Breaking News

Serangan India: Membuka Luka Lama dan Ancaman Baru dalam Hubungan India-Pakistan


New Delhi - Ketegangan antara India dan Pakistan kembali memuncak setelah India melancarkan serangan militer ke wilayah perbatasan yang disengketakan. Langkah ini segera memicu kecaman dari Islamabad dan menciptakan gelombang kekhawatiran internasional atas stabilitas Asia Selatan—kawasan yang selama ini rapuh karena sejarah konflik berkepanjangan antara dua negara bersenjata nuklir tersebut.

Konflik India dan Pakistan bukan hal baru. Sejak pemisahan pada 1947, kedua negara telah berperang tiga kali dan berkali-kali bersitegang akibat sengketa wilayah Kashmir. Namun, serangan terbaru ini membawa dampak jangka panjang yang jauh lebih kompleks dari sekadar respons militer. Ia menciptakan pola baru dalam konstelasi keamanan kawasan dan memunculkan risiko yang tak hanya berdampak lokal, tetapi juga global.

Menurut Dr. Sumit Ganguly, pakar hubungan internasional dari Indiana University, “Konflik India-Pakistan bersifat unik karena dipenuhi oleh unsur identitas nasional yang terbentuk dari sejarah berdarah, bukan sekadar perebutan wilayah. Ini menjadikan perdamaian sangat sulit dicapai karena menyangkut legitimasi ideologis kedua negara.”


Ketegangan yang ditimbulkan bukan hanya bersifat militer, tetapi juga menyentuh aspek diplomatik, ekonomi, hingga keamanan global. Hubungan diplomatik yang sempat mencair dalam beberapa dekade terakhir kembali membeku. Kedutaan besar ditutup sementara, dialog bilateral dibekukan, dan kerja sama perdagangan dihentikan. Bahkan, Perjanjian Perairan Indus—yang selama lebih dari setengah abad menjadi fondasi pengelolaan sumber daya air bersama—terancam dibatalkan secara sepihak.

Ancaman yang lebih besar juga mengintai: kemungkinan eskalasi ke arah konflik nuklir. Dalam laporan Carnegie Endowment for International Peace (2020), disebutkan bahwa Pakistan memiliki salah satu program pengembangan nuklir tercepat di dunia, dan strategi "first use"-nya sangat berisiko dalam situasi konflik intens. India, meskipun mengklaim kebijakan “no first use”, juga mempertahankan fleksibilitas dalam menanggapi ancaman besar.

Dr. Rabia Akhtar, Direktur Centre for Security, Strategy and Policy Research (CSSPR) Universitas Punjab, Pakistan, menyebut bahwa “doktrin nuklir kedua negara tidak saling kompatibel, dan ini menciptakan ‘instability-stability paradox’ yang berbahaya. Semakin percaya diri mereka dalam pencegahan nuklir, semakin besar pula kemungkinan mereka mengambil risiko dengan konflik terbuka.”

Ketegangan ini juga berdampak pada aspek ekonomi. Gangguan perdagangan bilateral tidak hanya memperburuk kondisi ekonomi domestik, tetapi juga menimbulkan efek rambatan pada kawasan Asia Selatan. “Ketegangan India-Pakistan meningkatkan risiko investasi dan memperlemah integrasi ekonomi regional,” ujar Prof. Amita Batra, ekonom regional dari Jawaharlal Nehru University. Ia menambahkan bahwa krisis ini juga memperlambat kemajuan SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation) yang sejak lama diharapkan menjadi blok ekonomi kawasan.


Kekhawatiran dunia internasional semakin besar ketika mempertimbangkan dampak konflik terhadap rantai pasok global, terutama di sektor pertanian dan energi. Asia Selatan merupakan salah satu penghasil komoditas utama seperti gandum, beras, dan tekstil. Ketidakstabilan politik yang berkepanjangan dapat menyebabkan kenaikan harga global dan kekurangan pasokan di berbagai negara.

Dari sisi sosial dan politik domestik, konflik ini memperkuat gelombang nasionalisme ekstrem. Pemerintah di kedua negara menggunakan krisis sebagai alat konsolidasi kekuasaan dan pengalihan isu domestik. Media lokal di kedua negara berlomba-lomba menampilkan narasi patriotik yang sering kali menyingkirkan suara-suara kritis. Hal ini menghambat ruang dialog dan memperpanjang siklus kebencian.

Dalam jurnal Asian Security (Vol. 17, No. 3), peneliti asal Singapura, Tanvi Madan, menulis bahwa “konflik India-Pakistan adalah permainan cermin yang terus mengulang: provokasi, eskalasi, mediasi internasional, lalu deeskalasi sementara. Selama akar konfliknya tak disentuh, siklus ini akan terus hidup.”

Dunia internasional, terutama PBB dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia, diharapkan dapat mengambil peran lebih aktif. Ketidakhadiran upaya kolektif akan membuat kawasan ini terus berada di ambang krisis berkepanjangan. Inisiatif diplomatik lintas negara, mediasi netral, dan tekanan internasional terhadap perlucutan senjata harus kembali menjadi agenda utama.

Serangan ini bukan sekadar insiden militer. Ia adalah pengingat bahwa perdamaian di Asia Selatan masih sangat rapuh. Tanpa upaya serius dari semua pihak, konflik ini bisa berubah menjadi bencana kemanusiaan dan krisis geopolitik yang lebih luas. Sementara rakyat sipil terus menjadi korban, dunia ditantang untuk tidak lagi melihat konflik India-Pakistan sebagai urusan domestik semata, melainkan sebagai tanggung jawab global untuk mencegah malapetaka bersama.

No comments