Tedi Yusnanda N: “Indonesia Perlu Terlibat dalam Talisman Sabre, Tapi dengan Kesadaran Geopolitik dan Basis Kemandirian Strategis”
jabarmedsos.com - Keikutsertaan Indonesia dalam latihan militer gabungan Talisman Sabre 2025 untuk pertama kalinya menandai babak baru keterlibatan Indonesia dalam arsitektur keamanan Indo-Pasifik. Namun, langkah ini juga menimbulkan perdebatan di tengah perubahan besar tatanan dunia, dari dominasi barat menuju tatanan multipolar yang semakin diwakili oleh BRICS+, di mana Indonesia kini menjadi anggota resmi.
Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute, menyampaikan apresiasinya atas partisipasi aktif Indonesia dalam latihan tersebut, namun memberi catatan strategis yang mendalam saat dihubungi via sambungan telepon pada Rabu pagi.
“Indonesia perlu terlibat dalam Talisman Sabre untuk memahami medan dan teknologi militer kontemporer. Tapi keterlibatan ini harus didasari kesadaran geopolitik, bukan sekadar keterikatan simbolik dengan kekuatan lama. Jangan sampai kita hadir sebagai peserta, tapi pulang sebagai penonton dalam narasi kekuatan global,” ujar Tedi.
Talisman Sabre: Makna Simbolik, Sejarah, dan Fungsi Strategis
Latihan Talisman Sabre merupakan kegiatan militer gabungan yang diprakarsai oleh Australia dan Amerika Serikat sejak 2005, dan kini berkembang menjadi platform operasi militer multinasional di kawasan Indo-Pasifik. Tahun ini, sebanyak 14 negara terlibat, termasuk Indonesia yang mengirim kapal perang dan satuan marinir sebagai observasi aktif.
Secara terminologis, Talisman Sabre bukan tanpa makna. “Talisman” berasal dari akar kata tilsam dalam tradisi Arab dan Yunani, berarti jimat atau penangkal, benda kecil yang dipercaya memberi perlindungan atau kekuatan tak kasatmata. Sementara “Sabre” adalah pedang kavaleri bergaya Eropa Timur yang digunakan dalam perang-perang ekspansi, termasuk oleh kekuatan kolonial di abad ke-18 dan 19.
“Jika kita cermati, talisman adalah simbol legitimasi moral, sabre adalah alat legitimasi koersif. Digabung, Talisman Sabre adalah bentuk modern dari ‘diplomasi keras’, jimat politik luar negeri yang digerakkan oleh ancaman kekuatan militer,” jelas Tedi, menyitir gagasan hegemoni simbolik dalam teori Antonio Gramsci.
Bagi Tedi, latihan ini harus dibaca bukan sekadar latihan teknis, tetapi upaya kolektif kekuatan Barat untuk mengonstruksi ulang tatanan keamanan regional dalam respons terhadap kebangkitan kekuatan alternatif seperti BRICS, SCO, dan ASEAN+.
Keterlibatan Indonesia dan Posisi BRICS: Harus Punya Arah Sendiri
Bergabungnya Indonesia dalam BRICS+ pada KTT Moskow bulan lalu merupakan langkah besar dalam reposisi Indonesia di panggung dunia. BRICS menawarkan tatanan baru berbasis keadilan ekonomi dan multipolaritas. Namun keikutsertaan Indonesia dalam Talisman Sabre, menurut Tedi, menjadi pertaruhan naratif jika tidak dijalankan dengan kejelasan visi nasional.
“Kita bisa ikut dalam Talisman Sabre, asal kita tahu di mana posisi kita dan ke mana tujuan kita. Kita tidak sedang membelot dari BRICS, tapi kita juga tidak boleh seperti daun yang terapung: ikut angin barat hari ini, tertiup ke timur esok hari. Itu bukan strategi, itu ketidaktahuan arah,” tegasnya.
Tedi mengingatkan bahwa politik bebas aktif bukan berarti bebas dari strategi atau aktif tanpa konsekuensi. Ia menyarankan pemerintah menyusun doktrin pertahanan Indo-Pasifik berbasis kepentingan nasional, bukan sekadar adaptasi terhadap poros dominan dunia.
Pangandaran dan Selatan Jawa: Lini Depan yang Terlupakan
Sebagai bagian dari kritik konstruktifnya, Tedi menekankan pentingnya mengaitkan latihan militer internasional dengan penguatan realitas pertahanan domestik, khususnya di wilayah-wilayah strategis yang masih terabaikan seperti Selatan Jawa.
“Pangandaran bukan hanya halaman belakang dari Indonesia. Ia adalah beranda langsung ke Samudra Hindia, kawasan yang mulai diperebutkan sebagai jalur energi, logistik, dan kontrol maritim dari India sampai Australia. Tapi di sana, tak ada radar, tak ada pelabuhan militer, dan belum ada infrastruktur komunikasi strategis. Ini celah serius yang harus ditutup,” ujar Tedi.
Ia menyebut Pangandaran sebagai “zona kosong strategis” yang seharusnya menjadi titik konsolidasi kekuatan laut Indonesia jika ingin memainkan peran dalam Indo-Pasifik. Tanpa pembangunan postur pertahanan di wilayah ini, keikutsertaan Indonesia dalam skenario perang regional akan timpang, sekadar ikut perang orang lain, bukan menjaga wilayah sendiri.
Kesadaran Teori dan Mitologi: Memahami Sisi Gelap dari Latihan Bersama
Tedi menyoroti bahwa kekuatan global sering menyembunyikan ambisi geopolitik di balik frasa-frasa seperti “stabilitas”, “keamanan bersama”, atau “interoperabilitas”. Ia merujuk pada teori Foucault tentang “disciplinary power”, bahwa kontrol tidak selalu berbentuk kekerasan, tapi kadang berupa partisipasi yang tidak kritis terhadap struktur kekuasaan.
“Talisman Sabre bisa jadi pelatihan, tapi juga bisa jadi pengujian: siapa kawan, siapa lawan, siapa yang bisa diseret. Jangan sampai Indonesia dicatat sebagai negara yang bisa dibentuk ulang kehendaknya hanya karena ingin disebut ‘mitra strategis’. Kita harus hadir dengan kehendak sendiri, bukan sebagai talisman bagi kepentingan orang lain,” pungkasnya.
Latihan perang dengan sandi Talisman Sabre 2025 berlangsung dari 13 hingga 27 Juli dan merupakan latihan militer terbesar di kawasan Pasifik Selatan. Indonesia untuk pertama kalinya mengirim kapal jenis frigate dan satu batalion marinir untuk ikut dalam segmen amfibi dan pertahanan maritim. Sementara itu, posisi Indonesia dalam BRICS+ sedang dalam tahap penyusunan agenda prioritas nasional. Beberapa pengamat mendesak pemerintah segera membentuk kerangka kebijakan luar negeri yang selaras antara arah diplomasi ekonomi dan strategi pertahanan nasional.
No comments