Breaking News

Tedi Yusnanda N: Politik Ketakutan Membungkam Kritik, Seperti Voldemort di Dunia Nyata


Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N, menyoroti fenomena ketakutan publik untuk menyebut nama mantan pemimpin daerah yang diduga terlibat praktik korupsi. Menurutnya, ini mirip dengan kisah Lord Voldemort dalam Harry Potter, di mana orang-orang bahkan takut untuk menyebut namanya.

“Ini bukan sekadar lelucon Harry Potter,” kata Tedi. “Ketika masyarakat enggan menyebut nama mantan penguasa yang masih dianggap ‘berkuasa’ secara informal, itu tanda betapa dalamnya rasa takut yang dihasilkan oleh politik kekuasaan.”

Tedi menilai pola ini bukan hal baru. Dalam sejarah Romawi kuno dikenal praktik damnatio memoriae, yaitu menghapus nama seorang penguasa dari semua catatan. Ironisnya, kata dia, di banyak daerah hari ini justru terjadi hal sebaliknya: masyarakat dipaksa mengingat ketakutan lewat cara enggan menyebut nama.

“Kita tidak menghapus nama mereka dari ingatan, malah mengabadikan rasa takut. Jadi mereka tetap ‘berkuasa’ tanpa jabatan resmi,” jelasnya.

Ia juga mengutip mitos sihir kuno tentang naming magic—keyakinan bahwa mengetahui dan menyebut nama sejati seseorang memberi kuasa atasnya. “Dalam mitologi Mesir, Isis menaklukkan Ra dengan mengetahui nama rahasianya. Tapi di sini para mantan penguasa membalikkan logika itu. Mereka membuat kita takut menyebut nama mereka, agar kita tak punya kuasa mengkritik,” ujar Tedi.

Menurut dia, fenomena ketakutan menyebut nama tokoh politik lokal adalah bentuk pembungkaman yang lebih halus namun efektif. “Kita lihat di warung kopi, di grup WhatsApp, bahkan di rapat formal: orang hanya bilang ‘Beliau’ atau ‘orang sana.’ Itu bukan basa-basi sopan, itu strategi kuasa,” tegasnya.

Tedi juga menyinggung teori power/knowledge dari Michel Foucault. “Kekuasaan itu bekerja lewat pengaturan apa yang boleh dibicarakan. Kalau kita takut menyebut nama, kita kehilangan alat untuk mengawasi. Hilang kata, hilang kontrol,” katanya.

Dampak lanjutannya, menurut Tedi, sangat nyata. Media lokal enggan mengungkap dugaan korupsi. Aktivis LSM memilih diam atau beralih ke proyek-proyek netral. Warga pasrah dengan pembangunan mangkrak atau biaya proyek yang diduga membengkak.

“Orang bilang, ‘Sudah lewat masanya kok masih takut?’ Tapi inilah politik ketakutan: kekuasaan formal habis, tapi kekuasaan simbolik tetap menakutkan. Orang-orang masih takut kena masalah kalau mengkritik,” ungkap Tedi.

Ia menilai ini menghambat upaya membangun budaya demokrasi yang sehat. “Jangan remehkan efeknya. Korupsi itu bukan cuma rugi uang. Yang lebih parah adalah efek sosial: warga jadi apatis, takut menuntut transparansi, dan akhirnya para elite merasa bisa terus bermain di wilayah abu-abu,” ujarnya.

Sebagai solusi, Tedi mengajak masyarakat untuk berani menyebut nama dan membicarakan dugaan pelanggaran secara terbuka. “Kita perlu pecahkan ‘mantra ketakutan’ ini. Sebut nama. Bahas data. Dorong penegak hukum. Kalau kita terus berbisik, mereka yang diuntungkan,” tegasnya.

Ia pun mengingatkan bahwa di banyak tempat, mantan penguasa yang disebut sudah tumbang sebenarnya masih aktif membangun jaringan untuk kembali berkuasa. “Mereka tahu ketakutan itu modal politik. Kalau kita diam, mereka memakainya untuk comeback. Jadi melawan bukan soal benci pribadi, tapi untuk menjaga ruang publik dari monopoli kekuasaan,” tandasnya.

Tedi menutup dengan analogi yang lugas: “Dalam cerita Harry Potter, Harry bersikeras menyebut Voldemort. Karena dia tahu, takut pada nama membuat kita takut pada orangnya. Politik kita perlu orang-orang yang berani seperti itu. Kalau tidak, kita terus terjebak dalam sihir gelap politik ketakutan.”

(JBRMDS/05-18/02/25)

No comments