Breaking News

Pembusukan Otak: Ketika Video Pendek Memaksa Otak Kita Berubah — Kajian Mendalam (Oleh: Redaksi)

Pada suatu sore, Anda mungkin pikir sekadar menelusuri bilah “For You” di TikTok, Instagram Reels atau YouTube Shorts selama 20–30 menit tak berbahaya. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kebiasaan ini, bila berlebihan, bisa mengubah cara otak bekerja, merusak kemampuan fokus, ingatan, dan bahkan mempengaruhi kesehatan mental. Istilah populer “brain rot” (pembusukan otak) kini tak sekadar sindiran sarkastik, melainkan fenomena yang mendapat perhatian serius dari psikolog dan neuroscientist.

Studi besar-besaran: dampak kognitif & mental dari video pendek

Sebuah analisis sistematis terbaru yang dirilis tahun 2025 dalam jurnal terkemuka menyisir 71 penelitian yang melibatkan total 98.299 orang, remaja hingga dewasa. Kesimpulan yang mencuat: penggunaan intensif video pendek terkait dengan penurunan kemampuan perhatian (attention span), pengendalian impuls yang melemah (inhibitory control), serta penurunan memori kerja dan kinerja kognitif. 

Lebih dari sekadar statistik, sebagian pengguna melaporkan merasa “kabur”, mudah terdistraksi, dan sulit mempertahankan konsentrasi untuk tugas jangka panjang seperti membaca, belajar, atau menyelesaikan pekerjaan. 

Penelitian eksperimental lebih spesifik menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan video pendek secara kompulsif, menonton berulang, sulit berhenti, menunjukkan performa lebih buruk dalam tugas memori intensif atau tugas yang membutuhkan kontrol perhatian berkelanjutan. 

Bagaimana otak “bereaksi” terhadap video cepat dan instan

Mengapa video pendek bisa memiliki dampak seperti ini? Para peneliti mengaitkan fenomena ini dengan sirkuit reward otak dan respons dopamin. Video pendek menawarkan stimulasi cepat: visual, audio, cerita kilat, disampaikan dalam hitungan detik, lalu diakhiri dan diganti oleh video baru. Setiap video bisa menjadi “hadiah kecil” yang memicu pelepasan dopamin, neurotransmitter yang memberi sensasi “menyenangkan”. 

Dalam jangka panjang, otak bisa “terlatih” untuk mencari kepuasan cepat seperti itu, sehingga tugas yang memerlukan konsentrasi panjang, fokus mendalam, atau kerja kognitif berat terasa melelahkan dan tidak menarik. 

Lebih jauh, penelitian neuroimaging terkini menunjukkan bahwa penggunaan video pendek secara kompulsif berkaitan dengan perubahan pada bagian otak yang berperan dalam reward, kontrol impuls, dan fungsi eksekutif: area seperti korteks prefrontal, orbitofrontal, hingga bagian lain yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan regulasi emosional. 

Hasil lain dari penelitian, seperti eksperimen dari 2023, menunjukkan bahwa konsumsi video pendek bisa menurunkan kemampuan memori prospektif, yaitu kemampuan untuk mengingat dan menjalankan rencana atau niat jangka pendek setelah teralihkan oleh stimulasi lain.

Istilah “Brain Rot”: dari jokes ke bukti ilmiah

Istilah “brain rot”, yang dulu populer sebagai guyonan generasi muda, sekarang mendapat pengakuan akademis. Review 2025 tersebut bahkan menyebut istilah ini sebagai representatif dari fenomena yang benar-benar terjadi: perubahan kognitif, mental, dan neurologis terkait konsumsi berlebihan video pendek. 

Meski demikian, para peneliti menekankan bahwa temuan-temuan ini bersifat korelasi, artinya, tidak selalu berarti “menonton video pendek berarti otak rusak permanen”. Faktor seperti durasi, intensitas (apakah digunakan secara kompulsif), kualitas konten, waktu penggunaan (misalnya malam hari), serta gaya hidup lain (tidur, aktivitas fisik, interaksi sosial) ikut berperan. 

Pembacaan teks vs tontonan video: dua sistem kognisi berbeda

Perbedaan antara aktivitas membaca teks panjang dan menonton video pendek cukup signifikan pada tataran kognitif. Membaca memaksa otak untuk mendekode simbol, membangun representasi mental, membayangkan adegan, menghubungkan gagasan, sebuah proses lambat, reflektif, dan mendalam. Hal ini cenderung memperkuat pemahaman jangka panjang dan ingatan.

Sebaliknya, video, terutama pendek dan cepat berubah, menyajikan stimulus langsung, multisensorik, dan instan. Beban dekoding berkurang, sehingga otak tidak perlu kerja keras. Efeknya: engagement tinggi dan kepuasan cepat, tapi potensi untuk pemrosesan mendalam, refleksi, dan ingatan jangka panjang berkurang.

Ketika seseorang terbiasa dengan rangsangan visual-audio cepat, otak bisa “terprogram ulang”, membuat tugas yang butuh kesabaran dan fokus jangka panjang terasa membosankan atau melelahkan. Hal inilah yang banyak digambarkan oleh pengguna sebagai “sulit konsentrasi saat membaca buku, cepat bosan dengan film panjang, atau malas belajar.”

Implikasi sosial dan pentingnya literasi digital

Dampak dari fenomena ini tidak bisa dianggap remeh, terutama jika terjadi secara masif. Bila generasi muda terbiasa dengan hiburan cepat dan instan, kemampuan konsentrasi, berpikir kritis, fokus belajar, dan pemecahan masalah jangka panjang bisa tergerus. Hal ini bisa berpengaruh pada prestasi akademik, produktivitas, bahkan kesehatan mental (stres, kecemasan, gangguan tidur). 

Akademisi menyarankan pendekatan serius: literasi digital sejak usia muda, edukasi tentang dampak jangka panjang, dan kebiasaan konsumsi media yang sehat, bukan sekadar hiburan tanpa kontrol.

Catatan penting: keterbatasan dan harapan

Walau temuan penelitian saat ini cukup konsisten, kita harus ingat bahwa sebagian besar bukti bersifat korelasional. Artinya: kita melihat “asosiasi” antara heavy use video pendek dengan penurunan kognisi atau kesejahteraan mental, namun sulit untuk memastikan sebab-akibat langsung. Faktor eksternal seperti tidur, stres, gaya hidup, pendidikan, dan lingkungan bisa ikut memengaruhi.

Namun, konsistensi pola, dari survei besar-besaran, tugas kognitif, hingga studi neuroimaging, membuat banyak peneliti berpendapat bahwa ini lebih dari sekadar anekdot. Ada indikasi nyata bahwa “otak kita sedang beradaptasi, mungkin dengan kompromi.” Dan karena otak manusia plastis (neuroplasticity), ada potensi untuk “merehabilitasi” kemampuan konsentrasi dan kognisi jika kita mengubah kebiasaan.

Fenomena “pembusukan otak” bukan sekadar kecaman moral terhadap generasi milenial atau Gen Z, melainkan alarm kesehatan publik dan kognisi: saat media berubah, cara kita berpikir dan belajar juga ikut berubah. Memahami mekanisme, mengenali risiko, dan menerapkan literasi digital adalah langkah awal agar kita tetap menguasai pikiran kita, bukan menjadi tahanan algoritma dan konsumsi cepat.

No comments