Breaking News

Tedi Yusnanda N: Krisis Anggaran Daerah Berakar dari Audit BPK yang Tidak Profesional dan Diduga Bisa Dipesan

 Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute) 

Pangandaran – Di tengah memburuknya pengelolaan keuangan daerah, defisit anggaran yang tak terkendali, serta pelayanan publik yang terganggu, Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N., menyampaikan pandangan tajam dan kritis bahwa awal dari seluruh kekacauan fiskal itu bukan hanya karena lemahnya kepemimpinan kepala daerah, tetapi karena keroposnya sistem audit publik yang seharusnya menjadi alat koreksi. Ia menyebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai titik awal kerusakan ekonomi apabila hasil audit bisa ‘dipesan’ melalui praktik suap.

"Audit itu seharusnya menjadi cermin realitas anggaran, bukan cermin rias. Tapi kalau auditor bisa disuap untuk memberi opini yang baik, maka kerusakan keuangan daerah sebenarnya dimulai dari meja auditor, bukan dari kepala daerah,” ujar Tedi dalam sambungan telepon di Bandung.

Ia menegaskan, posisi strategis BPK sebagai lembaga konstitusional yang mengaudit pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, menjadi sangat berbahaya apabila kredibilitasnya dipertaruhkan demi kepentingan sempit.

“BPK itu bukan sekadar lembaga teknis. Ia adalah perpanjangan prinsip akuntabilitas publik. Bila kejujuran dalam audit dikompromikan, maka seluruh sistem demokrasi fiskal kita tumbang. Hasil audit seharusnya menjadi dasar bagi perbaikan, bukan pelicin untuk legitimasi,” tegasnya.

Pernyataan ini didasarkan pada sejumlah kasus nyata yang pernah terjadi. Tedi mengungkapkan bahwa praktik suap dalam lembaga auditor negara bukanlah isapan jempol. “Lihat kasus Ali Sadli dan Rochmadi Saptogiri yang menerima suap untuk memberikan opini WTP kepada Kementerian Desa tahun 2016. Atau kasus Bupati Bogor, Ade Yasin, yang menyuap auditor agar laporan keuangannya dinyatakan WTP,” beber Tedi.

Tak berhenti di situ, ia juga menyebut kasus empat auditor BPK Perwakilan Sulawesi Selatan yang dihukum karena menerima Rp 2,9 miliar dari kontraktor, serta keterlibatan Anggota III BPK, Achsanul Qosasi, dalam mega-korupsi proyek BTS Kominfo dengan nilai suap mencapai Rp 40 miliar.

“Kalau di pusat bisa begitu, daerah pun sangat mungkin. Apalagi di level kabupaten yang jauh dari sorotan media nasional. Inilah sebab kenapa publik harus berani bicara soal reformasi audit,” ujarnya.

Tedi menyoroti Pangandaran sebagai contoh konkret kegagalan hasil audit dalam mendorong perbaikan tata kelola keuangan daerah. Meski mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK dengan berbagai temuan serius, termasuk indikasi laporan fiktif, tidak ada satu pun tindak lanjut yang tuntas. “Akibatnya, defisit anggaran terus meluas. Siltap perangkat desa telat dibayar, Dana Bagi Hasil belum disalurkan bahkan ada yang terutang, dan program-program strategis stagnan,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengkritik kebijakan Bupati baru yang justru mengikuti jejak pendahulunya dengan menempuh utang sebagai solusi defisit, alih-alih melakukan efisiensi dan reformasi penganggaran. “Menambah utang di tengah kebocoran anggaran sama saja seperti menuang air ke ember berlubang,” tegasnya.

Dalam perspektif filsafat akuntansi, Tedi mengutip pendapat dari Mautz dan Sharaf dalam The Philosophy of Auditing (1961), yang menyatakan bahwa “auditing must be an independent, ethical, and evidence-based function; otherwise, it ceases to serve the public interest.” Ia menambahkan, “Kalau independensi auditor rusak, maka akuntansi kehilangan maknanya sebagai alat moral dan sosial.”

Ia juga mengutip David Mosso, mantan anggota FASAB AS, yang dalam Truth in Accounting (2007) menyebut: “If the government accounting system is compromised, the citizens are misled, democracy is threatened, and corruption is emboldened.”

Tedi menilai kondisi tersebut sudah mulai terjadi di banyak daerah di Indonesia, termasuk Pangandaran. “Demokrasi fiskal sedang terancam karena kita gagal menjadikan audit sebagai mekanisme kontrol sosial. Jika hasil audit bisa dibeli, maka kebijakan publik akan lahir dari ilusi, bukan dari data.”

Sebagai bentuk dorongan konkret, Tedi menghimbau semua elemen masyarakat, termasuk DPRD, organisasi masyarakat sipil, akademisi, hingga media lokal untuk aktif mengawasi proses audit yang dilakukan BPK di Pangandaran. “Audit bukan urusan elit birokrasi. Ini urusan publik. Masyarakat dan wakil rakyat harus ikut mengawal agar audit berjalan profesional dan hasilnya bisa digunakan untuk memperbaiki APBD dengan solusi yang tepat, efisien, dan efektif,” ujar Tedi.

Ia menekankan agar hasil audit tidak hanya jadi “pajangan dalam figura” atau alat seremonial tahunan yang mengaburkan kenyataan krisis. “Transparansi anggaran bukan soal citra, tapi soal keberlangsungan layanan dasar rakyat: pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi lokal,” pungkasnya.

Tedi juga mengusulkan reformasi sistemik terhadap audit publik dengan mempertimbangkan penggunaan teknologi audit digital berbasis blockchain untuk menjamin transparansi dan jejak data yang tak bisa dihapus. “Atau setidaknya bentuk tim pemantau independen lintas masyarakat untuk mengawasi proses audit di daerah,” tutupnya.

( - CR - ) 

No comments