Breaking News

Cinta di Era Post-Truth: Antara Romantisisme, Konsumerisme, dan Krisis Relasi (Oleh: Redaksi)

Prolog: Ketika Cinta Tak Lagi Sama

Di lorong media sosial dan notifikasi-chat, kata “cinta” sering muncul tanpa janji, tanpa teks panjang, tanpa komitmen, cukup dengan emoji hati, status “on-and-off”, atau opsi “skip” kapan saja. Di era di mana emosi dan narasi pribadi lebih cepat menyebar daripada fakta objektif, makna cinta perlahan berubah: dari sesuatu yang mendalam dan abadi menjadi perangkat konsumerisme emosional, instan, dan murah.

Fenomena ini tidak terjadi dalam kekosongan. Ia lahir dari perubahan sosial, teknologi, dan budaya, sebuah gejala post-truth dalam kehidupan pribadi. Tulisan ini mencoba menyelaraskan argumen filosofis, data empiris, dan refleksi kritis: kenapa cinta di era kita semakin rapuh, bagaimana hal itu membentuk pola relasi baru (perselingkuhan, friends with benefits, HTS), dan apa konsekuensinya bagi individu dan masyarakat.

1. Post-Truth dan Krisis Makna: Fondasi Budaya Emosi atas Fakta

Istilah Post‑truth, yang populer setelah ditetapkan sebagai “Word of the Year” oleh Oxford Dictionaries pada 2016, menggambarkan kondisi di mana “fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dibanding emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini publik.” 

Menurut penulis dan filsuf sains Lee C. McIntyre, dalam buku kecil berjudul Post-truth (MIT Press, 2018), era ini bukan sekadar soal hoaks atau kebohongan; lebih jauh, ini adalah tantangan terhadap dasar epistemik dan kultural masyarakat: fakta dan rasionalitas tergeser oleh retorika emosi, kepercayaan instan, dan kebutuhan akan “narasi yang nyaman”. 

Dalam konteks relasi dan cinta, post-truth berarti bahwa makna “setia”, “komitmen”, “kejujuran”, bisa digantikan oleh narasi romantis instan, popularitas tampilan, atau kebutuhan emosional sementara. Ketika fakta, misalnya: dampak psikologis perselingkuhan, keretakan keluarga, trauma, tidak lagi dilihat sebagai penting, apa yang disebut “cinta” bisa dibentuk ulang sesuka hati.

Dengan demikian, cinta bukan lagi sekadar hubungan inter-personal, melainkan komoditas naratif: mudah dibeli, mudah dibuang, dan mudah diganti, asal tampil menarik di feed.

2. Filsafat Cinta: Dari Eros ke Agape dan Kehilangan Bentuk

Tradisi filsafat klasik membedakan cinta dalam beberapa bentuk:

a. Eros: cinta nafsu, gairah fisik.

b. Philia: persahabatan, ikatan emosional dan sosial.

c. Agape: kasih tak bersyarat, cinta yang mengutamakan kebaikan bersama dan komitmen moral.

Dalam konteks modern, idealnya cinta bisa mengandung lebih dari sekadar eros: ada philia dan, bila memungkinkan, agape, komitmen, penghormatan, tanggung jawab. Namun, ketika budaya konsumerisme dan post-truth merajalela, eros sering kali dijadikan standar: relasi ditakar dari gairah, kepuasan instan, tanpa memikirkan pertumbuhan bersama, nilai, atau tanggung jawab jangka panjang.

Dengan relativisme kebenaran dan dominasi narasi instan, philia dan agape sulit bertahan. Narasi “hak individu”, “kebutuhan emosional”, “kebebasan relasi” menjadi pembenaran bagi relasi pragmatis yang kadang hanya berpijak pada kesepakatan verbal sementara, tanpa fondasi etik yang kokoh.

Hilangnya penghormatan terhadap bentuk cinta yang lebih matang menyebabkan retorika cinta berubah menjadi komoditas: mudah dinikmati, mudah dibuang, dan mudah diganti.

3. Data dan Realita: Perselingkuhan, HTS, dan Friends With Benefits di Indonesia

Fenomena relasi modern, perselingkuhan, HTS (hubungan tanpa status), friends with benefits (FWB), bukan sekadar rumor, tapi sudah banyak didokumentasikan dalam kajian akademik Indonesia.

