Breaking News

UI Berduka: Cho Yong Gi, Mahasiswa Relawan Medis Ditetapkan Jadi Tersangka


Depok – Langit kampus Universitas Indonesia mendadak mendung. Duka menyelimuti Fakultas Ilmu Budaya, khususnya jurusan Filsafat, setelah salah satu mahasiswanya, Cho Yong Gi (20), resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Mahasiswa angkatan 2022 itu dikenai pasal berlapis terkait kericuhan yang terjadi dalam demonstrasi memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) di depan Gedung DPR/MPR RI, 1 Mei lalu.

Namun yang mengusik nurani banyak pihak adalah peran yang diemban Cho dalam aksi tersebut: bukan sebagai orator, apalagi provokator, melainkan relawan medis. Ia mengenakan helm berlambang palang merah dan membawa perlengkapan pertolongan pertama. Tugasnya sederhana: merawat mereka yang jatuh, terluka, dan sesak oleh gas air mata.

Dari Petugas Medis, Menjadi Tersangka

Kericuhan yang terjadi pascaaksi May Day menyisakan luka, bukan hanya fisik, tapi juga dalam rasa keadilan. Cho ditangkap bersama tiga relawan medis lain. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 212, 216, dan 218 KUHP, melawan petugas, tidak patuh pada perintah, serta dianggap melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Polisi berdalih bahwa Cho menolak membubarkan diri meski sudah diberi peringatan.

Namun, versi Cho jauh berbeda. Ia mengaku hendak meninggalkan lokasi bersama tim medis saat teriakan meminta pertolongan terdengar. Ada peserta aksi yang terluka. Mengikuti hati nurani dan sumpah kemanusiaan yang dipegangnya sebagai relawan, Cho kembali untuk memberi pertolongan. Justru saat itulah, ia ditangkap, diintimidasi, bahkan dituduh melempar batu ke arah petugas.

Kampus Merespons: “Ini Adalah Tanda Bahaya”

Penetapan tersangka atas Cho menuai gelombang keprihatinan dari kampus. Ikhaputri Widiantini, Ketua Program Studi Filsafat UI, menyatakan dengan tegas bahwa kasus ini menjadi preseden buruk dalam perlindungan warga sipil yang menjalankan tugas kemanusiaan.

"Kami menilai ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap mahasiswa yang berani hadir di tengah publik sebagai penolong, bukan perusuh," ujar Ikhaputri dalam pernyataannya.

Prodi Filsafat UI pun bekerja sama dengan Tim Advokasi untuk Demokrasi, mendampingi Cho secara hukum. Para dosen dan pengacara UI juga menyatakan komitmen mereka untuk mengawal proses ini hingga tuntas, demi memastikan hak-hak mahasiswa tidak dikorbankan di altar kepentingan keamanan yang tak proporsional.

Ketakutan yang Menyebar, Demokrasi yang Menciut

Kasus Cho Yong Gi telah menyebarkan efek psikologis yang luas di kalangan mahasiswa. Ruang-ruang diskusi kampus dipenuhi bisik-bisik ketakutan: apakah ikut aksi berarti siap masuk penjara? Apakah menolong orang bisa dianggap membangkang?

“Kami takut dikriminalisasi kalau menyampaikan pendapat, apalagi ikut bantu teman yang jadi korban. Padahal kami belajar di kampus untuk peduli dan berpikir kritis,” ujar seorang mahasiswa UI yang enggan disebutkan namanya.

Ketakutan itu kini mulai menggerogoti ruang demokrasi di kampus. Mahasiswa ragu turun ke jalan, meski ada ketidakadilan yang mendesak untuk dikritisi. Kegiatan kemanusiaan pun tak lagi terasa aman, karena atribut medis bisa dianggap tameng untuk “provokator”.

Harapan di Tengah Kepedihan

Meski suasana tengah muram, kasus Cho justru menyulut harapan baru: agar perlindungan terhadap relawan dan peserta aksi damai makin diperjelas dalam hukum. UI, bersama jejaring aktivis dan pendamping hukum, berharap aparat kepolisian meninjau kembali kasus ini secara objektif dan berkeadilan.

Cho Yong Gi bukan hanya mahasiswa. Ia simbol dari idealisme muda, keberanian menolong di tengah kekacauan, dan harga diri kampus yang menjunjung nilai kemanusiaan. Ketika seorang relawan medis diseret sebagai kriminal, maka masyarakat harus bertanya ulang: sedemokratis apakah negeri ini sebenarnya?

(JBRMDS/05-18/02/25)


No comments