Asmara yang Terjepit antara Dua Benua dan Perang Dunia: Inspired By A True Story (Tedi Yusnanda N - Direktur Eksekutif Sarasa Institute)
Tidak semua kisah cinta berpijak pada tanah yang sama. Kadang cinta tumbuh di antara dua benua, dua latar belakang, dua seragam yang tak seragam. Seorang perempuan Indonesia, ibu tunggal dari satu anak, menjalin kisah cinta yang pelik dan rapuh dengan seorang lelaki bujangan, prajurit dari sebuah negara transkontinental, sebuah negeri yang berdiri di persimpangan geopolitik Eurasia. Mereka bukan bagian dari kisah klasik Adam dan Hawa yang tinggal di taman yang sama, melainkan Romeo dan Juliet versi global, yang tidak hanya dipisahkan oleh tembok sosial, tapi juga oleh batas negara dan komando militer.
Yang membuatnya lebih dari sekadar fiksi romantik adalah kenyataan bahwa ini bukan kisah imajinasi. Ia nyata. Sedang terjadi, saat ini. Di tengah ketegangan internasional yang tak kunjung reda, saat dunia membicarakan eskalasi di Timur Tengah, ketegangan di Ukraina, dan potensi pecahnya konflik besar baru di Asia Pasifik, dua insan dari latar belakang yang nyaris tidak berpotongan justru saling menemukan melalui perantara seorang teman. Sebuah benih cinta tumbuh dari interaksi maya yang sederhana, namun perlahan menjelma menjadi pengikat batin yang kuat, meski tak pernah sekalipun bertatap muka secara langsung.
Ia, si perempuan Indonesia, datang dari dunia sipil yang damai namun penuh perjuangan sehari-hari, mengurus anak, mengejar nafkah, dan menanti kepastian dari sebuah hubungan yang bahkan belum sempat berwujud. Ia mengenalnya melalui seorang teman yang mempertemukan mereka di dunia digital, sebuah kanal yang menjadi jembatan bagi banyak hubungan lintas batas hari ini. Tapi hubungan mereka tak pernah sempat bersandar pada waktu senggang. Lelaki itu, anggota militer aktif dari negara yang selalu bersinggungan dengan konflik regional dan ambisi global, nyaris tak memiliki jeda untuk urusan personal.
Negaranya, tempat Asia mencium Eropa, adalah benteng keras yang selalu bersiap menghadapi ketegangan. Bukan hanya dalam posisi geografis yang genting, tetapi juga dalam sejarah panjang perannya dalam percaturan militer global dari Balkan, Kaukasus, Timur Tengah, hingga persimpangan Laut Hitam. Ia bukan hanya tentara, tetapi representasi dari satu bab dalam buku sejarah yang terus diperpanjang oleh konflik.
Sementara itu, sang perempuan, dari sebuah desa di pulau tropis, menaruh harapan dan rasa di layar kecil ponselnya. Setiap pesan adalah denyut jantung. Setiap video call adalah satu-satunya pertemuan yang tersedia. Namun cinta mereka bukan hanya diuji oleh jarak, melainkan oleh perbedaan dunia: antara sipil dan militer, antara damai dan perang, antara harapan yang lentur dan tugas yang tak bisa ditawar.
Cinta antara sipil dan militer bukan hal baru. Di masa Perang Dunia II, misalnya, ribuan perempuan sipil jatuh cinta pada serdadu asing yang datang ke negerinya. Di Prancis, kisah cinta antara perempuan Paris dan tentara Amerika menjadi fenomena sosial sekaligus bahan propaganda. Tapi cinta macam ini tak pernah mudah. Lihatlah kisah kontroversial antara Wallis Simpson dan Raja Edward VIII yang memilih cinta daripada tahta di tengah bayang-bayang Perang Dunia, atau kisah sedih antara Clara Petacci dan Benito Mussolini, seorang pemimpin fasis dan kekasihnya yang tetap setia hingga keduanya dieksekusi bersama.
Cinta dalam pusaran militer selalu melibatkan risiko dan pengkhianatan terhadap waktu. Kadang cinta dijadikan alat negara, kadang ia dikorbankan demi negara. Hubungan sipil-militer dalam konteks pribadi seperti mereka juga merefleksikan hubungan institusional dua dunia yang sulit bersatu: dunia yang berjalan dengan rasa, dan dunia yang digerakkan oleh perintah. Sang perempuan mencintai seorang prajurit, bukan hanya laki-laki. Ia jatuh cinta pada seseorang yang setiap hari bersiap untuk tidak kembali, yang kesetiaannya dibagi antara negara dan, kalau masih sempat, cinta.
Kini, di tengah ketegangan dunia yang makin memanas, ketika Ukraina masih terbakar, Laut China Selatan mulai mendidih, dan aliansi-aliansi militer bersiasat dalam senyap, hubungan mereka bergantung pada stabilitas dunia yang rapuh. Keduanya belum pernah bertemu, dan mungkin, jika konflik terus membesar, pertemuan itu akan terus tertunda.
Namun bukan berarti cinta mereka sia-sia. Dalam dunia yang makin kehilangan makna kemanusiaan karena angka-angka strategi dan kalkulasi kekuasaan, cinta mereka menjadi semacam bentuk perlawanan halus: bahwa dua insan dari dunia yang sangat berbeda masih bisa saling merindukan, berharap, dan mengirim pesan: “Aku masih di sini.” Sebab seperti kata Erich Fromm dalam The Art of Loving, cinta bukanlah emosi yang pasif, melainkan keputusan aktif untuk tetap peduli dan hadir, bahkan saat dunia meminta kita menjauh.
Apakah cinta mereka akan bersatu? Ataukah dunia terlalu sibuk berperang untuk memberi mereka ruang? Sejarah mungkin tidak mencatat mereka seperti mencatat Patton, Rommel, atau Churchill. Tapi sejarah cinta tidak selalu ditulis oleh pemenang perang. Kadang ia ditulis oleh mereka yang, meski tak pernah bertemu, mampu menjaga harapan di antara ledakan dan jadwal tugas tempur.
Dan karena itu, barangkali cinta mereka adalah bentuk paling tulus dari diplomasi: tanpa syarat, tanpa perjanjian, tanpa delegasi. Hanya dua hati yang mencoba menyatukan dua benua yang lama saling berjauhan antara barat dan timur, antara sipil dan militer, antara perang dan damai, di tengah dunia yang tak kunjung menemukan jalan pulangnya.
*Batuhiu Romantic Story, 17 Juni 2025
No comments