Breaking News

Pancasila Dan Iblis-Iblis Baru Yang Kita Sembah (Tedi Yusnanda N)

    Tedi Yusnanda N (Sarasa Institute) 

Setiap 1 Juni kita menyalakan lilin kecil untuk Pancasila. Kita bacakan ia dalam upacara dengan langgam seragam, kita gantungkan fotonya di ruang sidang, kita cetak sila-silanya di kaus, stiker, dan billboard. Tapi tidak pernah, tidak pernah sungguh-sungguh, kita tanyakan: masih hidupkah ia, atau hanya jadi hantu baik yang kita panggil untuk menutupi bau bangkai dari cita-cita yang gagal?

Zaman ini bukan lagi zaman antara yang hitam dan putih. Ini zaman abu-abu digital, ketika kebohongan tampil lebih meyakinkan daripada kebenaran. Slavoj Zizek pernah berkata, “Kita hidup dalam era pasca-ideologi, di mana ideologi bekerja justru saat kita percaya bahwa kita bebas dari ideologi.” Dan bukankah itu yang kita alami saat membaca Pancasila hari ini? Kita ucapkan kata “Keadilan Sosial” dengan penuh khidmat, sembari menatap layar gadget yang diproduksi dari buruh-buruh murung di Asia Tenggara, dibeli dengan uang lembur dari pekerja kita sendiri yang upahnya dirampas oligarki.

Tak ada ideologi yang lebih berbahaya daripada yang kita yakini tanpa sadar. Maka Pancasila, alih-alih menjadi pedoman politik yang mengoreksi kekuasaan, kini telah direduksi menjadi mantra peredam. Ia bukan lagi alat resistensi, melainkan alat stabilisasi. Ia tak digunakan untuk bertanya, tapi untuk membungkam pertanyaan.

Gramsci menulis bahwa hegemoni bekerja bukan dengan kekerasan, melainkan dengan persetujuan yang diproduksi oleh budaya dominan. Ketika televisi kita, sekolah kita, bahkan masjid dan gereja kita mulai mengajarkan bahwa “berbeda itu berbahaya,” bahwa “kritik berarti makar,” bahwa “patriotisme adalah patuh,” maka Pancasila telah dikooptasi sepenuhnya oleh logika kekuasaan. Ia menjadi tameng untuk menangkis gugatan, bukan cermin untuk mengoreksi arah.

Lebih menyedihkan lagi, kita mulai menyembah iblis-iblis baru yang menyamar sebagai patriot: penguasa yang bicara persatuan sambil memperbanyak izin tambang; aparat yang berkhotbah soal ketertiban sambil menekan warga dengan intimidasi hukum; guru yang mengajarkan toleransi sambil menghina agama tetangga. Dan di tengah parade kepalsuan ini, Pancasila berdiri, atau mungkin terduduk lelah, menyaksikan anak-anaknya dijadikan komoditas dalam iklan politik dan kurikulum birokratik.

Frantz Fanon, dalam The Wretched of the Earth, memperingatkan bahwa nasionalisme yang tidak disertai pembebasan ekonomi dan emansipasi budaya akan melahirkan borjuasi pribumi yang lebih kejam dari kolonialis. Lihatlah sekeliling kita: bukankah negeri ini seperti sedang dijajah oleh anak kandungnya sendiri?

Pancasila bukanlah solusi jika terus-menerus dibekukan. Ia hanya berguna jika dijadikan alat dekonstruksi terhadap sistem yang menindas. Ia mesti dikembalikan ke akarnya: sebagai proyek revolusioner. Ya, revolusioner, bukan kosmetik politik yang dipoles tiap lima tahun. Sila-silanya bukan urutan puisi, tapi seruan perang terhadap ketimpangan, perbudakan modal, dan klaim tunggal atas kebenaran moral.

Ketuhanan yang maha esa bukanlah tiket suci untuk membenarkan dogma, melainkan panggilan untuk meruntuhkan tirani atas nama agama. Kemanusiaan yang adil dan beradab harus berani menantang hukuman mati, razia yang melanggar HAM, dan sistem sekolah yang mengasingkan anak miskin. Persatuan Indonesia harus bisa menampung perbedaan suara, bukan memaksakan satu tafsir nasionalisme yang dirumuskan elit. Kerakyatan tak bisa hidup tanpa pembongkaran atas dominasi oligarki. Dan keadilan sosial... ah, sila kelima ini sudah terlalu lelah jadi slogan. Ia menunggu revolusi, bukan retorika.

Kini kita hidup dalam negeri di mana anak muda diajarkan untuk takut berpikir. Di mana aktivis dijebloskan ke penjara dengan pasal karet, sementara koruptor diberi panggung televisi. Di mana rakyat miskin masih antre sembako, dan pemilik modal antre konsesi tambang.

Pancasila hanya akan berguna di masa depan jika ia kita cabut dari altar dan kita bawa ke jalan. Jika ia kita beri napas kembali, bukan melalui seminar dan upacara, tapi lewat kemarahan yang terorganisir. Lewat keberanian untuk mengatakan bahwa “nasionalisme” tanpa keadilan adalah topeng fasisme. Bahwa “persatuan” tanpa kebebasan berpikir adalah bentuk lain dari kolonialisme batin.

Kita tidak butuh Pancasila versi e-KTP. Kita butuh Pancasila yang bisa membuat kita menolak tunduk pada kebodohan yang dilembagakan. Bukan untuk menjadi “baik” menurut definisi penguasa, tapi untuk tetap waras di tengah gempuran dusta yang dirayakan.

Barangkali Pancasila tak mati. Ia hanya dikurung dalam retorika. Tapi seperti halnya api, ide hanya berguna jika dibiarkan membakar.

*Bumi Serpong Damai Plaza, 1Juni 2025

No comments