Studi berjudul Fenomena Friends With Benefits di Kalangan Mahasiswa Universitas Islam Riau Kota Pekanbaru (Studi Kasus Mahasiswa Pelaku Friends With Benefits) menyimpulkan bahwa FWB merupakan “perilaku menyimpang” (deviant behavior) yang berkembang di lingkungan mahasiswa, meskipun universitas tersebut mengusung nilai keagamaan. Faktor penyebabnya terutama berasal dari lingkungan sosial dan “self-concept” individu, bukan semata-mata ketidaktahuan atau kesengajaan kriminal.

Penelitian kualitatif di Jakarta, Perilaku Promiskuitas dalam Hubungan Friends With Benefits pada Mahasiswa, menggambarkan bahwa dalam FWB terdapat simbolisasi kebutuhan biologis dan psikologis: keintiman, afeksi, serta kebutuhan seksual. Subjek dalam penelitian, mahasiswa usia ± 23 tahun, menggambarkan FWB sebagai cara memuaskan kebutuhan emosional/fisik tanpa beban komitmen. 

Dari perspektif psikologis, artikel Psychological Distress of Female Young Adults Who Experienced Infidelity In Dating Relationships menunjukkan bahwa perempuan muda (18–29 tahun) yang mengalami perselingkuhan dalam pacaran melaporkan tekanan emosional berat: kecemasan, depresi, disfungsi emosional, hingga masalah kepercayaan diri. Hal ini memengaruhi harga diri, rasa aman, dan kemampuan menjalin hubungan sehat di masa depan. 

Studi lain, Psychological Well-Being pada Wanita Dewasa Awal yang Mengalami Perselingkuhan dalam Hubungan Pacaran, menggunakan pendekatan fenomenologis, menemukan bahwa perselingkuhan berdampak kompleks terhadap kesejahteraan psikologis korban, termasuk aspek identitas, harga diri, dan pandangan mereka terhadap relasi. 

Pada kisaran usia dewasa madya (40–65 tahun), penelitian Pengaruh Marital Satisfaction Terhadap Kecenderungan Infidelity Pada Dewasa Madya Pengguna Facebook menemukan bahwa rendahnya kepuasan dalam pernikahan secara signifikan berkorelasi dengan kecenderungan perselingkuhan: koefisien determinasi 56,2%. Artinya lebih dari setengah variabilitas kecenderungan infidelity bisa dijelaskan oleh ketidakpuasan dalam pernikahan. 

Dari data ini, jelas bahwa relasi pragmatis (FWB, HTS) dan perselingkuhan bukan sekadar tren media, tapi sudah menjadi bagian dari realitas sosial, dengan konsekuensi psikologis dan sosial.

4. Dampak Relasional: Trauma, Distrust, dan Krisis Komitmen

Dampak dari relasi tanpa komitmen dan perselingkuhan bukan hanya diukur dari statistik, melainkan pada kondisi psikologis, sosial, dan spiritual individu dan komunitas.

Dalam penelitian Relational Trauma and Distrust: The Impact of Violence and Infidelity on Women’s Readiness for Marriage ditemukan bahwa pengalaman perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga memberi trauma relational yang dalam bagi perempuan: mempengaruhi kepercayaan interpersonal, kesiapan menikah, dan pandangan terhadap komitmen jangka panjang. 

Banyak korban melaporkan bahwa setelah perselingkuhan, mereka kesulitan membuka diri kembali, sulit percaya terhadap pasangan baru, dan membawa luka emosional ke dalam relasi berikutnya. 

Motivasi untuk memilih FWB atau HTS sering kali bukan karena cinta, melainkan kebutuhan afeksi, keintiman, atau seks, tetapi ketika intensitas emosional muncul (rasa cemburu, berharap lebih dari sekadar “kasih sayang sementara”), banyak partisipan melaporkan penyesalan, kecewa, dan konflik batin. Penelitian Menguji Kepuasan Hubungan Melalui Intimasi dan Perasaan Cemburu pada Pelaku Hubungan Friends With Benefits menunjukkan bahwa meskipun ada sebagian yang merasa puas, ada juga yang merasa “senang tapi menyesal”, atau “kurang puas dan menyesal”. 

