Tedi Yusnanda N Desak Audit Forensik dan Soroti Ketimpangan Pemeriksaan BPK: Pangandaran di Ambang Bangkrut
Tedi Yusnanda N (Sarasa Institute)
Pangandaran — Kritik tajam Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terhadap kondisi keuangan Kabupaten Pangandaran dalam forum resmi dengan para bupati dan wali kota se-Jawa Barat menyulut diskusi hangat di kalangan publik dan aktivis kebijakan. Dalam cuplikan video yang beredar luas, Dedi menyebut Pangandaran sebagai “kabupaten setengah sekarat” akibat defisit anggaran, gagal bayar Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama lima bulan, hingga mengajukan pinjaman ke Bank BJB.
Menanggapi hal ini, Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute, menilai bahwa krisis fiskal Pangandaran bukan sekadar soal manajemen kas, tapi lebih dalam: indikasi kerusakan sistemik dalam tata kelola keuangan yang menuntut audit forensik oleh BPK dan atensi serius dari KPK.
“Kalau sebuah perusahaan sudah tidak mampu bayar gaji dan menumpuk utang, itu statusnya bangkrut. Maka panggilan audit forensik ini mendesak. Dan anehnya, Pangandaran tetap mendapat opini WDP dari BPK, yang seolah-olah situasi masih terkendali,” kata Tedi melalui sambungan telepon.
Pinjaman yang Ditolak Dulu, Kini Diulang Lagi
Tedi mengungkap bahwa pengajuan pinjaman oleh bupati Pangandaran bukan hal baru. Pada periode sebelumnya, rencana serupa pernah diajukan namun mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh lokal, karena dianggap tidak transparan dan berisiko membebani APBD masa depan. Akhirnya, pengajuan tersebut ditolak oleh tiga kementerian terkait: Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PPN/Bappenas.
Namun kini, bupati yang baru kembali mengajukan pinjaman ke Bank BJB, meski hingga kini belum mendapat respons resmi dari pihak bank.
“Ini menunjukkan bahwa logika pengelolaan keuangan Pemkab Pangandaran masih berputar di pola lama: menambal lubang dengan utang. Kita khawatir masyarakat kembali harus menanggung beban utang jangka panjang yang sumber kegagalannya tidak pernah diaudit tuntas,” ujar Tedi.
Fakta Penting yang Luput dari Kritik Gubernur
Tedi juga menyayangkan bahwa Gubernur Dedi Mulyadi dalam forum tersebut tidak menyinggung sejumlah isu krusial lainnya yang justru memperkuat dugaan kegagalan sistemik.
“Contohnya, Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penghasilan Tetap (Siltap) perangkat desa yang belum dibayarkan oleh Pemkab Pangandaran. Ini masalah besar yang menyangkut hak dasar aparatur dan masyarakat desa, tapi tak disentuh sama sekali,” ujarnya.
Padahal, ketentuan tentang DBH dan Siltap sangat jelas dalam regulasi nasional:
1. Pasal 72 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa “Alokasi Dana Desa (ADD) dan bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah (DBH) untuk desa ditetapkan dalam APBD kabupaten/kota dan wajib disalurkan tepat waktu setiap tahun anggaran.
2. ”Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2018 Pasal 52 secara tegas menyebut bahwa penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa dibayarkan setiap bulan dan tidak boleh ditunda.
3. Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2014 juga menekankan bahwa DBH tidak boleh digunakan untuk belanja lain dan harus disalurkan secara proporsional sesuai ketetapan. “Jika hak desa ditunda atau dialihkan untuk kepentingan lain, ini bukan hanya pelanggaran administrasi, tapi juga pelanggaran hukum keuangan negara. Ini bisa digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum dan potensi tindak pidana korupsi,” tegas Tedi.
Audit Forensik: Mengungkap Akar Krisis
Tedi mendesak BPK agar tidak berhenti pada pemeriksaan rutin, tapi segera melakukan audit investigatif berbasis forensik sebagaimana diatur dalam:
- Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), terutama Bab VI, tentang Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu, termasuk audit investigatif dan audit kinerja yang berbasis risiko.
- Pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, yang memberikan kewenangan kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan investigatif jika ditemukan indikasi kerugian negara.
- Pasal 6 dan Pasal 11 UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang menegaskan bahwa KPK berwenang menangani kasus yang menyangkut penyelenggara negara dan kerugian negara besar, serta meresahkan masyarakat.
Menurut Tedi, opini WDP (Wajar Dengan Pengecualian) dari BPK sangat mencurigakan, mengingat kondisi keuangan Pemkab Pangandaran yang sudah sangat buruk dan kewajiban dasar seperti TPP, Siltap, dan DBH justru belum dibayarkan.
“Kalau dana desa belum cair, TPP macet 5 bulan, pinjaman ditolak pusat, dan utang menumpuk—itu indikator kegagalan menyeluruh. Predikat WDP seharusnya dikaji ulang. Bahkan, bisa jadi predikat ‘Disclaimer’ atau Tidak Memberikan Pendapat yang lebih tepat,” tandas Tedi.
KPK Harus Turun ke Lapangan
Lebih lanjut, Tedi menilai bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa lagi pasif melihat kondisi Pangandaran. Ia menekankan bahwa jika aparat penegak hukum hanya bertumpu pada hasil audit reguler BPK yang tidak komprehensif, maka kerusakan tata kelola akan dibiarkan terus berlangsung.
“KPK selama ini dianggap melempem di Pangandaran. Ini saatnya mereka hadir, turun ke lapangan, dan melihat langsung dugaan fraud dalam pengelolaan anggaran. Jika tidak, Pangandaran bisa menjadi studi kasus kegagalan negara mengawal otonomi daerah,” pungkas Tedi.
Audit forensik adalah metode pemeriksaan untuk mengungkap transaksi-transaksi abnormal, pelanggaran prosedur, serta potensi fraud dalam sistem keuangan negara. SPKN BPK menegaskan bahwa setiap ketidakwajaran harus ditelusuri dan dilaporkan, termasuk penyimpangan dalam penyaluran DBH dan Siltap yang telah terjadi berulang sejak beberapa tahun terakhir tanpa pernah disentuh secara tegas dalam laporan BPK.
“Diamnya BPK terhadap pelanggaran hak desa adalah bentuk ketimpangan pemeriksaan,” tegas Tedi. “Ini bukan hanya soal akuntansi, tapi keadilan anggaran.”
No comments