Tedi Yusnanda N: Fenomena Plinplan Pemimpin Lokal Bisa Rugikan Pangandaran
jabarmedsos.com – Direktur Eksekutif Sarasa Institute yang juga aktif di Forum Diskusi Masyarakat Pangandaran (Fokus Mapan), Tedi Yusnanda N., menyampaikan kekhawatirannya terhadap fenomena plinplan tokoh masyarakat yang justru berpotensi memecah belah publik. Kekhawatiran itu muncul seiring dengan polemik keramba jaring apung (KJA) yang belakangan menjadi perdebatan panas di Pangandaran.
Menurut Tedi, sikap tokoh masyarakat yang semula menolak keras KJA dengan menggalang massa—bahkan menghadirkan pemerintah daerah dalam deklarasi—namun kemudian berubah haluan menjadi mendukung, telah mempermainkan emosi publik. “Masyarakat seperti diprank. Mereka diajak menolak, lalu ditinggalkan ketika arah berubah. Ironisnya, pemerintah daerah yang semestinya hadir untuk menengahi konflik dan membangun dialog justru masuk dalam permainan itu,” kata Tedi, Kamis (21/8).
Padahal, kata Tedi, KJA dapat menjadi peluang besar bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sudah ada pengusaha lokal yang berhasil mengembangkan usaha ini secara mandiri, dan ke depan investor pun mulai menunjukkan minat untuk menanamkan modal. “Fenomena ini mestinya dibaca pemerintah daerah secara jernih dan strategis. Jika dikelola dengan regulasi dan pengawasan yang benar, KJA bukan ancaman, tapi potensi ekonomi yang bisa menyejahterakan masyarakat,” jelasnya.
Tedi menilai paradoks justru terlihat jelas. Selama ini, tokoh masyarakat maupun pemerintah daerah selalu menekankan pentingnya menjaga iklim investasi dan melarang adanya gangguan terhadap investor. Namun dalam kasus KJA, tanpa kajian komprehensif, justru muncul riak penolakan yang seolah menjadi alat untuk memecah belah masyarakat. “Ini kontradiksi. Ketika investasi datang, yang seharusnya dibangun adalah tata kelola yang adil dan transparan, bukan retorika penolakan yang inkonsisten,” kritik Tedi.
Dalam analisisnya, Tedi menyinggung teori Jean-Jacques Rousseau tentang kontrak sosial, di mana kepercayaan publik adalah fondasi utama relasi antara masyarakat dan pemimpin. “Ketika tokoh publik dan pemerintah mempermainkan sikapnya, kontrak sosial runtuh. Masyarakat bukan lagi subjek pembangunan, melainkan sekadar obyek yang diarahkan sesuai kepentingan elite,” ujarnya.
Ia juga mengutip pemikiran Michel Foucault tentang kuasa dan wacana, yang menekankan bahwa kekuasaan sering bekerja lewat bahasa. “Perubahan narasi dari menolak menjadi mendukung bukan hanya perubahan sikap, tapi perubahan wacana yang bisa mengubah realitas sosial. Inilah cara rakyat dipaksa untuk menerima, meski sebenarnya mereka merasa dikhianati,” ungkap Tedi.
Lebih jauh, ia mengingatkan pemerintah daerah untuk tidak terjebak dalam pola plinplan yang memanfaatkan kerumunan masyarakat demi ambisi segelintir tokoh. Menurutnya, Pangandaran tidak boleh kehilangan momentum untuk mengembangkan potensi ekonomi kelautan. “KJA harus dilihat dari sisi ekonomi-politik yang lebih luas: bagaimana memberi manfaat bagi PAD, nelayan lokal, dan sektor wisata. Jika tidak dikelola dengan kebijakan berbasis kajian mendalam, Pangandaran hanya akan terjebak dalam riak konflik buatan yang merugikan semua pihak,” katanya.
Tedi juga menyoroti ironi bahwa pemerintah daerah sering menggaungkan semboyan ‘jangan ganggu investasi’, tetapi justru gagal membangun iklim investasi yang stabil di sektor kelautan. “Ketidakjelasan sikap ini berbahaya. Investor butuh kepastian, sementara masyarakat butuh keadilan. Jika keduanya tidak dipenuhi, Pangandaran hanya akan dikenal sebagai daerah yang gaduh, bukan yang maju,” tegasnya.
Sebagai penutup, Tedi menekankan kembali pentingnya konsistensi moral seorang pemimpin. Mengutip Sokrates, ia mengatakan bahwa hidup tanpa kejujuran adalah hidup yang tak pantas dijalani. “Tokoh masyarakat dan pemerintah harus kembali ke jalur yang benar: jujur, konsisten, dan berpihak pada kepentingan publik. Jika tidak, sejarah hanya akan mencatat mereka sebagai pengkhianat, bukan pemimpin,” pungkasnya.
-ER-
No comments