Tedi Yusnanda N: Indonesia dalam Pusaran Konflik Iran-Israel dan Reposisi Global BRICS – Sebuah Tinjauan dari Perspektif Hubungan Internasional
Pangandaran - Serangan Iran terhadap kapal tanker yang terafiliasi dengan Israel tak hanya menambah daftar panjang eskalasi di Timur Tengah, tetapi juga menyentakkan panggung internasional bahwa konflik regional kini punya gema global. Di balik itu semua, muncul pertanyaan krusial: di mana posisi Indonesia dalam dunia yang makin terkoyak oleh rivalitas kekuatan besar?
Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute dan analis kebijakan luar negeri berlatar belakang Ilmu Hubungan Internasional, mengajak publik untuk melihat dinamika ini dari lensa yang lebih dalam: bukan sekadar soal konflik Timur Tengah, tetapi soal pergulatan sistem internasional dan posisi strategis Indonesia dalam peta kekuatan global pasca-hegemoni Barat.
Konflik Iran-Israel: “Proxy War” atau Perang Simbolik Tatanan Dunia Baru?
Dalam analisis Tedi, serangan Iran terhadap kapal tanker Israel merupakan bagian dari perang simbolik dalam narasi tatanan dunia multipolar yang mulai menggeser dominasi unipolar Amerika Serikat. Bagi Tedi, ini bukan sekadar aksi balasan atau manuver militer biasa, tetapi ekspresi dari pergeseran kekuasaan global (power transition theory).
“Konflik ini adalah ekspresi geopolitik BRICS+, bukan sekadar urusan dua negara. Serangan terhadap tanker adalah sinyal bahwa Iran—sebagai bagian dari BRICS—siap melawan dominasi keamanan maritim Barat, khususnya AS dan sekutunya,” terang Tedi.
Melalui kacamata Realisme Struktural, Tedi menyatakan bahwa negara-negara kini tidak lagi bisa mengandalkan institusi internasional untuk menjamin stabilitas, karena tatanan internasional sedang berada dalam masa transisi kekuasaan dan dalam transisi inilah biasanya terjadi konflik paling brutal.
BRICS+ sebagai Blok Tandem Baru dan Implikasi Global
Tedi melihat perkembangan BRICS+, yang kini melibatkan Iran, Arab Saudi, Mesir, UEA, dan Ethiopia, sebagai transformasi penting dari blok ekonomi menjadi blok geopolitik alternatif. Dalam kajian Teori Institusionalisme Baru, ia mencatat bahwa ketika institusi seperti G7, IMF, dan NATO mulai kehilangan kepercayaan global, maka BRICS tampil sebagai bentuk kepercayaan baru yang dibangun dari pengalaman eksklusi negara-negara selatan.
“BRICS menjadi sarana kolektif negara-negara berkembang untuk keluar dari bayang-bayang ketergantungan pada sistem Bretton Woods. Maka, ketegangan Iran-Israel ini juga berlapis: ada narasi kedaulatan energi, dedolarisasi, dan perimbangan pengaruh militer,” ujar Tedi.
Indonesia dan Dilema Geopolitik Baru: Netralitas atau Peran Konstruktif?
Menurut Tedi, Indonesia sedang berdiri di simpang jalan. Posisi strategisnya sebagai anggota G20, mitra Tiongkok, sekaligus negara demokrasi besar membuat Indonesia “terlalu penting untuk bersikap diam”. Dalam perspektif Konstruktivisme, Tedi menekankan bahwa identitas dan narasi diplomasi Indonesia seharusnya tidak dibangun dari nostalgia Bandung 1955 semata, tetapi dari realitas kontemporer: ketergantungan energi, geopolitik Indo-Pasifik, dan fragmentasi institusi global.
“Kita tidak bisa hanya berdiri sebagai pewaris Non-Blok. Kita harus menjadi pengarah blok-blok baru yang muncul, termasuk BRICS. Tapi tentu dengan kehati-hatian, bukan romantisme ideologis,” tegas Tedi.
Ia mengingatkan bahwa sebagai negara yang sangat tergantung pada pasokan energi global, Indonesia bisa menjadi korban samping dari konflik jalur minyak jika tidak melakukan kalkulasi strategis secara matang. Dalam teori Interdependensi Kompleks, negara seperti Indonesia harus piawai membangun keseimbangan relasi, baik dengan AS, Tiongkok, Rusia, maupun Iran.
Rekomendasi Strategis: Diplomasi Multivektor dan Autonomi Regional
Tedi menyarankan agar Indonesia mulai membangun strategi diplomasi multivektor, yaitu mengembangkan hubungan setara dan saling menguntungkan dengan berbagai poros kekuatan tanpa bergantung pada satu blok. Ini mirip dengan pendekatan yang digunakan oleh India dan Turki di tengah konflik global.
Lebih lanjut, Indonesia perlu mengaktivasi forum seperti Indian Ocean Rim Association (IORA), ASEAN Defence Ministers Meeting Plus (ADMM+), dan jaringan diplomasi energi untuk memainkan peran lebih konkret dalam isu keamanan laut dan energi.
“Jangan sampai kita hanya menjadi pelabuhan dagang, tapi tidak menjadi pemain dalam keputusan-keputusan besar. Kita harus memproduksi narasi alternatif, bukan sekadar menunggu perintah geopolitik dari utara,” pungkas Tedi.
Menjadi Subjek Strategis, Bukan Objek Konflik Global
Dengan segala kompleksitasnya, konflik Iran-Israel dan kebangkitan BRICS bukan semata pertarungan kekuasaan, tetapi juga pertarungan visi dunia. Indonesia, menurut Tedi Yusnanda N., punya sejarah dan kapasitas untuk memimpin visi alternatif itu, asal berani melepaskan ketergantungan pada status quo dan mulai membangun pijakan kebijakan luar negeri yang berdaulat, reflektif, dan progresif.
“Sejarah tidak menunggu. Kalau Indonesia terus netral dalam ketidaktahuan, maka kita akan dilintasi sejarah tanpa pernah ikut menulisnya,” tutup Tedi.
(JBRMDS/05-18/02/25)
No comments