Jalur Khusus yang Jadi Komoditas Elit: Membongkar Sisi Gelap Sejarah dan Praktik Haji Furoda
Jakarta – Program Haji Furoda, yang awalnya merupakan bentuk penghormatan diplomatik dari Kerajaan Arab Saudi, kini berubah wajah menjadi lahan subur praktik komersialisasi ibadah. Ditawarkan sebagai jalur “bebas antre” bagi masyarakat kaya raya, Haji Furoda hari ini bukan hanya melahirkan ketimpangan spiritual, tapi juga membuka ruang bagi praktik jual beli visa, penipuan, bahkan dugaan keterlibatan aktor politik tingkat tinggi yang hingga kini belum tersentuh hukum.
Dari Undangan Kerajaan ke Meja Transaksi
Seperti diketahui, visa mujamalah atau Haji Furoda adalah visa undangan yang semula hanya diberikan kepada tokoh-tokoh penting dan tamu kehormatan kerajaan. Namun sejak beberapa tahun terakhir, visa ini telah dibajak oleh biro perjalanan dan elite tertentu sebagai "komoditas ibadah", dijual dengan harga fantastis, berkisar antara Rp. 250 juta hingga Rp. 500 juta per orang.
Yang lebih mengejutkan, jalur ini disebut-sebut berada dalam genggaman beberapa oknum elit politik dan pengusaha. Beberapa sumber dalam penyelenggara haji bahkan menyebutkan bahwa slot visa Furoda bisa "diborong" oleh pihak tertentu yang memiliki akses diplomatik ke Saudi, lalu didistribusikan lewat travel dengan imbal balik finansial yang tidak transparan.
Dugaan Keterlibatan Menteri, Tapi Tak Terungkap
Dalam laporan investigatif yang belum sempat dirilis resmi, terdapat sinyal kuat bahwa praktik jual beli visa Furoda melibatkan orang-orang dekat kekuasaan. Seorang mantan pejabat tinggi Kementerian Agama menyebut adanya "jalur dalam" yang diduga dikoordinasikan oleh pihak yang memiliki akses langsung ke Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta.
Nama seorang menteri dalam kabinet saat ini bahkan sempat mencuat dalam percakapan internal di kalangan pelaku travel haji, disebut-sebut sebagai “pemilik kuota tidak tertulis” untuk ratusan visa Furoda setiap tahun. Namun, tak satu pun dari kabar tersebut pernah ditindak secara hukum atau masuk ke ranah penyelidikan resmi. Keheningan ini mencerminkan kuatnya beking politik di balik praktik ini.
Visa Tak Keluar, Ratusan Calon Jemaah Terlantar
Tahun 2025 menjadi puncak kegelisahan. Ratusan calon jemaah Haji Furoda dari berbagai daerah yang telah membayar lunas biaya keberangkatan dilaporkan gagal berangkat karena visa mujamalah yang dijanjikan tak kunjung diterbitkan. Bahkan, menurut laporan Suara.com (30 Mei 2025), sejumlah jamaah telah berada di bandara tanpa kepastian visa, hingga akhirnya pulang dalam kondisi frustrasi.
Keadaan ini memicu protes dari berbagai kalangan. Namun yang lebih menyakitkan, tak ada satu pun travel biro yang disanksi serius. Bahkan, beberapa agen yang diduga melakukan penipuan masih terus beroperasi, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan minimnya perlindungan terhadap jemaah non-kuota.
Ironi Ibadah dalam Dunia Kapitalisme Religius
Praktik ini tak sekadar masalah teknis visa, tetapi telah menyentuh jantung etika keagamaan. Haji Furoda adalah contoh paling telanjang bagaimana ibadah suci bisa dijadikan barang dagangan yang hanya bisa diakses oleh kelas menengah atas dan elite birokrasi. Yang miskin dan tidak punya koneksi harus pasrah menunggu antrean puluhan tahun di jalur reguler.
Lebih dari itu, jalur ini telah menciptakan pasar gelap dalam industri keagamaan, yang ironisnya tidak dijangkau oleh Badan Pemeriksa Keuangan, KPK, ataupun aparat penegak hukum. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin Haji akan benar-benar kehilangan maknanya sebagai panggilan suci dan berubah menjadi “tiket eksklusif” hasil jual beli pengaruh dan uang.
Perlu Langkah Reformasi Serius
Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama, harus segera merombak sistem pengawasan visa non-kuota. Perlu dibentuk tim lintas lembaga, termasuk unsur Kemenlu dan Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk mengaudit distribusi visa Furoda dari tahun ke tahun.
Selain itu, diplomasi bilateral Indonesia-Saudi harus diperkuat untuk menyepakati transparansi dalam distribusi visa mujamaalah agar tidak terus menjadi celah penipuan dan korupsi berkedok ibadah.
Kembalikan Kesucian Haji
Di tengah merosotnya kepercayaan publik pada penyelenggaraan ibadah haji, khususnya jalur Furoda, sudah saatnya negara hadir lebih serius. Haji bukan sekadar perjalanan fisik ke tanah suci, tetapi simbol kesetaraan umat di hadapan Tuhan. Maka, membiarkan visa haji diperdagangkan oleh elite adalah bentuk pengkhianatan terhadap makna spiritual yang paling mendasar.
Referensi Tambahan:
[1] Kalam SINDOnews, "Sejarah Munculnya Haji Furoda, Naik Haji Tanpa Antrean"
[3] IDX Channel, "Mengenal Haji Furoda, Sejarah dan Tujuannya"
[5] Cheria Travel, "Haji Furoda: Jalur Haji Tanpa Antri yang Banyak Dicari"
[6] Suara.com, "Terancam Gagal Berangkat, Apa Itu Haji Furoda dan Sejarahnya?"
[8] BAZNAS, "Haji Furoda: Apa Itu dan Bagaimana Prosesnya"
No comments