Tedi Yusnanda Kritik Ormas Pendukung Kekuasaan: “Dari Pilar Demokrasi Menjadi Jongos Negara”
Pangandaran — Direktur Eksekutif Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N., kewat sambungan telepon, melontarkan kritik tajam terhadap fenomena organisasi kemasyarakatan (ormas) yang secara membabi buta mendukung kekuasaan negara. Fenomena ini, menurutnya, mencerminkan anomali demokrasi dan menunjukkan betapa masyarakat sipil telah kehilangan daya kritis terhadap negara dan kuasa politik yang semestinya dikontrolnya.
“Ormas sejatinya lahir sebagai artikulasi kekuatan rakyat. Sebuah kekuatan antara individu dan negara yang bisa menjadi rem, bukan akselerator bagi kekuasaan. Tapi hari ini, banyak ormas justru menjadi corong negara, membela pemerintah bahkan lebih keras daripada pemerintah membela rakyat,” ujar Tedi dalam wawancara di Pangandaran, Kamis (8/5).
Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute)Menurut Tedi, peran ormas dalam sejarah lahir dari kebutuhan akan ruang sosial yang bisa menyuarakan aspirasi, membangun solidaritas, serta menjadi wadah pembebasan masyarakat dari penindasan kekuasaan politik dan ekonomi. Dalam sejarah Indonesia, ormas seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama berakar dari kebutuhan rakyat untuk menyuarakan kepentingan di luar struktur kekuasaan formal.
Namun kini, lanjut Tedi, peran tersebut banyak yang dibajak. Ia menyebut bahwa banyak ormas hari ini justru hidup dari anggaran negara, terlibat dalam proyek politik, dan kehilangan independensinya. “Ketika ormas didanai negara, ditugasi negara, dan bicara untuk negara, maka yang kita hadapi bukan masyarakat sipil, melainkan birokrasi berjubah ormas,” katanya.
Untuk memperkuat argumennya, Tedi meminjam analisis Mazhab Frankfurt, khususnya pemikiran Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, yang mengkritik bagaimana rasionalitas di masyarakat modern telah menjadi instrumental. Dalam kerangka ini, ormas berubah menjadi instrumen kekuasaan yang tidak lagi memiliki tujuan pembebasan, tetapi sekadar menjalankan fungsi pengendalian sosial.
“Adorno menyebutnya sebagai regresi kesadaran. Ketika masyarakat, termasuk organisasi rakyat, tidak lagi berpikir kritis, maka ia bisa menjadi alat dari sistem yang justru menindasnya. Dan hari ini, kita melihat banyak ormas yang justru menjadi penjaga pintu kekuasaan, bukan penjaga aspirasi rakyat,” ujar Tedi.
Ia juga menyinggung teori hegemoni Antonio Gramsci, bahwa kekuasaan modern mempertahankan dirinya bukan hanya dengan kekerasan, tapi lewat persetujuan sosial. “Ormas yang kehilangan kesadaran kritis akan menjadi bagian dari jaringan hegemonik itu. Mereka membenarkan kekuasaan bukan karena benar, tapi karena mereka sudah menjadi bagian dari sistem yang menggantungkan hidupnya pada negara,” tegasnya.
Dari sisi psikologi sosial, Tedi mengutip Gustave Le Bon tentang bagaimana dalam kerumunan, individu kehilangan identitas kritis dan menjadi bagian dari massa yang mudah digiring. “Itulah yang terjadi saat ormas dibentuk atas dasar identitas kosong, tanpa kesadaran politik yang matang. Maka yang muncul bukan gerakan pembebasan, tapi gerombolan loyalis,” katanya.
Contoh Buruk dan Baik: Ormas di Negara Lain
Tedi menyebut bahwa fenomena ormas yang mendukung kekuasaan secara membuta bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Hungaria, pemerintahan Viktor Orbán menggunakan organisasi-organisasi sipil yang loyal untuk membentuk opini publik, sementara LSM independen ditekan melalui regulasi yang menyamakan mereka dengan ‘agen asing’. “Ini adalah bentuk modern dari kolonisasi masyarakat sipil,” ujar Tedi.
Ia juga menyoroti Rusia, yang memanfaatkan organisasi masyarakat yang seolah-olah independen untuk menyebarkan propaganda negara. Sementara LSM atau kelompok kritis seperti Memorial dan Golos malah dikriminalisasi. “Negara membentuk pseudo-ormas untuk menciptakan ilusi demokrasi, padahal semua dikendalikan dari pusat,” jelasnya.
Namun, Tedi juga memberikan contoh ormas yang tetap mampu menjalankan fungsi kontrol sosial secara independen di negara-negara demokrasi maju. Di Jerman, organisasi seperti Transparency International atau Amnesty International Germany tetap vokal mengkritik pemerintah, termasuk dalam isu korupsi, HAM, hingga kebijakan luar negeri.
Di Swedia, organisasi masyarakat seperti Civil Rights Defenders memainkan peran penting dalam memastikan kebijakan negara tetap dalam koridor keadilan dan hak asasi manusia, tanpa khawatir kehilangan dukungan dana atau dikriminalisasi. “Negara kuat justru dibentuk oleh ormas-ormas kritis, bukan loyalis,” tegasnya.
Bahkan di Amerika Serikat, organisasi seperti ACLU (American Civil Liberties Union) terus mengawal konstitusi, menggugat presiden, membela minoritas, dan menjadi suara kritis lintas rezim. “Itu membuktikan bahwa keberadaan ormas independen adalah jantung dari demokrasi yang sehat,” tambah Tedi.
Ia menutup dengan seruan agar ormas-ormas di Indonesia tidak larut dalam euforia dukungan terhadap kekuasaan, apalagi jika mengorbankan peran historis mereka sebagai pembela rakyat.
“Ormas bukan anak tangga politik. Bukan juru bicara pemerintah. Ia adalah suara dari lorong-lorong sunyi yang menolak tunduk pada kuasa. Bila ormas tak lagi berpihak pada rakyat, maka siapa yang akan melindungi mereka dari negara yang lupa pada kewajibannya?” pungkasnya.
No comments