Sumatera Banjir, Eropa Mengawasi: Bencana Hidrometeorologi Dan Masa Depan Sawit Dalam Cengkeraman Regulasi Hijau Global (Oleh Redaksi)
jabarmedsos.com – Pulau Sumatera sedang berduka. Banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 telah menelan korban jiwa, puluhan ribu warga mengungsi, dan kerugian infrastruktur yang masif. Data per 4 Desember 2025 mencatat 776 korban jiwa, 564 hilang, serta 2.600 luka-luka. Ratusan jembatan hancur, ribuan rumah rusak, dan fasilitas umum lumpuh.
Bencana hidrometeorologi ekstrem ini, yang diperparah siklon tropis Senyar dengan curah hujan hingga 300 mm, tak hanya mengguncang Indonesia, tetapi juga memicu sorotan global terhadap kerentanan ekologis Sumatera, khususnya kaitannya dengan ekspansi masif perkebunan kelapa sawit. Di tengah upaya pemulihan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan relevansi pandangan "kuno" Belanda tentang hutan lindung Sumatera, yang kini diperkuat regulasi Uni Eropa.
BRIN Ungkap Akar Masalah: Sumatera Tidak Dirancang untuk Deforestasi Massif
Peneliti Senior BRIN Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Sugeng Budiharta, secara tajam mengkritik 'brutalisme' ekspansi kelapa sawit di Sumatera. Ia menunjuk pada konversi hutan alami dan dataran tinggi, terutama di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), sebagai faktor utama penyebab luapan sungai ekstrem, banjir, dan longsor. Pandangan ini didukung oleh pakar dari UGM dan ITB yang menyimpulkan bahwa deforestasi di hulu DAS, mengubah hutan primer menjadi lahan kering atau monokultur sawit, secara langsung berkorelasi dengan intensitas bencana.
Pandangan ini sejalan dengan alasan historis Belanda. Sejak era kolonial, wilayah-wilayah kritis di Sumatera, khususnya dataran tinggi dengan kemiringan curam dan curah hujan tinggi, telah ditetapkan sebagai hutan lindung. Contohnya adalah Taman Nasional Kerinci Seblat, yang membentang di empat provinsi, yang telah diakui sebagai kawasan konservasi sejak lama.
Gambut dan Biodiversitas: Aset Kritis yang Terancam
BRIN dan berbagai studi lingkungan secara konsisten menyoroti keunikan ekologis Sumatera yang membuatnya tidak cocok untuk konversi besar-besaran menjadi perkebunan sawit:
1. Stok Karbon Gambut: Sumatera memiliki sekitar 6 juta hektar lahan gambut, bagian dari 13,43 juta hektar Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) nasional. Lahan gambut ini menyimpan karbon hingga 30 kali lebih banyak daripada hutan biasa. Studi Pantau Gambut (Maret 2025) mengungkapkan 25% KHG Indonesia, termasuk di Sumatera, berisiko banjir ekstrem, dengan jutaan hektar telah dikonversi menjadi konsesi perkebunan—baik legal maupun ilegal. Konversi ini tidak hanya melepaskan emisi gas rumah kaca masif, tetapi juga menghilangkan fungsi alami gambut sebagai spons penahan air, memperparah banjir.
2. Biodiversitas Endemik: Hutan-hutan tropis primer Sumatera adalah rumah bagi spesies-spesies ikonik dan terancam punah seperti harimau Sumatera dan orangutan. Deforestasi mengancam habitat mereka dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
Dengan kondisi ini, mengubah bentang alam Sumatera secara drastis untuk sawit bukan hanya tindakan merugikan lingkungan, tetapi juga 'melegalkan' potensi bencana ekologis. Peneliti BRIN Syamsurijal Adhan mendesak evaluasi mendalam terhadap tata kelola lingkungan pasca-bencana, dan BRIN sendiri telah membentuk gugus tugas untuk memantau data satelit dan memberikan analisis cepat bagi upaya penanggulangan.
