Reuni dan Cinta yang Tak Pernah Selesai: Antara Ilusi Masa Lalu dan Godaan Masa Kini (Tedi Yusnanda N)
Fenomena cinta lama bersemi kembali dalam reuni seperti memiliki kekuatan yang sulit dijelaskan hanya oleh logika. Ia seolah bagian dari mitos yang hidup dan terus diwariskan: cerita tentang dua orang yang pernah nyaris menjadi sepasang kekasih, tetapi waktu memisahkan mereka, dan reuni menjadi pentas tempat takdir diberi kesempatan kedua. Tapi apakah benar itu cinta? Ataukah hanya ilusi masa lalu yang dibungkus nostalgia?
Dalam mitologi Jawa, dikenal kisah Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso, dua tokoh yang tidak pernah bersatu karena tipu daya dan dendam. Tetapi dalam konteks reuni, kisah yang lebih relevan mungkin datang dari legenda Panji Asmoro Bangun dan Dewi Sekartaji, dua kekasih yang terpisah oleh waktu dan menyamar menjadi orang lain demi mencari cinta sejatinya. Cerita Panji, yang menyebar hingga ke wilayah Thailand dan Kamboja, adalah tentang cinta yang tidak selesai dan selalu punya peluang untuk diselesaikan, meskipun seringkali justru menjadi labirin baru bagi hati yang lelah.
Secara psikologis, fenomena ini punya nama: reminiscence bump. Teori ini menyatakan bahwa ingatan manusia paling kuat terhadap peristiwa yang terjadi di masa remaja hingga awal dewasa. Maka tak heran, cinta yang tak pernah tersampaikan di usia 13 atau 15 tahun bisa terasa begitu hidup kembali ketika dua orang bertemu dalam suasana yang membangkitkan memori dan hormon.
Carl Jung menyebut ini sebagai archetype “the lost beloved”: gambaran ideal yang tertanam dalam alam bawah sadar dan muncul kembali saat pemicu nostalgia hadir. Bagi banyak orang, cinta pertama adalah sketsa mental yang membentuk definisi cinta selamanya. Maka ketika reuni mempertemukan kembali dua tokoh dalam sketsa itu, rasanya seperti lukisan yang sempat digulung dan kini dibentangkan kembali. Apakah warnanya masih sama? Ataukah hanya kita yang terlalu rindu pada warna-warna lama yang telah pudar?
Tentu saja, tak semua reuni berakhir pada musibah. Tapi sejarah sosial menyimpan banyak kasus di mana reuni menjadi titik mula keretakan rumah tangga. Psikolog klinis Dr. Shirley Glass dalam bukunya Not "Just Friends" mencatat bahwa banyak perselingkuhan emosional justru dimulai dari interaksi yang tampaknya tidak berbahaya dan reuni adalah lahan subur untuk itu: akrab, penuh nostalgia, dan kadang disertai makan atau kopi pahit yang memaniskan kenangan.
Namun apakah cinta yang dulu tak sempat tersampaikan berarti cinta sejati? Ataukah hanya semacam ruang kosong dalam batin yang belum selesai diisi dan kini menagih pelunasan? Banyak yang tidak sempat menyatakan cinta di masa SMP bukan karena cinta itu besar, melainkan karena keberanian yang kecil. Dan saat perasaan itu muncul kembali dalam reuni, yang hadir mungkin bukan cinta, tapi semacam pelampiasan terhadap masa lalu yang tidak selesai.
Dalam teori psikologi eksistensial, setiap individu menyimpan kerinduan untuk mengulang atau memperbaiki masa lalu sebagai cara untuk merasakan kendali terhadap hidupnya. Maka perasaan berdebar saat bertemu “dia yang dulu” mungkin lebih mencerminkan kebutuhan batin untuk rekonsiliasi terhadap diri sendiri, bukan terhadap orang lain.
Bagi mereka yang sudah berpasangan, reuni bisa menjadi ujian. Muncul pertanyaan tentang batas antara kenangan dan pengkhianatan. Apakah sah untuk mengirim pesan tengah malam kepada teman lama yang dulu sempat membuat pipi memerah? Di titik ini, etika menjadi lebih penting daripada logika. Tindakan yang terlihat kecil bisa menjadi besar dalam imajinasi pasangan, dan dalam dunia digital, pesan singkat bisa jadi bom waktu rumah tangga.
Sebaliknya, bagi yang belum punya pasangan, reuni bisa menjadi peluang. Tapi peluang pun bukan tanpa jebakan. Cinta yang lahir dari reuni bisa jadi dibangun bukan dari pengenalan yang baru, tapi dari harapan yang lama. Kita tidak jatuh cinta kepada orang itu, tapi kepada versi dia yang dulu, yang kini mungkin tak lagi ada.
Lantas bagaimana menata sikap?
Pertama, sadari bahwa kenangan bukan kenyataan. Cinta yang dulu menyenangkan bukan berarti cinta itu masih relevan untuk masa kini. Kedua, penting untuk memisahkan rasa ingin tahu dari rasa cinta. Banyak perasaan bersemi bukan karena cinta, tapi karena penasaran dan kekosongan yang tak terisi. Ketiga, waspadai godaan untuk menambal hidup saat ini dengan tambalan masa lalu. Sesuatu yang dulu tidak berhasil, barangkali memang karena tidak ditakdirkan untuk berhasil.
Dalam konteks ini, reuni bisa menjadi anugerah jika dijadikan momentum untuk merekatkan silaturahmi, memperluas jaringan sosial, atau bahkan sekadar tertawa bersama atas kekonyolan masa remaja. Tetapi reuni bisa menjadi musibah jika menjadi alasan untuk merusak kebahagiaan yang telah dibangun, atau menyesali hidup yang tidak lagi bisa diulang.
Sejarah telah mengajarkan bahwa cinta yang terlalu terpaku pada masa lalu, kerap gagal membaca realitas masa kini. Bahkan dalam kisah mitologi Mesir, Dewa Osiris yang dibangkitkan oleh istrinya, Isis, tidak bisa hidup sepenuhnya seperti dulu. Cinta pun harus tahu kapan untuk mati, dan kapan untuk dilahirkan kembali dengan wajah yang baru dan kesadaran yang utuh.
Maka jika kelak undangan reuni datang, mungkin baik untuk bersiap bukan hanya secara penampilan, tapi juga secara batin. Karena lebih dari sekadar acara nostalgia, reuni adalah panggung tempat kita diuji: apakah kita benar-benar telah dewasa atau masih menyimpan cinta yang tak pernah selesai.
*Catatan dari Situ Gintung, 17 Mei 2025
No comments