Kebijakan Politik AS dan Dampaknya terhadap Konstelasi Hubungan Internasional Kontemporer
Washington D.C. – Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat (AS) telah lama menjadi barometer utama dalam mengukur arah hubungan internasional global. Dalam konteks geopolitik kontemporer, pengaruh AS tetap dominan, namun juga semakin kompleks. Perubahan orientasi strategis dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya memunculkan efek domino terhadap stabilitas regional, aliansi strategis, dan tatanan multilateral yang menopang sistem internasional sejak akhir Perang Dunia II.
Timur Tengah: Stabilitas yang Diikat Kepentingan
Kebijakan AS di Timur Tengah, terutama sejak pengunduran diri dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2018 di bawah pemerintahan Trump, telah memperkeruh dinamika keamanan di kawasan tersebut. Penarikan diri tersebut tidak hanya memicu kembali ketegangan antara Iran dan negara-negara Teluk, tetapi juga memperlemah kredibilitas AS sebagai kekuatan yang konsisten dalam komitmen diplomatiknya.
Sebagai kompensasi geopolitik, AS memperkuat kerja sama bilateral dengan Israel dan Uni Emirat Arab melalui Abraham Accords, normalisasi hubungan yang disambut sebagai kemenangan diplomatik namun dinilai banyak pihak sebagai upaya menyeimbangkan pengaruh Iran. Pendekatan ini menandakan bahwa AS tidak lagi mengandalkan model keamanan kolektif, tetapi aliansi strategis selektif demi menjaga supremasi regional.
Menurut teori realisme dalam hubungan internasional, tindakan AS ini merepresentasikan upaya mempertahankan balance of power melalui manuver bilateral, bukannya institusi multilateral. Hal ini berdampak pada semakin rapuhnya arsitektur keamanan Timur Tengah yang berbasis konsensus internasional.
Proteksionisme dan Unilateralisme: Warisan “America First”
Pemerintahan Trump (2016–2020) mewariskan kebijakan luar negeri yang mengedepankan kepentingan nasional secara eksklusif, dengan semboyan “America First.” Kebijakan ini tampak nyata dalam perang dagang dengan Tiongkok, penarikan dari perjanjian global seperti Trans-Pacific Partnership (TPP), hingga peningkatan tarif terhadap mitra dagang tradisional seperti Kanada dan Uni Eropa.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia turut terdampak oleh ketidakpastian arah kebijakan perdagangan AS. Banyak di antaranya harus merevisi strategi ekspor dan investasi, sembari meningkatkan diplomasi ekonomi dengan kekuatan alternatif seperti Tiongkok dan India. Dalam perspektif teori liberalisme, unilateralisme ini melemahkan prinsip interdependensi dan kerja sama yang seharusnya menjadi fondasi perdamaian dan kemakmuran bersama.
Multilateralisme Kembali: Biden dan Restorasi Strategis
Berbeda dari pendahulunya, Presiden Joe Biden menempuh pendekatan restoratif terhadap multilateralisme. AS kembali bergabung dalam Perjanjian Paris untuk perubahan iklim, serta memulihkan keanggotaan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Biden juga menegaskan kembali komitmen terhadap NATO dan mempererat hubungan transatlantik yang sempat renggang.
Kebijakan ini menghidupkan kembali harapan akan peran konstruktif AS dalam memimpin tata kelola global yang inklusif. Fokus Biden pada demokrasi dan hak asasi manusia sebagai nilai ekspor politik luar negeri juga memperkuat soft power AS, walau terkadang menuai resistensi dari negara-negara yang menilai pendekatan tersebut sebagai bentuk democratic interventionism.
Menurut teori konstruktivisme, strategi Biden mencerminkan usaha membentuk kembali norma dan identitas AS sebagai pemimpin dunia bebas, setelah citra tersebut sempat tercoreng. Namun, inkonsistensi dalam kebijakan domestik AS—seperti polarisasi politik dan pelanggaran HAM di dalam negeri—masih menjadi batu sandungan legitimasi moralnya di mata dunia.
Persaingan Global: Amerika, China, dan Reposisi Strategis
Dominasi global AS juga menghadapi tantangan dari kebangkitan China dan India. Dalam menanggapi ekspansi ekonomi dan militer Beijing, AS memperkuat kehadiran militernya di kawasan Indo-Pasifik, menjalin kerja sama seperti Quad bersama Jepang, India, dan Australia, serta meningkatkan pengaruh melalui diplomasi maritim.
Persaingan ini tidak hanya berbentuk militer, tetapi juga ideologis dan teknologi. AS meluncurkan kebijakan pelarangan akses teknologi terhadap perusahaan Tiongkok seperti Huawei, sementara China mengembangkan Belt and Road Initiative (BRI) sebagai alternatif terhadap model pembangunan Barat. Dalam kerangka teori sistem dunia (world-system theory), hal ini menunjukkan gejala multipolaritas baru yang secara bertahap menggeser sistem unipolar pasca-Perang Dingin.
Namun, AS juga memperluas diplomasi inklusif, bahkan terhadap negara-negara yang sebelumnya dianggap lawan, seperti Vietnam dan Kuba, sebagai bentuk adaptasi terhadap realitas geopolitik baru.
Politik AS sebagai Penentu Arah Dunia
Secara keseluruhan, kebijakan politik Amerika Serikat memainkan peran sentral dalam menentukan arah hubungan internasional. Di satu sisi, ia menjadi kekuatan pendorong integrasi dan stabilitas global ketika mengusung multilateralisme dan nilai-nilai demokratis. Namun di sisi lain, inkonsistensi, proteksionisme, dan kecenderungan unilateral juga dapat menciptakan ketegangan dan ketidakpastian internasional.
Negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dituntut untuk bersikap adaptif terhadap fluktuasi ini, dengan memperkuat kemandirian diplomatik dan diversifikasi mitra strategis. Dalam dunia yang semakin multipolar, kebijakan AS tetap penting, tetapi bukan satu-satunya penentu tatanan global ke depan.
Referensi:
[1] Strategi Amerika Serikat dalam Menjaga Kepentingan di Timur Tengah, Jurnal FISIP UNJANI
[5] Hadapi Dinamika Kebijakan Trump, Pakar UGM Desak Pemerintah Kurangi Ketergantungan
[6] Potensi Kebijakan Luar Negeri Joe Biden, Jurnal Lemhannas RI
[7][8] Studi Kasus Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Iran dan Normalisasi Diplomatik di Timur Tengah
[Teori Hubungan Internasional]: Kenneth Waltz (Realisme), Robert Keohane (Liberalisme), Alexander Wendt (Konstruktivisme), Immanuel Wallerstein (Teori Sistem Dunia)
(JBRMDS/0518/02/25)
No comments