Dengan demikian, relasi tanpa komitmen bukan hanya soal gaya hidup, melainkan potensi trauma emosional, tekanan psikologis, dan disfungsi sosial.

5. Konsumerisme Cinta: Relasi sebagai Produk, Bukan Komitmen

Salah satu aspek penting dari krisis cinta modern adalah bagaimana cinta berubah menjadi komoditas, dibeli, dijual, ditukar, dipamerkan.

Dalam budaya digital dan media sosial, relasi menjadi pertunjukan: hadiah mahal, makan malam mewah, foto berdua dengan caption romantis, “couple goals” demi like dan engagement. Semua itu mengaburkan batas antara cinta sebagai komitmen dan cinta sebagai produk estetis.

Akibatnya:
Orang menilai relasi dari seberapa “wah” tampilannya, bukan dari seberapa sehat pondasinya.

Ketika citra sudah tak bisa dipertahankan, karena bosan, masalah ekonomi, ego, atau datang godaan lain, relasi mudah dibuang, seperti membeli barang gagal.

Individu mulai menakar “nilai” orang lain bukan dari karakter, integritas, tanggung jawab, tetapi dari biaya, penampilan, dan kemampuan “memenuhi fantasi romantis”.

Dalam hal ini, cinta modern semakin jauh dari makna filsafatnya: eros dominan, agape terkikis, dan relasi menjadi konsumsi.

6. Implikasi Sosial dan Keberlanjutan Budaya

Transformasi cinta ini membawa konsekuensi luas:

a. Erosi kepercayaan interpersonal: Ketika perselingkuhan, FWB, HTS menjadi “normal”, norma komitmen jangka panjang melemah. Kepercayaan, pondasi keluarga, komunitas, dan masyarakat, ikut terkikis.

b. Normalisasi relasi jangka pendek: Bagi generasi muda, konsep menikah, setia, dan tanggung jawab bisa dianggap kuno, tidak relevan, atau sebagai beban, digantikan oleh relasi fleksibel, konsumtif, dan sementara.

c. Trauma emosional masif: Banyak individu, terutama perempuan, menanggung luka psikologis: kecemasan, depresi, distrusting, rendah harga diri; yang bisa berefek pada generasi berikutnya.

d. Individualisme dan fragmentasi sosial: Cinta sebagai komoditas mendorong relasi berdasarkan keuntungan pribadi, bukan solidaritas; menguatkan individualisme dan melemahkan kohesi sosial.

e. Krisis nilai dan moral budaya: Tradisi komitmen, penghormatan, kesetiaan, dan tanggung jawab moral terdegradasi, digantikan dengan relativisme, pragmatisme, dan utilitarianisme emosional.

Jika ini dibiarkan, struktur relasi personal dan keluarga, yang selama ini menjadi pondasi tatanan sosial, berisiko runtuh, menggantikan komunitas dengan jaringan individual yang rapuh dan mudah terpecah.

7. Jalan Perlawanan: Literasi Emosi, Pendidikan Relasi, dan Refleksi Filosofis

Menghadapi krisis cinta ini, diperlukan intervensi berpikiran panjang, tidak cukup dengan sekadar moralizing atau menyalahkan individu. Berikut beberapa arah intervensi:

1. Literasi emosional dan literasi media: Dalam era post-truth dan media sosial, orang perlu dibekali kemampuan membedakan antara narasi romantis instan dan komitmen sehat. Pendidikan di sekolah/kampus harus memasukkan literasi relasi, literasi emosional, dan kritis terhadap konsumsi media sosial.

2. Pendidikan etika relasi dan komitmen: Pendidikan seksual dan relasi seharusnya tidak hanya berbicara tentang fisik dan reproduksi, tapi juga tentang etika, tanggung jawab, respek, dan persiapan psikologis, agar relasi tidak dianggap sebagai paket instan.

3. Akses layanan psikologis dan konseling: Bagi korban perselingkuhan atau relasi pragmatis yang gagal, perlu ruang aman untuk pemulihan, terapi, konseling, dukungan komunitas. Trauma emosional tidak bisa dianggap remeh.

