demi satu, tetapi kompilasi ancaman—yang berinteraksi, memperkuat, dan mempercepat satu sama lain.
Masih Adakah Jalan Keluar?
Seperti kata Foerster, “setiap sistem kompleks akan mencari jalannya menuju kehancuran, kecuali jika ia mampu secara sadar merefleksi dan membatasi dirinya sendiri.” Pertanyaannya: apakah kita, sebagai spesies, cukup dewasa untuk melakukannya?
Hari ini, dunia butuh lebih dari sekadar kebijakan luar negeri dan reformasi ekonomi. Kita butuh kesadaran kolektif—dan mungkin, juga sebuah keajaiban.
(- TYN -)
No comments