Idul Adha di Tengah Era Post-Truth: Menyelami Makna Pengorbanan dalam Kebenaran
Bandung - Dalam pusaran zaman yang kian gaduh oleh disinformasi, hoaks, dan kepalsuan yang dibungkus estetika digital, perayaan Idul Adha menghadirkan ruang kontemplatif yang langka: ruang untuk menguji kejujuran hati dan keteguhan iman dalam menghadapi ilusi dunia modern yang disebut sebagai era post-truth.
Secara teologis, Idul Adha bermula dari peristiwa monumental dalam sejarah kenabian, yakni ketika seorang hamba diuji dengan perintah untuk mengorbankan sesuatu yang paling dicintainya. Ini bukan soal kekejaman, tetapi soal keikhlasan dalam menerima kebenaran ilahi, yang kadang tak bisa dijangkau oleh logika duniawi. Dalam Islam, ujian seperti ini dikenal sebagai fitnah dalam makna spiritual: penyaringan antara yang benar dan yang palsu.
Ajaran kurban bukanlah ritual kosong. Ia merupakan simbol dari proses penyembelihan hawa nafsu, egoisme, dan segala bentuk kesombongan intelektual maupun sosial yang menjauhkan manusia dari kebenaran hakiki (al-haqq). Dalam Al-Qur’an, ditegaskan bahwa “bukan daging dan darah hewan kurban itu yang sampai kepada Alloh, melainkan ketakwaan kalian.” (QS. Al-Hajj: 37). Ini menegaskan bahwa makna terdalam dari kurban terletak pada sikap batin manusia dalam merespons perintah ilahi.
Di era post-truth, di mana opini sering lebih dipercaya daripada fakta, dan emosi lebih dominan daripada akal sehat, umat manusia mengalami erosi epistemologis. Kebenaran bukan lagi soal argumentasi yang rasional dan terbukti, melainkan tentang siapa yang paling nyaring dan viral. Dalam kondisi ini, makna kurban menjadi sangat relevan: mengorbankan kelekatan pada opini, keinginan untuk selalu dibenarkan, dan rasa takut untuk berbeda demi menegakkan nilai kebenaran yang lurus.
Islam mengajarkan bahwa iman tidak bisa dibangun di atas kepalsuan. Iman selalu menuntut keberanian: keberanian untuk menolak kebatilan meski dikucilkan, dan keberanian untuk membela kebenaran meski harus berkorban. Kurban, dengan seluruh simbolismenya, adalah latihan spiritual untuk itu. Bukan hanya menyembelih hewan, tetapi menyembelih keterikatan pada dunia yang menipu (ghurur), dan menggantinya dengan ketundukan pada Yang Maha Benar.
Era post-truth adalah zaman di mana kata-kata kehilangan makna, dan simbol kehilangan esensi. Idul Adha datang sebagai pengingat bahwa kebenaran bukan soal persepsi, tetapi soal kedekatan dengan nilai-nilai tauhid: mengesakan Alloh dalam segala tindakan, termasuk dalam menimbang benar dan salah.
Dalam pandangan Islam, manusia diberi akal dan wahyu sebagai dua pilar dalam mencari kebenaran. Ketika akal dikalahkan oleh fanatisme, dan wahyu diabaikan karena tidak sesuai dengan selera zaman, maka sesungguhnya manusia sedang menukar kemuliaan dengan kebingungan.
Idul Adha mengajak kita untuk kembali: kepada kejujuran, kepada pengorbanan, kepada keberanian untuk tidak mengikuti arus kebohongan massal. Dunia bisa menepuk bahu orang yang menyenangkan, tetapi Alloh meridloi hamba yang jujur dan berani membela kebenaran.
Di tengah suara digital yang gemuruh, takbir yang berkumandang dalam Idul Adha adalah suara batin yang mengingatkan: bahwa hidup bukan soal menjadi populer, tetapi soal menjadi benar. Dan menjadi benar, kadang menuntut kita untuk berkorban, bahkan terhadap diri kita sendiri.
Dari berbagai sumber
(JBRMDS/05-18/02/25)
No comments