Breaking News

Tedi Yusnanda: Pemimpin Daerah Jangan Hanya Jadi Wayang, Apalagi Jika Dalangnya Ikut Turun Tangan


Jakarta – Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N., menilai fenomena mantan pemimpin yang terus mencengkeram kekuasaan lewat bayang-bayang terhadap pemimpin terpilih adalah bentuk kontaminasi demokrasi lokal yang paling halus namun paling dalam. Terlebih ketika pemimpin yang terpilih sendiri tidak memiliki kapasitas kuat dan hanya bertumpu pada simbol-simbol popularitas masa lalu.

“Ini bukan transisi kekuasaan, ini hanya transformasi nama. Kita menyaksikan pemimpin baru tampil ke panggung, tapi semua dialog, gerak, dan keputusan tetap berasal dari sang dalang lama. Ini bukan sekadar demokrasi yang cacat, ini sudah masuk kategori seni pertunjukan yang dikudeta oleh kekuasaan,” kata Tedi dalam pernyataannya saat dihubungi melalui telepon, Sabtu (24/5).

Menurut Tedi, pemimpin yang tidak berani memutus garis bayang-bayang politik masa lalu pada akhirnya hanya akan menjadi wayang, bukan tokoh utama. “Sayangnya, dalam tragedi kekuasaan lokal kita, dalangnya bukan lagi di balik layar. Ia ikut tampil di depan, memberi aba-aba langsung, bahkan kadang mengambil alih narasi. Maka tercemarlah profesi dalang sebagai simbol budaya,” ucapnya menyindir.

Dalam budaya Jawa dan Sunda, dalang adalah figur intelektual, spiritual, dan moral yang menggerakkan cerita demi kebaikan dan pencerahan masyarakat. Tapi dalam politik lokal hari ini, Tedi menyebutkan bahwa dalang telah berubah menjadi figur predator, parasit bahkan benalu yang ingin terus hidup di balik tubuh orang lain.

“Ini menodai kehormatan profesi dalang dalam budaya Nusantara. Jika dalam seni pertunjukan dalang adalah penjaga nilai, dalam politik bayangan hari ini ia menjadi penjaga kekuasaan yang tak mau lengser,” ujar Tedi.

Mengutip teori Antonio Gramsci, Tedi menjelaskan bahwa dominasi kultural bekerja bukan hanya melalui kekuatan koersif, tapi lewat hegemoni, yakni penerimaan pasif masyarakat terhadap dominasi karena dibungkus dengan narasi moral atau keberlanjutan. “Pemimpin boneka ini tampak sah, karena menang pemilu, tapi semua yang ia lakukan hanyalah melanjutkan agenda kekuasaan lama yang tidak pernah selesai.”

Tedi juga menyinggung teori “the puppet state” yang dipopulerkan dalam kajian politik internasional, di mana suatu pemerintahan hanya menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan asing atau lama. “Ironisnya, di sini bukan negara asing, tapi mantan pemimpin sendiri yang jadi penjajah domestik,” katanya.

Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute) 

“Bahkan kalau boleh jujur, kita sedang tidak hidup dalam sistem demokrasi, tapi dalam sebuah monarki bayangan, di mana putri kecil dinobatkan, tapi raja lamanya belum mau turun takhta secara batin dan sosial,” ujar Tedi dengan nada satir.

Ia mengingatkan bahwa struktur seperti ini sangat membahayakan proses belajar politik masyarakat. Ketika pemimpin baru tak mampu mengambil posisi, dan rakyat melihatnya hanya sebagai perpanjangan tangan, maka kepercayaan terhadap demokrasi bisa hancur secara perlahan namun pasti.

Mengutip pemikir Jurgen Habermas, Tedi menegaskan bahwa ruang publik yang sehat harus diisi oleh komunikasi rasional, bukan manipulasi simbolik. “Tapi kalau semua sudah diam karena takut atau karena kenyang, maka dalang palsu itu akan terus berjaya. Seperti kata Habermas: ‘Kebungkaman publik adalah awal dari kematian deliberasi demokratis.’”

Tedi, juga menyerukan kepada para intelektual lokal, tokoh adat, legislatif, dan media untuk tidak terjebak dalam kompromi kekuasaan yang membuat mereka hanya menjadi penonton dalam drama yang diulang terus-menerus.

“Pemilu seharusnya bukan panggung boneka. Jika dalangnya masih yang sama, naskahnya tetap yang lama, dan para tokohnya tidak tumbuh, maka rakyat hanya diajak menonton lakon ‘Sang Pemimpin Bayangan’, sebuah sandiwara politik yang bisa mematikan harapan.”

-Eman Rusiyaman-

No comments