Kerugian Tambang Raja Ampat Menyalip Kerugian PT Timah, Kasus Terbesar di Indonesia
Yogyakarta - Ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, memperkirakan kerugian akibat aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, mencapai lebih dari Rp300 triliun, melebihi kerugian dalam kasus korupsi tata niaga timah PT Timah Tbk yang diperkirakan sebesar Rp271 triliun. Fahmy menilai kerusakan ekosistem di Raja Ampat yang kaya flora dan fauna langka tidak bisa direklamasi dan menyebabkan kerugian besar yang jauh melampaui keuntungan ekonomi dari pertambangan tersebut.
Fahmy juga mengkritik pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah yang hanya berlaku untuk empat dari lima perusahaan di Raja Ampat, sementara PT GAG Nikel yang beroperasi di Pulau Gag tetap beroperasi meski dinilai melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ia menekankan bahwa limbah tambang berupa debu nikel bisa terbawa angin hingga ratusan kilometer, berpotensi mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia.
Fahmy menyerukan agar Raja Ampat bebas dari aktivitas pertambangan untuk mencegah krisis ekologi dan meminta aparat penegak hukum mengusut kemungkinan adanya praktik korupsi atau kongkalikong dalam penerbitan izin tambang di kawasan tersebut.
Ada dugaan kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
Ada dugaan kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam penerbitan izin tambang nikel di Raja Ampat, terutama terkait izin PT Gag Nikel yang melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Izin ini dikeluarkan meski aktivitas pertambangan dilarang di pulau kecil seperti Pulau Gag, yang luas konsesinya melebihi luas pulau tersebut. Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya kongkalikong antara pejabat pemberi izin dan perusahaan, serta potensi gratifikasi dan kerugian negara yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Legislator Yan Mandenas dan pakar hukum mendesak aparat penegak hukum untuk memeriksa pejabat yang mengeluarkan izin tersebut dan menindaklanjuti indikasi suap dan pembiaran yang terjadi baik di tingkat pusat maupun daerah. Pemerintah sudah mencabut empat izin perusahaan tambang lain di Raja Ampat karena pelanggaran lingkungan dan legalitas, namun izin PT Gag Nikel belum dicabut, sehingga penelusuran lebih lanjut sangat diperlukan.
Kasus ini menjadi perhatian serius karena sektor tambang di Papua rentan korupsi, dengan sejumlah kasus korupsi pertambangan yang sudah ditangani aparat hukum dan menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah. Aparat seperti Bareskrim Polri juga sedang menyelidiki dugaan tindak pidana kerusakan lingkungan dan potensi korupsi dalam kasus ini.
Tambang di Pulau Gag Ditemukan Melanggar Hukum
Aktivitas pertambangan di Pulau Gag melanggar hukum karena pulau ini kecil, dengan luas 60 km², dan Undang-Undang melarang pertambangan di pulau kecil. Mahkamah Konstitusi juga melarang pertambangan di daerah pesisir dan pulau kecil untuk mencegah kerusakan lingkungan. Pertambangan ini juga melanggar Undang-Undang Kehutanan karena dilakukan di hutan lindung. Konsekuensinya termasuk kerusakan ekosistem, potensi tenggelamnya pulau, dan ancaman terhadap budaya masyarakat setempat. Namun, PT GAG Nikel masih beroperasi karena kontrak karya dan dokumen perizinan.
(JBRMDS/05-18/02/25)
No comments