Tedi Yusnanda N: Pengalihan Pulau Aceh, Tambang Nikel Papua Dan Tanah Desa, Jika Terbukti Adalah Pengkhianatan Terhadap Negara
Jakarta — Di tengah transisi kekuasaan nasional dan sorotan tajam publik terhadap oligarki politik, isu pengalihan wilayah administratif dari Aceh ke Sumatera Utara serta eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua, mencuat sebagai alarm keras yang tidak boleh diabaikan. Kedua peristiwa tersebut, jika terbukti benar, bukan hanya bentuk kelalaian administratif atau urusan teknokratis semata, tapi mengandung potensi pengkhianatan terhadap negara dan bangsa, sebagaimana dikritisi oleh Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute.
Lebih dari itu, pola-pola serupa mulai bermunculan di berbagai daerah lainnya dalam bentuk yang lebih halus dan sistemik: alih fungsi tanah desa menjadi milik pribadi atau korporasi besar, sering kali melalui proses yang manipulatif dan tanpa sepengetahuan masyarakat adat atau warga lokal. Bila dibiarkan, rangkaian ini bisa mengarah pada gelombang konflik horizontal, krisis kepercayaan terhadap negara, dan pada titik ekstrem: disintegrasi bangsa.
Aceh: Damai yang Mulai Retak oleh Politik Wilayah
Pengalihan empat pulau dari Aceh Singkil ke Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, memicu polemik tajam. Banyak pihak menduga bahwa Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berperan dalam proses ini, yang secara politis juga menyeret nama Bobby Nasution, Gubernur Sumatera Utara sekaligus menantu mantan Presiden Joko Widodo. Pengalihan ini dipandang mencederai semangat Perjanjian Damai Helsinki 2005 yang mengamanatkan pengakuan atas kewenangan Aceh dalam mengatur wilayah dan sumber daya.
“Jika pengalihan itu dilakukan tanpa musyawarah dengan DPR Aceh dan masyarakat lokal, maka itu pelanggaran terhadap MoU Helsinki. Dan itu berarti membuka kembali luka lama konflik bersenjata yang telah puluhan tahun membelah negeri ini,” ujar Tedi.
Papua: Tambang yang Membuka Luka, Bukan Menutupnya
Sementara itu di Papua, izin eksploitasi tambang nikel di kawasan Raja Ampat disebut-sebut diberikan kepada korporasi yang diduga terkait dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadlia dan bahkan melibatkan figur kuat mantan Presiden. Di tanah yang belum benar-benar sembuh dari konflik separatis dan pelanggaran HAM, praktik seperti ini bukan hanya sembrono, namun berbahaya.
“Papua tidak bisa diperlakukan sebagai ladang tambang belaka. Ia punya masyarakat adat, hak ulayat, dan sejarah panjang pengabaian. Jika negara masuk dengan membawa alat berat, tanpa membawa dialog, maka itu bentuk penjajahan baru dalam selimut republik,” tegas Tedi.
Tanah Desa: Wajah Baru Perampasan yang Tak Terdeteksi
Tedi juga menyoroti bagaimana di banyak wilayah lain di Indonesia, terutama Jawa, NTT, Sulawesi, hingga Kalimantan, praktik serupa terjadi dalam bentuk berbeda: alih fungsi tanah desa dan tanah adat menjadi milik pribadi atau korporasi besar. Dalam banyak kasus, kepala desa dan perangkat lokal dilibatkan atau ditekan, sementara warga tak diberi ruang bersuara.
“Tanah adalah harga diri. Ketika tanah hilang, yang hilang bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga akar identitas. Dan negara yang membiarkan itu terjadi tanpa perlindungan adalah negara yang mengkhianati rakyatnya sendiri,” katanya.
Pengkhianatan Struktural dan Simbolik: Sebuah Diagnosis
Dalam analisisnya, Tedi menyebut bahwa ini adalah bentuk pengkhianatan struktural—yakni ketika aparat negara dan regulasi hukum digunakan untuk mengalihkan kekayaan rakyat kepada segelintir elite. Lebih dari itu, ini juga pengkhianatan simbolik karena merusak kepercayaan rakyat terhadap makna kebangsaan dan keadilan.
“Dalam teori tata negara modern, pengkhianatan bukan hanya soal makar atau kudeta. Tapi juga keputusan yang secara sengaja mengabaikan konstitusi, prinsip keadilan, dan kehendak rakyat,” jelas Tedi, mengutip pemikiran Carl Schmitt dan Prof. Jimly Asshiddiqie.
NKRI Harga Mati: Retorika Kosong Tanpa Perlindungan Wilayah dan Rakyat
Tedi menyindir keras pihak-pihak yang selama ini paling vokal meneriakkan "NKRI harga mati", namun diam membisu ketika tanah rakyat dialihkan, pulau dipindahkan, atau tambang diberikan kepada korporasi asing.
“Di mana suara mereka yang selalu lantang bicara soal keutuhan Indonesia, ketika tanah desa dijual, Aceh dipreteli, dan Papua dikoyak tambang? Apakah nasionalisme hanya berlaku untuk rakyat kecil, tapi tidak untuk pejabat yang menjual wilayah negara?”
Desakan Hukum: Usut Tuntas dan Jatuhkan Hukuman Berat
Dalam perspektif hukum nasional, tindakan semacam ini bisa dijerat melalui berbagai ketentuan hukum positif, baik dari segi tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran administrasi negara, maupun pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
1. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945: Kedaulatan berada di tangan rakyat. Pengalihan wilayah dan sumber daya tanpa persetujuan rakyat bertentangan dengan prinsip ini.
2. Pasal 33 UUD 1945: Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk keluarga elite atau korporasi asing.
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA): menjamin hak atas tanah dan pelibatan masyarakat adat dalam setiap keputusan strategis.
4. KUHP Pasal 106 jo. 110: tentang makar dan tindakan-tindakan yang dapat mengancam kedaulatan negara—dapat menjadi dasar jika terbukti ada niat dan skema untuk merusak integritas wilayah NKRI secara sistematis.
“Jika ditemukan bukti adanya skenario politik dan kekuasaan dalam proses ini, maka pelakunya harus dianggap sebagai pengkhianat bangsa, dan dihukum berat sesuai prinsip supremasi hukum. Kita tidak bisa menoleransi nasionalisme setengah hati,” tegas Tedi.
Negara Harus Memihak Rakyat atau Kehilangan Kedaulatannya
Sebagai penutup, Tedi Yusnanda mengingatkan bahwa kekuasaan yang mengabaikan prinsip keadilan dan kedaulatan rakyat akan kehilangan legitimasi sosial. “Kita sedang menghadapi dua pilihan: negara sebagai pelindung atau negara sebagai makelar.”
“Dan sejarah sudah membuktikan, bahwa bangsa yang mengkhianati rakyatnya sendiri, tak akan pernah kuat menghadapi tekanan dari luar.”
Jika pulau bisa dipindah-pindahkan, tanah desa bisa diperjualbelikan, dan tambang bisa dikonsesikan tanpa transparansi, maka yang sedang dijual bukan hanya sumber daya, tapi juga masa depan bangsa. Kini, pertanyaannya:
Siapa sebenarnya yang paling mengancam keutuhan Indonesia, kritikus yang bersuara, atau pejabat yang menjual negeri diam-diam?
(JBRMDS/05-18/02/25)
No comments