Yusri Addin Yusuf Albima Desak Penghentian Penempatan Non-Prosedural PMI ke Arab Saudi: “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”
Minta Penutupan Akses Enjaz bagi Seluruh P3MI
Yusri mendesak BP2MI dan KP2MI untuk segera mengirimkan nota protes atau surat resmi kepada Pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Tujuannya jelas: menuntut penutupan sementara sistem Enjaz—portal visa elektronik milik Arab Saudi—bagi seluruh Perusahaan Penempatan PMI (P3MI).
“Penutupan Enjaz harus diberlakukan sampai ada permintaan resmi pembukaan kembali. Tanpa itu, penempatan non-prosedural akan terus berlangsung dan mengorbankan banyak PMI,” tegas Yusri.
Serukan Penegakan Hukum di Embarkasi
Selain tindakan administratif, Yusri menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap pejabat atau aparatur negara yang terlibat dalam praktik penempatan ilegal, terutama di kawasan embarkasi keberangkatan. Ia merujuk pada Pasal 84 UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI, yang disandingkan dengan Pasal 8 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Jangan biarkan hukum lumpuh di hadapan mafia penempatan. Jika negara diam, artinya ikut serta dalam kejahatan kemanusiaan ini,” ujar Yusri.
SPSK: Proyek Gagal yang Rugikan PMI
Yusri juga menyoroti gagalnya implementasi Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK), yang justru menurutnya hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia menyebut skema ini dilaksanakan setengah hati dan menyimpang dari Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 291 Tahun 2018 yang telah direvisi menjadi Kepmen No. 202 Tahun 2023.
“PMI direkrut oleh syarikah, tapi bekerja pada pengguna perseorangan. Perjanjian kerja tidak jelas—dengan siapa mereka sebenarnya terikat? Dan yang lebih tragis, mereka tidak digaji jika tidak bekerja,” jelas Yusri. Ia menambahkan, nasib 399 PMI yang saat ini masuk melalui SPSK bisa jadi tidak jauh berbeda dengan mereka yang diberangkatkan secara ilegal.
Kritik Relasi KP2MI dan MUSANED
Menurut Yusri, KP2MI terlalu sering membanggakan kerja samanya dengan MUSANED, sistem ketenagakerjaan milik Pemerintah Arab Saudi. Padahal, ia mengingatkan bahwa MUSANED bukanlah lembaga perlindungan tenaga kerja asing (TKA).
“Belum pernah dipublikasikan perjanjian atau MoU apa pun dengan Kementerian Ketenagakerjaan dan Pembangunan Sosial Arab Saudi. Apakah gaji SR 1.500, jam kerja 8–10 jam, dan janji bonus umrah itu hasil kesepakatan resmi? Atau hanya bisikan pengusaha?” sindir Yusri tajam.
Pertanyakan Kesiapan dan Transparansi Data
Yusri turut mempertanyakan kesiapan ekosistem penempatan PMI di Indonesia dan Arab Saudi. Ia menyinggung kesiapan KP2MI, P3MI, lembaga pelatihan, dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) di dalam negeri, serta kesiapan kementerian terkait dan syarikah/maktab di Saudi.
“Apakah KBRI di Riyadh punya wewenang memverifikasi dan mem-blacklist syarikah atau maktab bermasalah seperti Arco dan Mahara? Ini harus dijawab,” tegasnya.
Lebih jauh, Yusri mengungkapkan kegelisahan atas data tenaga kerja asing di Arab Saudi yang menurut MUSANED sudah lebih dari 4 juta orang. Namun, berapa data riil PMI asal Indonesia yang dilaporkan ke KP2MI? “Publik butuh kejelasan,” ujarnya.
Seruan Moral: “Mari Mulai dengan Kejujuran”
Di akhir catatannya, Yusri menyerukan kejujuran sebagai titik awal reformasi tata kelola penempatan pekerja migran. Ia menyatakan dengan lugas: “Mari mulai dengan kejujuran. Jangan ada dusta di antara kita.”
Catatan ini menambah panjang daftar kritik terhadap skema penempatan tenaga kerja ke Timur Tengah, dan menjadi pengingat bahwa perlindungan PMI tak bisa lagi ditunda, apalagi dikompromikan demi kepentingan politik atau bisnis sesaat.
No comments