4. Dialog publik & refleksi budaya: Masyarakat perlu membuka diskusi: apa arti cinta sejati? Bagaimana kita memaknai komitmen, tanggung jawab, dan solidaritas dalam relasi di zaman modern? Media, tokoh agama/pemikir, akademisi, semua punya peran membangun narasi cinta yang kritis, bukan konsumtif.

5. Kesadaran struktural terhadap relasi: Jangan hanya memosisikan perselingkuhan atau FWB sebagai masalah moral individu, melainkan sebagai gejala secara kultural dan struktural; sehingga solusinya juga kolektif: pendidikan, kebijakan, norma sosial baru.

8. Kesimpulan: Memanggil Kembali Kehangatan Cinta Sejati

Cinta hari ini berada di persimpangan krisis: antara godaan narasi instan, logika konsumtif, dan kebutuhan manusiawi akan afeksi. Post-truth menjadikan fakta dan komitmen dipinggirkan, memberi ruang bagi romantisme palsu dan relasi pragmatis. Dalam konteks itu, banyak relasi, hamil di luar komitmen, patah hati, trauma, menjadi konsekuensi tak terhindarkan.

Namun, cinta sejati, dalam makna filosofisnya: eros, philia, agape, masih mungkin dihidupkan kembali. Dengan literasi, refleksi, komitmen, dukungan psikologis, dan kesadaran kolektif, kita bisa menolak konsumsi cinta dan membangun relasi yang beretika, manusiawi, dan berkelanjutan.

Cinta bukan sekadar produk instan, bukan sekadar status, ia adalah tanggung jawab, kepercayaan, dan pilihan sadar. Dan pilihan itu bisa kita regenerasi, asalkan kita mau melawan arus: tidak hanya memilih apa yang nyaman hari ini, tapi apa yang bermartabat untuk masa depan.

Referensi & Kutipan Ahli:

Penelitian/Literatur Temuan/Argumen Penting

Lee C. McIntyre, Post-truth (MIT Press, 2018) — dikutip dalam berbagai kajian Post-truth menggeser fakta objektif, memberi dominasi pada emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini.

Fenomena Friends With Benefits di Kalangan Mahasiswa Universitas Islam Riau Kota Pekanbaru — Akmal Latif & Yehezkiel Wastu Pratamas (2024) FWB dianggap sebagai bentuk perilaku menyimpang; meskipun dalam lingkungan bermoral/keagamaan, relasi semacam ini muncul karena pengaruh lingkungan sosial dan self-concept individu.

Perilaku Promiskuitas dalam Hubungan Friends With Benefits pada Mahasiswa — Amanatal Hayyi (Universitas Negeri Jakarta) Mahasiswa dalam FWB memaknai relasi sebagai pemenuhan kebutuhan afeksi, intimasi, dan seksual tanpa komitmen, menggunakan simbol dan interaksi yang mereduksi relasi ke mekanisme kebutuhan.

Psychological Distress of Female Young Adults Who Experienced Infidelity In Dating Relationships — Felia Syifa Budyningrum & Atika Dian Ariana (Airlangga University) Perempuan muda korban perselingkuhan melaporkan kecemasan, depresi, disfungsi emosional, dan gangguan kepercayaan, dampak psikologis serius yang mempengaruhi harga diri dan relasi masa depan.

Psychological Well-Being pada Wanita Dewasa Awal yang Mengalami Perselingkuhan dalam Hubungan Pacaran — Syalma Ahzani & Yohana Wuri Satwika (Universitas Negeri Surabaya) Perselingkuhan berdampak kompleks terhadap kesejahteraan psikologis: identitas, harga diri, view terhadap relasi, dan ketahanan emosional.

Pengaruh Marital Satisfaction Terhadap Kecenderungan Infidelity Pada Dewasa Madya Pengguna Facebook — Hanifa Azzahra, Nani Nuranisah Djamal, Dendi Fredi Firdaus (UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Rendahnya kepuasan pernikahan signifikan meningkatkan kecenderungan perselingkuhan (determinasi 56,2 %).

Relational Trauma and Distrust: The Impact of Violence and Infidelity on Women’s Readiness for Marriage — Salma Nuha Ghufron dan Siti Nazla Raihana Perselingkuhan dan kekerasan relasional menyebabkan trauma, distrust, dan mengurangi kesiapan perempuan untuk memasuki komitmen jangka panjang.

No comments