Uni Eropa dan 'Green Regulations': Perubahan Paradigma Pasar Sawit Global
Tragedi di Sumatera terjadi di tengah perubahan signifikan dalam lanskap regulasi perdagangan global, khususnya dari Uni Eropa (UE) yang merupakan salah satu pasar terbesar untuk minyak sawit. Kebijakan Belanda dalam memprioritaskan hutan lindung di Sumatera kini menemukan landasan kuat dalam regulasi UE:
1. European Deforestation Regulation (EUDR): Regulasi ini, yang efektif berlaku akhir 2025 (meskipun implementasinya ditunda untuk produk tertentu), mewajibkan semua produk yang diimpor ke UE, termasuk minyak sawit, harus terbukti bebas deforestasi setelah 31 Desember 2020. Ini berarti, sawit yang berasal dari lahan yang di-deforestasi setelah tanggal tersebut tidak akan diizinkan masuk pasar UE.
2. Verifikasi Geospasial: EUDR menuntut ketertelusuran produk hingga ke lokasi geografis lahan asalnya, menggunakan data satelit dan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk verifikasi. Hal ini mendorong transparansi rantai pasok dan memberikan tekanan pada produsen untuk memastikan praktik berkelanjutan.
Belanda, sebagai importir sawit terkemuka, telah menjadi pelopor dalam mengintegrasikan data satelit dan AI untuk memverifikasi rantai pasok. Komitmen mereka terhadap target Net Zero Emission pada 2050 semakin memperkuat sikap untuk hanya menerima sawit yang tidak berkontribusi pada deforestasi. Ini bukan boikot, melainkan penyesuaian pasar terhadap standar lingkungan yang lebih tinggi. Belanda bahkan mendukung inisiatif Aceh bebas deforestasi melalui kemitraan dengan perusahaan multinasional seperti Nestlé dan Unilever.
Respons Indonesia: ISPO, EUDR, dan Nasib Petani Kecil
Indonesia, sebagai produsen sawit terbesar dunia, menyadari implikasi serius EUDR. Ekspor sawit Indonesia senilai miliaran dolar ke Eropa terancam jika tidak memenuhi standar ini. Pemerintah telah merespons dengan memperketat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 33 Tahun 2025. Regulasi ini mewajibkan sertifikasi ISPO tidak hanya bagi perusahaan besar tetapi juga petani kecil, yang menjadi kunci dalam ekosistem sawit nasional.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendesak pengakuan ISPO oleh UE sebagai standar setara, mengingat pentingnya melindungi sekitar 8 juta petani kecil dari dampak EUDR. Namun, tantangan masih besar, termasuk biaya tinggi untuk sertifikasi geolokasi dan pelatihan bagi petani kecil.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, mengklaim bahwa laju deforestasi di Indonesia telah turun 23% menjadi 166.450 hektar pada September 2025. Namun, WALHI dan organisasi lingkungan lainnya mempertanyakan angka tersebut, menunjuk pada investasi sawit dan tambang yang terus difasilitasi di wilayah rentan, yang ironisnya, berkontribusi pada bencana terkini.
Masa Depan Sumatera: Antara Pembangunan dan Keberlanjutan
Bencana hidrometeorologi di Sumatera menjadi alarm keras. BRIN merekomendasikan penyusunan ulang peta kerawanan bencana yang ada, disesuaikan dengan dinamika iklim terkini dan kondisi DAS, untuk merancang strategi mitigasi, penataan ruang, dan sistem peringatan dini yang lebih efektif.
Masa depan Sumatera, dan industri sawit Indonesia, kini berada di persimpangan jalan. Komitmen global terhadap keberlanjutan, didorong oleh regulasi seperti EUDR, menuntut perubahan paradigma. Prioritas untuk menjaga hutan Sumatera sebagai "paru-paru dunia" bukan lagi sekadar retorika lingkungan, melainkan keharusan ekonomi dan kemanusiaan untuk mencegah bencana berulang dan memastikan akses pasar global yang berkelanjutan. Indonesia harus menemukan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan ekosistem yang rapuh, dengan petani kecil sebagai garda terdepan dalam transisi menuju sawit yang benar-benar berkelanjutan.
No comments