Tedi Yusnanda N: Perang Thailand-Kamboja Harus Dilihat sebagai Cerminan Rapuhnya Arsitektur Keamanan ASEAN
jabarmedsos.com - Ketegangan kembali memuncak di kawasan Asia Tenggara, kali ini melibatkan dua negara yang pernah berseteru di masa lalu: Thailand dan Kamboja. Dalam situasi global yang diliputi oleh eskalasi konflik multipolar dari Ukraina hingga Timur Tengah, perang perbatasan dua negara ASEAN itu menambah daftar panjang instabilitas geopolitik kawasan. Di tengah kondisi ini, Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N., saat dihubungi melalui sambungan telepon, menyatakan bahwa konflik Thailand-Kamboja tak bisa dipisahkan dari krisis kepercayaan terhadap mekanisme kolektif ASEAN.
“Ini bukan sekadar konflik dua negara. Ini adalah sinyal keras atas lemahnya bangunan kepercayaan strategis dan tidak efektifnya doktrin non-intervensi yang selama ini menjadi mantra ASEAN,” ujar Tedi.
Menurut Tedi, sejarah panjang rivalitas teritorial kedua negara sudah menjadi catatan klasik para sejarawan dan analis geopolitik. Perebutan kuil Preah Vihear sejak awal abad ke-20 hingga keputusan Mahkamah Internasional pada 1962 tak pernah benar-benar menutup luka geopolitik di kawasan itu. Dalam perspektif realisme politik internasional, konflik ini adalah bentuk konkret dari dilema keamanan klasik (security dilemma), di mana ketegangan meningkat saat negara-negara bertetangga mulai memperkuat militernya untuk saling menyeimbangkan kekuatan.
“Jika kita tarik ke belakang, teori John Mearsheimer soal offensive realism sangat menjelaskan dinamika ini: negara selalu ingin memastikan dominasinya di kawasan karena tidak percaya pada niat baik negara lain, terlebih jika institusi regional seperti ASEAN gagal menjadi penengah,” kata Tedi, merujuk pada karya Mearsheimer The Tragedy of Great Power Politics.
Tedi juga menyinggung lemahnya respon kolektif ASEAN yang masih terjebak dalam kerangka soft diplomacy dan prinsip non-intervensi. Padahal, kata dia, “Jika ASEAN tidak bertransformasi menjadi institusi keamanan kolektif yang efektif, maka ia hanya akan menjadi forum basa-basi tahunan yang menonton kawasan terbakar dari dalam.”
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa akar perang di Asia Tenggara sering kali tersembunyi dalam narasi yang tampak sederhana: sengketa batas wilayah, pembangunan infrastruktur militer, hingga pergeseran dukungan internasional. Namun yang lebih penting, kata Tedi, adalah bagaimana rivalitas global turut menjadikan Asia Tenggara sebagai teater pengaruh baru. “Konflik lokal sering dipicu oleh provokasi global. Ketika Amerika dan Tiongkok bersaing di Laut Cina Selatan, dan BRICS memperluas jejaringnya, maka negara-negara kecil seperti Thailand dan Kamboja bisa tergoda memainkan kartu konflik untuk menarik dukungan ekonomi atau militer dari kekuatan besar,” tegasnya.
Indonesia, sebagai negara besar di Asia Tenggara dan anggota BRICS yang baru, seharusnya tidak hanya menjadi penonton. Tedi menekankan bahwa posisi strategis Indonesia di antara dua samudera dan dua benua, serta peran historisnya sebagai motor utama Gerakan Non-Blok, menempatkannya sebagai satu-satunya kekuatan regional yang mampu menginisiasi sistem keamanan kolektif ASEAN yang lebih fungsional.
“Indonesia harus menawarkan arsitektur baru keamanan kawasan berbasis prinsip pertahanan bersama dan penyelesaian konflik yang mengikat. Bukan sekadar retorika diplomasi senyum,” ucap Tedi.
Dalam konteks yang lebih luas, konflik Thailand-Kamboja mengingatkan bahwa Asia Tenggara tidak imun terhadap badai perang global yang sedang menyebar. Di tengah runtuhnya konsensus liberal pasca-Perang Dingin, dunia tengah memasuki fase entropic geopolitics, istilah yang dipopulerkan oleh filsuf Slavoj Zizek untuk menggambarkan era penuh kebingungan strategis dan runtuhnya narasi besar tentang perdamaian.
“Kita sedang hidup dalam dunia yang kehilangan arah kompas. Tanpa arah strategis, tanpa arsitektur damai yang mengikat, Asia Tenggara berpotensi menjadi api kecil yang bisa membakar seluruh dunia,” tutup Tedi.
(JBRMDS/05-18/02/25)
No comments