Breaking News

Miskin Tak Selalu Bijak (Tedi Yusnanda N)

     Tedi Yusnanda N - Sarasa Institute

Ada semacam tepuk tangan kolektif setiap kali laporan kekayaan seorang pejabat publik memperlihatkan angka yang mencengangkan: bukan karena besarnya, melainkan karena hampir nihil. Seorang kepala daerah, atau bahkan pejabat tinggi negara, mendadak dielu-elukan karena dinyatakan “miskin” oleh laporan LHKPN Komisi Pemberantasan Korupsi. Media menyebutnya sederhana, aktivis menyebutnya jujur, dan publik yang lelah oleh parade kemewahan para pejabat pun larut dalam romantisme kesahajaan. Tapi di antara tepuk tangan itu, tak banyak yang benar-benar bertanya: benarkah miskin adalah indikator tunggal dari pemimpin yang baik?

Barangkali kita lupa bahwa kemiskinan bukan selalu buah dari kebajikan, dan kekayaan bukan selalu hasil dari kejahatan. Dalam narasi sejarah, kita mengenal banyak pemimpin agung yang kaya raya namun memimpin dengan bijak: Marcus Aurelius, filsuf-stoik yang memerintah Kekaisaran Romawi dengan kedalaman pikiran dan kepekaan pada penderitaan rakyat, hidup dalam istana megah, namun mencatat renungan-renungan spiritual dalam Meditations yang lebih miskin dari doa seorang pertapa. Sebaliknya, kita pun mengenal nama-nama revolusioner yang menggelar perlawanan atas nama rakyat, namun setelah berkuasa hidup dengan penuh kerakusan—dengan angka harta yang tak tercatat dalam lembar negara.

LHKPN adalah dokumen yang penting, tapi ia bukan kitab suci. Ia mencatat harta yang terlihat, bukan niat yang tersembunyi. Seorang pemimpin yang tercatat “miskin” dalam laporan kekayaannya tak otomatis bersih dari praktik penyimpangan. Ia bisa saja menyembunyikan aset atas nama keluarga, kolega, atau menumpuk kekuasaan dalam bentuk lain yang tak kasat mata. Celakanya, masyarakat kita mudah tersihir oleh simbol—dan miskin telah menjadi simbol baru dari kesalehan politik.

Max Weber telah lama memperingatkan bahaya dari kharisma yang tidak rasional. Pemimpin yang dipuja karena simbol, bukan karena sistem, akan membentuk kekuasaan yang lebih banyak didasarkan pada citra ketimbang kinerja. Pemimpin semacam itu mengandalkan kepercayaan irasional publik, dan dalam waktu yang panjang bisa berubah menjadi kultus. Ketika miskin menjadi simbol utama kepemimpinan, maka kita sedang membuka pintu bagi lahirnya sistem yang tidak mengutamakan kompetensi, melainkan dramatisasi moral.

Dalam cerita-cerita sufi, kita mengenal kisah Nabi Sulaiman yang kaya raya, namun dipuji karena keadilannya. Ia memerintah bukan dari kefakiran, melainkan dari kelimpahan yang dikelola dengan hikmah. Di sisi lain, legenda Jawa mengenal Prabu Jayabaya yang hidup sederhana tapi dihormati karena ramalan dan kepandaiannya menafsirkan zaman. Kedua kisah ini mengajarkan satu hal yang sama: kebijaksanaan tak berpangkal pada banyak atau sedikit harta, melainkan pada cara memerintah dan keberpihakan pada yang lemah.

Kita sering keliru dalam memahami relasi antara harta dan kepemimpinan. Seorang pemimpin bisa saja kaya namun jujur, bisa pula miskin namun culas. Laporan kekayaan harus dibaca bukan sebagai puisi, tapi sebagai dokumen legal: ia penting sebagai alat kontrol, bukan sebagai altar pemujaan. Dalam konteks itu, ketepatan data, transparansi sumber harta, dan konsistensi gaya hidup jauh lebih penting daripada angka absolut yang tertera.

Di negeri ini, pemimpin yang “miskin” bisa hidup mewah karena fasilitas negara, kendaraan dinas, rumah dinas, hingga tunjangan representasi. Maka kemiskinan personal tak berarti ia tak menikmati kemewahan jabatan. Bahkan, bisa jadi angka minus dalam LHKPN justru menutupi gaya hidup mewah yang tidak sebanding dengan gaji resminya. Inilah jebakan simbol yang tak disadari banyak orang: bahwa kesan tak selalu mencerminkan kenyataan.

Dari sudut pandang masyarakat, penting untuk tidak terjebak dalam kultus kesederhanaan. Yang perlu dituntut bukan hanya berapa kekayaan pemimpin, tapi bagaimana ia mengelola kekuasaan. Apakah anggaran daerah dikelola untuk rakyat, atau untuk konsultan politik? Apakah program pembangunan menyentuh petani dan nelayan, atau hanya memperindah wajah kota? Apakah ia menolak suap, atau sekadar pandai menyembunyikannya?

Kemiskinan pemimpin, seperti juga kekayaannya, hanya berarti sejauh itu bisa diuji oleh kebenaran praktik. Kita tak bisa menyimpulkan integritas dari saldo rekening. Kita perlu menilai dari sikap dalam menghadapi konflik kepentingan, ketegasan melawan penyimpangan, serta transparansi dalam pengambilan keputusan.

Di titik inilah, masyarakat perlu membangun cara pandang baru: bahwa pemimpin bukan dikagumi karena miskin, melainkan diuji karena amanah. Kejujuran tidak terletak pada angka, tetapi pada proses. Keadilan tidak bersumber dari kekosongan harta, melainkan dari keberanian berpihak pada yang tersingkir.

Dan pada akhirnya, pemimpin bukanlah biksu yang hidup dalam pertapaan. Ia adalah pengelola kekuasaan yang harus bertanggung jawab atas sumber daya bersama. Maka kepercayaan publik tidak boleh dibangun di atas mitos, melainkan di atas mekanisme yang bisa diuji dan dipertanggungjawabkan.

Pemimpin yang miskin boleh dikagumi, tapi hanya bila kemiskinan itu bukan topeng. Sebab dalam sejarah, tak sedikit pemimpin yang tampak suci dari luar, namun menyimpan labirin gelap di dalam birokrasi dan lingkar kekuasaannya. Dan kita, masyarakat yang kritis, seharusnya tidak berhenti pada angka. Kita harus terus bertanya, dan tidak gampang bertepuk tangan.

No comments