Breaking News

Tan Malaka Bikin Madilog, Aktivis Sekarang Modal Bacotlog (Tedi Yusnanda N)

       Tedi Yusnanda N (Sarasa Institute) 

Di antara arus zaman yang semakin sesak oleh gemuruh konten, derap viralitas, dan pertunjukan keberanian palsu di media sosial, nama Tan Malaka nyaris tak terdengar. Ia lahir pada 2 Juni 1897 di Pandan Gadang, Sumatera Barat, di sebuah tanah yang di kemudian hari justru melupakan anak pikirannya sendiri. Bukan karena tak relevan, tetapi karena terlalu mencolok dalam dunia yang lebih menyukai keriuhan daripada kedalaman. Dalam dunia hari ini, Tan Malaka mungkin akan dianggap "tidak marketable" karena terlalu serius, terlalu gelisah, terlalu mendesak manusia berpikir secara mendalam.

Padahal ia bukan hanya tokoh sejarah. Ia adalah tubuh yang ditempa pengasingan, pelarian, dan pengkhianatan. Pemikir yang menjelma menjadi mesin pembebasan, menulis dan berpikir dengan luka sebagai tinta dan masa depan sebagai medan juangnya. Buku Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika, ditulisnya dalam sunyi, saat diasingkan di Bukittinggi, sebagai upaya melawan kejumudan dan sistem kepercayaan yang mengakar tapi mandek. Ia ingin bangsa ini merdeka secara pikiran, bukan sekadar secara politik. Ia tahu bahwa kemerdekaan yang hanya berdiri di atas semangat tanpa nalar akan rapuh dan mudah dibeli.

Buku Madilog bukan hanya kerja teori, melainkan juga kerja budaya. Ia menyerang takhayul, dogma, dan feodalisme, bukan dengan caci maki tapi dengan analisis logis. Dalam konteks itu, Tan Malaka tampak seperti Odin dalam mitologi Nordik, sang dewa pengembara yang menukar satu matanya demi pengetahuan. Ia menempuh jalan sunyi dan getir, agar bangsanya bisa melihat lebih jernih. Tapi ironisnya, bangsa itu justru memilih menutup mata.

Dan hari ini, kita seperti terus membutakan diri sendiri. Banyak aktivis muda yang berdiri dengan kepala tinggi, membawa slogan-slogan besar, namun tanpa basis epistemik yang kuat. Mereka bersilat lidah dalam forum, namun hanya memantulkan asumsi. Di era digital, kemudahan berbicara menjelma jadi jebakan massal: argumentasi tak lagi dibangun dari premis yang kokoh, melainkan dari impresi personal, perasaan sesaat, dan bias algoritma.

Aktivisme yang seharusnya menjadi ladang pengujian nalar kini berubah menjadi ruang gema; yang keras suaranya, dianggap benar; yang kompleks dan pelan, ditinggalkan. Berapa banyak mahasiswa hari ini yang membaca Madilog, apalagi memahami struktur logikanya? Berapa banyak yang tahu bahwa Tan Malaka menulisnya sebagai fondasi epistemologis untuk bangsa yang tercerabut dari akal sehat akibat kolonialisme dan feodalisme yang memanjakan ketundukan?

Sebagai perbandingan, Tan tidak hanya mengutip Marx, Engels, atau Lenin. Ia menyusun kerangka berpikirnya sendiri, mengindonesiakan metode materialisme historis dan logika dialektika. Ia sadar bahwa revolusi bukan sekadar retorika massa, melainkan kerja panjang menyusun nalar kolektif. Baginya, tak cukup menjadi pemarah atau pemberontak; seorang revolusioner harus mampu menjadi pemikir yang sabar dan pembelajar yang konsisten.

Sejarah mencatat, bahkan Soekarno pun, yang kelak menjadi Presiden dan simbol revolusi, pernah menyatakan dalam sebuah wawancara dengan Cindy Adams (dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia) bahwa jika ia wafat lebih dulu, maka Tan Malaka adalah satu-satunya tokoh yang pantas menjadi pewaris revolusi Indonesia. Namun sejarah juga tahu, kata-kata itu tidak pernah benar-benar mewujud dalam politik. Tan Malaka akhirnya ditembak mati oleh bangsanya sendiri pada 21 Februari 1949, dan kuburnya dibiarkan tanpa nisan selama puluhan tahun. Ia bukan saja ditinggalkan secara fisik, tetapi juga secara intelektual.

Dan dalam konteks kekinian, kehilangan terbesar kita bukan hanya karena melupakan Tan Malaka sebagai nama, tetapi karena menanggalkan semangat berpikirnya. Kita lebih sibuk membuat opini cepat, membangun persepsi instan, dan mencari “poin” dalam debat medsos, daripada membangun argumen yang metodologis dan historis. Tak ada pembacaan yang mendalam, tak ada kerangka analisis yang kokoh, yang ada hanya reaksi, bukan refleksi.

Tan Malaka percaya bahwa dialektika bukan sekadar alat konflik, tapi cara memahami perubahan. Ia mengajarkan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang tetap, tapi terus bergerak, bergulat, dan berganti dalam sejarah. Namun, hari ini kita menyukai kepastian palsu yang diberi tanda centang biru, bukan kebenaran yang harus diperjuangkan dengan kerja intelektual.

Dan barangkali, inilah mitos paling getir dalam narasi bangsa ini: kita menyebut diri merdeka, tapi masih alergi terhadap pemikiran merdeka. Kita membangun patung-patung pahlawan, tapi membiarkan gagasan-gagasan mereka terbengkalai. Dalam dunia Nordik, Odin kehilangan satu matanya untuk memperoleh kebijaksanaan. Tapi bangsa ini kehilangan seluruh matanya demi kenyamanan.

Tan Malaka bukan nama yang layak disucikan, tetapi layak untuk terus diuji dan dibaca. Madilog bukan kitab suci, tapi percikan kesadaran yang masih bisa menyala dalam kepala-kepala yang jujur ingin berpikir. Jika hari ini para aktivis ingin menyebut dirinya sebagai penerus perjuangan, maka bacalah Tan bukan sebagai simbol, tapi sebagai soal yang belum selesai. Sebab dalam kebisingan hari ini, kita lebih butuh satu paragraf dari Madilog ketimbang seribu status yang dibangun dari kekosongan berpikir.

Dan mungkin benar kata Tan Malaka dalam fragmen hidupnya: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.” Tapi hari ini, bahkan kemewahan itu telah kita jual demi kenyamanan algoritma dan gemuruh like. Maka, pada setiap 2 Juni, mari bukan hanya mengingat Tan Malaka, tapi juga mempertanyakan: apa yang sudah kita lakukan dengan kebebasan berpikir yang pernah ia perjuangkan hingga titik darah penghabisan?

*Bandung Underestimate, 3 Juni 2025

No comments