Ketupat: Tafsir Kuliner atas Iman dan Identitas (Tedi Yusnanda N)
Tedi Yusnanda N (Sarasa Institute)
Setiap kali hari raya tiba, kita menyalami ketupat sebelum menyalami tetangga. Di dapur dan meja makan, ia hadir lebih dulu daripada takbir atau khutbah. Dibalut janur, dibungkus waktu, dan dimasak dengan kesabaran, ketupat menjadi artefak kuliner yang melampaui fungsi nutrisi. Ia hadir bukan hanya untuk mengenyangkan, tapi untuk menjelaskan. Dalam diamnya, ketupat seolah berbisik: bahwa makanan bisa menjadi bahasa, bisa menjadi ideologi, bahkan bisa menjadi cermin iman.
Ketupat bukan berasal dari Arab. Di tanah kelahiran Islam, roti pipih dan daging panggang lebih umum dalam hari raya. Maka, munculnya ketupat sebagai sajian utama Idul Fitri dan Idul Adha di Asia Tenggara—khususnya Indonesia—mengundang pertanyaan: mengapa Islam di sini memilih ketupat? Sejak kapan ia menjadi simbol lebaran? Dan bagaimana bisa sepotong makanan membentuk ikatan sosial dan spiritual?
Pertama-tama, kita harus kembali ke sumber-sumber sejarah dan mitos yang bertemu di Jawa. Sunan Kalijaga, tokoh sufi dan anggota Wali Songo, konon adalah penyebar utama tradisi ketupat dalam konteks Islam. Ia memperkenalkan Bakda Kupat—lebaran kecil seminggu setelah Idul Fitri—sebagai perayaan sosial dan spiritual. Dalam tafsir lokal, ketupat menjadi akronim “ngaku lepat” (mengaku salah) dan “laku papat” (empat perilaku utama): lebaran, luberan, lebaran, dan laburan. Di sinilah ketupat mulai melampaui bentuknya sebagai makanan; ia diangkat menjadi simbol laku hidup: pengakuan, pembersihan, dan pembagian.
Secara antropologis, ketupat adalah bukti paling nyata dari proses lokalisasi Islam—bagaimana ajaran yang datang dari jazirah Arab ini tidak dipaksakan secara seragam, tetapi menyerap dan menyatu dengan kultur lokal. Clifford Geertz, dalam penelitiannya yang termasyhur tentang santri, abangan, dan priyayi, mencatat bahwa agama di Jawa seringkali lebih merupakan praktik budaya daripada dogma kaku. Maka tak heran bila ketupat bukan sekadar kuliner, tetapi juga bagian dari ritual. Ia hadir dalam kenduri, slametan, dan tentu saja hari raya. Dalam dunia Geertzian, ketupat bukan hanya lauk, melainkan tanda dari keharmonisan antara keyakinan dan kebiasaan.
Namun sejarah ketupat jauh lebih tua daripada dakwah Islam. Dalam catatan arkeologis dan etnobotani, beras yang dibungkus daun dan direbus sudah dikenal oleh komunitas Austronesia ribuan tahun sebelum masehi. Di Filipina disebut puso, di Malaysia dan Brunei dikenal sebagai ketupat nasi dan ketupat palas. Bahkan dalam ritual Hindu-Buddha kuno di Nusantara, sajian serupa digunakan dalam upacara panen dan pemujaan. Maka ketika Islam datang, ia tidak membawa bentuk makanan baru, tetapi memberi makna baru pada yang sudah ada. Ini bukan sekadar adaptasi, melainkan transvaluasi: sebuah pemaknaan ulang atas simbol lama untuk keperluan spiritual baru.
Dalam konteks sejarah kuliner, ketupat adalah bentuk teknologi pangan yang cerdas. Ia tahan lama, mudah dibawa, dan tidak membutuhkan wadah tambahan. Anyaman janur bukan hanya estetika, tapi juga fungsi: mengikat bentuk, melindungi isi, dan menjadikannya siap disajikan bahkan dalam perjalanan panjang. Di masa lalu, ketupat menjadi bekal para peziarah dan pengelana—sebuah “makanan portabel” sebelum munculnya plastik dan Tupperware. Dalam hal ini, ketupat menunjukkan bagaimana bentuk kuliner ditentukan oleh kebutuhan sosial dan geografis.
Sosiologi makanan, sebagaimana dipaparkan oleh Roland Barthes dan Pierre Bourdieu, melihat makanan bukan semata-mata sebagai kebutuhan biologis, tetapi sebagai ekspresi kelas, budaya, dan identitas. Ketupat, dalam kerangka itu, adalah medium simbolik. Ia menyatukan umat dari berbagai strata sosial: dari raja hingga rakyat jelata, dari kampung hingga kota, dari masjid hingga dapur. Di meja makan hari raya, tidak ada yang bisa membedakan ketupat milik petani atau profesor. Semua dibungkus sama, dimasak dengan air yang sama, dan dibuka dengan cara yang sama. Dalam ketupat, masyarakat menemukan sejenis egalitarianisme kuliner—yang langka di dunia yang dikoyak kelas dan status.
Lebih jauh, ketupat adalah ritual domestik. Ia tak lahir di altar atau podium, tapi di dapur, dalam suara ibu yang memetik janur dan tangan-tangan kecil anak-anak yang membantu menganyam. Dalam proses ini, ketupat menjadi ruang interaksi lintas generasi. Ia adalah pendidikan tak formal tentang kesabaran, ketelitian, dan cinta yang direbus perlahan. Tidak ada ketupat instan. Ia menuntut waktu, dan justru di situlah letak keberkahan sosialnya.
Ketika kita menyantap ketupat di pagi lebaran, kita tidak sekadar mengunyah karbohidrat. Kita sedang memakan ingatan kolektif: tentang nenek yang mengajarkan cara anyam, tentang ayah yang membawa daging kurban, tentang tangan-tangan asing yang menjelma akrab lewat hidangan bersama. Dalam ketupat, sejarah menjadi bisa dimakan—sebuah arsip yang tak tersimpan dalam buku, tapi dalam tubuh.
Dan pada akhirnya, ketupat adalah tafsir yang hidup. Ia mungkin tak ditemukan di Makkah atau Madinah, tapi ia hidup dalam Islam yang tumbuh di tanah basah dan lembut ini. Ia adalah bentuk iman yang membumi—tak terbang di langit dogma, tapi rebus dalam air kehidupan. Ketupat adalah doa yang tidak dibaca, tetapi disantap. Sebuah liturgi dalam bentuk lauk.
Seperti semua tradisi besar, ketupat tidak bisa dijelaskan sepenuhnya. Ia ada di persimpangan antara sejarah dan mitos, antara dapur dan masjid, antara tangan dan hati. Tapi justru karena itu, ia bertahan. Dalam dunia yang serba cepat, ketupat mengajarkan bahwa beberapa hal harus dikerjakan perlahan. Bahwa kesucian bukan hanya soal sembahyang, tapi juga soal memasak dengan niat yang bersih.
Dan mungkin, dalam lipatan janur itu, ada juga yang tersimpan: bahwa lebaran bukan sekadar akhir puasa atau kurban, tapi pengingat bahwa iman sejati adalah yang bisa disantap bersama, dalam kehangatan meja makan, di tengah canda dan maaf yang bersahut-sahutan.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah.
Taqabbalallahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum.
Mohon maaf lahir batin.
*Banjarsari Story, 6 Juni 2025
No comments