Breaking News

Qian Xuesen Dideportasi Amerika yang Menjadi Pahlawan di China

Washington - Perang dagang antara Amerika Serikat dan China memanas tajam sejak awal 2025 dengan saling menaikkan tarif impor secara signifikan, di mana AS memberlakukan tarif hingga 145 persen untuk produk China dan China membalas dengan tarif hingga 125 persen untuk barang AS. Ketegangan ini menyebabkan ketidakpastian di pasar global dan berdampak pada perdagangan internasional serta inflasi di berbagai negara

Puncaknya 28 Mei 2025, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan bahwa pemerintah AS akan secara agresif mencabut visa bagi mahasiswa asal China, termasuk mereka yang terkait dengan Partai Komunis atau yang belajar di ‘‘bidang-bidang yang sensitif. Lalu, apakah AS akan kembali jatuh di lubang yang sama?.

Akankah Amerika mengulagi kesalahan terbesarnya dimasa lalu?

Dimasa lalu Negeri Paman Sam ini pernah melakukan kesalahan terbesarnya dengan menyingkirkan dan mendeportasi seorang Ilmuwan China dengan tuduhan yang sangat subjektif dan tidak mendasar sama sekali, Sosok itu adalah Qian Xuesen (juga dikenal sebagai Hsue-Shen Tsien), seorang ilmuwan roket terkenal asal Tiongkok yang berperan penting dalam pengembangan program antariksa dan roket di Tiongkok. Ia dikenal sebagai "Bapak Ilmu Roket Tiongkok" yang kontribusinya dikemudian hari menjadikan China mampu sejajar bahkan dibeberapa hal berhasil menyaingi Amerika di dunia antariksa, bahkan China sudah mampu mengembangkan roket antar benua yang membawa hulu ledak Nuklir.

Qian Xuesen adalah ilmuwan China, Ia lahir pada 1911, Qian muda melanjutkan pendidikannya ke California Institute of Technology (Caltech) untuk belajar di bawah bimbingan salah seorang insinyur aeronautika paling berpengaruh saat itu, Theodore von Karman, kelahiran Hungaria.
Di sana, Qian berbagi kantor dengan ilmuwan terkemuka lainnya, Frank Malina, anggota kunci dari kelompok kecil inovator yang dikenal sebagai ‘‘Suicide Squad. ‘‘ Julukan itu diberikan karena percobaan mereka untuk membangun roket di kampus, dan juga beberapa eksperimen dengan bahan kimia mudah menguap yang berakhir sangat buruk, jelas Fraser Macdonald, penulis Escape from Earth: A Secret History of the Space Rocket.

Namun, tidak ada yang benar-benar jadi korban, kata penulis itu. Suatu hari, Qian terlibat dalam sebuah diskusi tentang matematika yang rumit dengan Malina dan anggota kelompok lainnya.
‘‘Tidak seorang pun menganggapnya [roket] dengan serius, dan tidak ada insinyur yang ahli matematika akan mempertaruhkan reputasinya dengan mengatakan ini adalah projek masa depan.

Meskipun Qian adalah warga China, saat itu China adalah sekutu AS sehingga ‘‘tidak ada kecurigaan nyata terhadap ilmuwan China di pusat proyek luar angkasa Amerika,‘‘ kata Macdonald. Menjelang perang berakhir, Qian menjadi ahli propulsi jet terkemuka di dunia dan dikirim bersama von Karman dalam misi ke Jerman dengan pangkat sementara letnan kolonel.

Usai perang dunia 2 berakhir, Dunia memasuki babak baru era perang dingin yang membagi dunia menjadi dua blok besar, barat dan timur atau blok negara sosialis dengan blok negara kapitalis, dan dengan cepat juga semangat anti orang yang berasal dari negara sosialis merebak di Amerika, Orang China dianggap sebagai ‘‘orang jahat,‘‘ yang harus dicurigai, kata Jespersen dari Universitas Georgia Utara.

Dalam suasana ini, FBI menuduh Qian, Frank Malina, dan yang lainnya sebagai antek komunis dan menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional, meskipun Qian menyangkal menjadi anggota partai, sebuah studi baru menunjukkan bahwa ia bergabung di waktu yang sama dengan Frank Malina, pada 1938. Saat itu, menjadi komunis adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan rasisme, kata Mcdonald.

Profesor sejarah di California Polytechnic State University di AS, mengatakan tidak ada bukti bahwa Qian melakukan spionase untuk China atau menjadi agen intelijen saat berada di AS.
Ilmuwan itu pergi dengan kapal bersama istri dan dua anaknya yang lahir di AS, sambil mengatakan kepada wartawan bahwa ia bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kaki di AS lagi.

Pada 28 Mei, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengumumkan bahwa pemerintah akan ‘‘secara agresif mencabut‘‘ visa bagi pelajar China, termasuk mereka yang terkait dengan Partai Komunis atau yang belajar di ‘‘bidang-bidang yang sensitif.

Trump bakal cabut Visa Mahasiswa China

Pemerintahan Presiden Donald Trump berencana secara agresif mencabut visa mahasiswa asal China yang belajar di Amerika Serikat, terutama bagi yang dianggap memiliki keterkaitan dengan Partai Komunis China atau menempuh studi di bidang-bidang strategis penting. Kebijakan ini juga mencakup revisi kriteria pengajuan visa dan peningkatan pengawasan, termasuk pemeriksaan media sosial para pemohon visa dari China dan Hong Kong.

Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan imigrasi garis keras Trump yang memperluas deportasi dan pembatasan visa pelajar asing, dan diperkirakan akan memperburuk hubungan AS-China yang sudah tegang akibat perang dagang dan persaingan teknologi. Pemerintah China mengecam kebijakan ini sebagai bermotif politik, diskriminatif, dan merugikan hak mahasiswa China serta mengganggu pertukaran antar masyarakat kedua negara.

Dengan kata lain Trump akan mendeportasi atau mencabut visa ratusan ribu mahasiswa China di AS sebagai bagian dari upaya menekan pengaruh China di bidang akademis dan keamanan nasional.

Lalu, apakah AS akan kembali jatuh di lubang yang sama dengan menyingkirkan sosok-sosok jenius seperti ilmuwan China "Qian Xuetes" dan melakukan salah satu kesalahan terbesar dalam sejarah negara itu?.

(JBRMDS/05-18/02/25)

No comments