Mengembalikan Pangandaran ke Ciamis: Usulan Gila atau Kejujuran yang Tertunda? (Tedi Yusnanda N)
Dalam sebuah perjamuan birokratik yang terekam dalam cuplikan video, Kang Dedi Mulyadi (KDM) dengan gaya khasnya yang campuran antara sarkasme dan satire Jawa Barat, melontarkan sebuah kalimat yang terdengar seperti lelucon pahit: “Kabupaten Pangandaran itu setengah sekarat. Gimana enggak, TPP pegawai lima bulan enggak dibayar, ajuan pinjam ke BJB, defisitnya besar. Tidak ada yang menertawakannya secara lantang, sebab apa yang dikatakannya terlalu jujur untuk dianggap candaan.
Pernyataan itu mengguncang bukan hanya meja rapat, tetapi juga fondasi emosional para pejuang pemekaran Pangandaran yang sejak 2012 telah memperjuangkan identitas administratif dan kehormatan kulturalnya. Namun dalam dunia di mana mitos bisa dibalik oleh realitas, kebenaran justru kerap datang dalam bentuk yang menyakitkan. KDM tidak sedang berhalusinasi. Ia hanya mengatakan apa yang selama ini dibisikkan oleh rakyat kecil Pangandaran dalam rasa takut: bahwa daerah ini sedang dibiarkan tenggelam pelan-pelan dalam lumpur buruknya tata kelola.
Dalam mitologi Hindu, ada kisah Samudra Manthan,.lautan kehidupan yang diaduk oleh para dewa dan asura untuk mencari amrita, air keabadian. Tetapi dari pengadukan itu, yang pertama kali muncul bukanlah kesegaran, melainkan racun mematikan bernama halahala. Pangandaran adalah samudra yang telah diaduk oleh semangat otonomi. Namun, yang keluar bukan kesejahteraan, melainkan racun defisit, kegagalan membayar hak pegawai, dan laporan keuangan yang penuh pengecualian. Tak ada amrita di sana, hanya halahala yang lambat laun meracuni kepercayaan publik.
Ironisnya, BPK sebagai lembaga yang seharusnya menjadi Shiva, peneguk racun agar dunia tidak binasa,.malah tampak seperti penonton yang mabuk dokumen. Predikat Wajar Dengan Pengecualian yang disematkan pada laporan keuangan Pangandaran seolah ingin menenangkan badai dengan kapas basah. Masyarakat bertanya-tanya, bagaimana bisa segala kegagalan ini tetap dikemas dalam kalimat “wajar”? Apakah ini bentuk lain dari institutional corruption, sebagaimana disebut Susan Rose Ackerman, di mana lembaga negara tidak lagi melayani keadilan, tetapi membungkus kebusukan dengan prosedur yang sah?
Kalau menggunakan pisau pemikiran Hannah Arendt, ini adalah bentuk banalitas keburukan (banality of evil): ketika aparatur dan auditor negara tidak secara aktif melakukan kejahatan, tetapi membiarkan keburukan tumbuh lewat pembiaran sistematis. Bukan karena mereka jahat, tetapi karena mereka tidak berpikir. Tidak berani melihat kenyataan di depan mata, bahwa Pangandaran sedang berjalan ke jurang, dan mereka memilih menandatangani lembaran wajar demi kedamaian meja kerja.
Dalam sejarah politik Indonesia, pemekaran daerah adalah proyek euforia pasca-reformasi yang dilandasi cita-cita desentralisasi. Tetapi seperti halnya Revolusi Prancis yang melahirkan Napoleon sebagai diktator baru, pemekaran pun melahirkan raja-raja kecil yang lebih sibuk membangun dinasti daripada memperbaiki sistem. Pangandaran adalah salah satu anak pasca-reformasi itu. Namun dalam usia 12 tahun, ia tampak seperti bocah yang dibebani terlalu banyak utang dan terlalu sedikit kasih sayang kebijakan.
Apa yang disampaikan KDM bukan sekadar kritik. Ia adalah suara publik yang selama ini tersekap dalam rasa takut: takut kehilangan pekerjaan jika bersuara, takut dicap pembangkang jika bertanya, takut dianggap pengkhianat pembangunan jika menyentil kesalahan. Tapi ketakutan itu kini tak lagi bisa menyembunyikan borok. Karena angka-angka sudah bicara. TPP pegawai lima bulan tak terbayar bukan sekadar masalah teknis anggaran. Itu adalah sinyal sistemik bahwa daerah ini sedang mengalami fiscal collapse yang hanya ditambal dengan pinjaman dan janji.
Dalam teori krisis David Harvey, kapitalisme (dan dalam konteks ini: kapitalisme birokratik) akan selalu menemukan jalan untuk menunda kehancurannya lewat fiksi-fiksi baru: utang, stimulus, atau pencitraan. Pangandaran tidak jauh berbeda. Ketika tak mampu membayar pegawai, mereka meminjam ke bank. Ketika laporan keuangan kacau, mereka menumpang narasi WDP. Tapi setiap fiksi punya batas. Dan Dedi, dalam video itu, sekadar menunjuk ke arah retakan-retakan fiksi itu dengan jari telanjang.
Barangkali usulan mengembalikan Pangandaran ke Ciamis terdengar ekstrem. Tetapi di dalamnya terkandung seruan untuk membongkar keangkuhan sistem yang sudah gagal namun tetap dipelihara. Jika sebuah daerah hanya hidup dari utang dan gagal membayar hak dasar pegawainya, maka kita tidak sedang berbicara tentang daerah otonom, melainkan tentang sebuah “zona ekonomi sekarat” yang dalam istilah Marx tak ubahnya sebagai “alat produksi yang telah kehilangan daya pakainya”.
Namun, apakah kembali ke Ciamis adalah solusi? Tidak serta-merta. Karena yang dibutuhkan bukan sekadar penggabungan administratif, tetapi revolusi etika dan politik. Pangandaran tidak perlu kembali ke Ciamis jika mampu menyembuhkan dirinya sendiri. Tetapi untuk menyembuhkan, ia perlu kejujuran. Dan KDM telah membuka pintu kejujuran itu dengan satu kalimat brutal.
Kini tinggal masyarakat Pangandaran yang harus memutuskan: apakah akan terus memelihara mitos otonomi yang sekarat, atau mulai menghadap cermin dan merombak sistem secara radikal. Karena sejarah tidak pernah menunggu yang lambat. Dan mitos, seindah apapun, akan runtuh ketika kenyataan menuntut jawab.
KDM telah menabuh genderang. Dan suaranya bukan hanya suara gubernur, melainkan gema dari rakyat Pangandaran yang selama ini tak bersuara.
*Parigi Corner, 7 Juni 2025
No comments