Breaking News

Kekuatan yang Tak Terdengar: Ketabahan dalam Riuh Guncangan Hidup (Tedi Yusnanda N)

Kita sering mengira bahwa kekuatan adalah sesuatu yang menggelegar. Ia tampak dalam dada yang membusung, suara yang meninggi, atau langkah yang menghentak bumi. Namun, dalam banyak kisah yang terdiam, justru kekuatan batinlah yang menahan agar hidup tak pecah. Ia sunyi, ia tak bersuara, namun mencengkeram erat di dasar hati manusia. Dalam gemuruh tragedi, ironi, dan perihnya kenyataan, ketabahan bukanlah sikap pasif. Ia adalah keputusan sehari-hari untuk tetap hidup meski segala alasan untuk menyerah datang silih berganti.

Kita hidup dalam semesta yang tak bisa kita ramal. Hari ini terang, esok bencana. Satu waktu kita tertawa di meja makan, esoknya kita menangis dalam gelap tanpa pelita. Dalam pusaran semacam itu, kehidupan tak lain hanyalah perjalanan panjang yang tak bisa kita tolak. Ia bukan sebuah jalur pilihan, melainkan keharusan. Maka, bukan tentang menghindar dari luka, tapi bagaimana kita berdamai dengannya, menyulamnya jadi makna.

Sejarah manusia tak kekurangan kisah ketabahan. Kita mengenal tokoh dari budaya Jepang, Yamato Takeru, pangeran muda yang dibuang karena dianggap pembawa sial oleh ayahnya. Dalam pengasingannya, ia bertarung dengan musuh, kehilangan orang terkasih, namun tak berhenti melangkah. Ia diteladani bukan karena kekuatan pedangnya, melainkan karena keberaniannya menanggung derita, menjadikannya bahan bakar untuk hidup yang lebih dalam. Atau dari Timur Tengah, kita mengenal kisah Ayub, nabi dalam tradisi Abrahamik, yang kehilangan harta, keluarga, bahkan tubuhnya direnggut penyakit. Tapi Ayub tak mengutuk langit. Ia bergeming dalam doa dan diam. Dalam diamnya itu, ketabahan menjadi nyala kecil yang tak padam, lilin yang menyala dalam lorong panjang tanpa cahaya.

Tragedi dalam hidup bukanlah kutukan, jika kita mampu mengalihkan lensanya. Dalam pemikiran Viktor Frankl, seorang psikiater Yahudi yang selamat dari kamp konsentrasi Auschwitz, penderitaan menjadi pintu untuk menemukan makna. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, Frankl berkata, "Segala sesuatu dapat diambil dari seseorang, kecuali satu: kebebasan terakhir manusia, memilih sikap dalam menghadapi keadaan apa pun." Dalam logika ini, tragedi bukanlah akhir. Ia adalah ruang kosong tempat kita bisa menulis ulang makna hidup, meski dengan tinta air mata.

Ironi kadang lebih menyakitkan dari tragedi. Seorang anak dari keluarga kaya yang tumbuh miskin karena kejatuhan bisnis orang tuanya, atau seorang istri yang harus merawat suaminya lumpuh padahal dulu sang suami adalah atlet gagah. Hidup suka bermain-main dengan kita. Tapi dalam ironi itu, justru sering muncul daya tahan yang menakjubkan. Kita mulai melihat bahwa hidup tak menjanjikan keadilan instan, tapi ia memberi ruang bagi mereka yang bersedia merangkak di antara serpihan harapan.

Teori resiliensi psikologis menyebut bahwa manusia memiliki kemampuan bawaan untuk bangkit dari tekanan, luka, atau kehancuran. Tapi bukan sekadar pulih. Resiliensi adalah tentang menjadi lebih kuat setelah semua itu. Dalam psikologi positif, ini disebut post-traumatic growth, pertumbuhan setelah trauma. Mereka yang pernah berada di dasar justru sering punya pandangan yang lebih dalam tentang hidup, rasa syukur yang lebih tajam, dan relasi yang lebih tulus. Seakan setelah diguncang, hati mereka terbuka terhadap sesuatu yang sebelumnya tertutup oleh rutinitas dan kesombongan.

Dalam budaya Jawa, ada istilah “manunggaling kawula lan Gusti”, penyatuan antara manusia dengan Tuhannya yang kadang hanya terjadi saat manusia dalam kejatuhan. Karena di titik itu, kita tak bisa lagi mengandalkan kekuatan kita sendiri. Kita membuka ruang untuk yang Ilahi, untuk takdir, untuk harapan yang melampaui nalar. Dalam penderitaan, manusia menemukan spiritualitas yang tak dipelajari dari buku, tapi dari perih yang tak bisa dijelaskan.

Ketabahan bukanlah kemampuan untuk tidak jatuh, tapi kemampuan untuk tetap berjalan meski dengan tubuh berdarah dan hati berantakan. Ketabahan bukan soal menjinakkan air mata, melainkan mengalirkan air mata tanpa malu. Ia bukan sikap baja yang kaku, tapi lentur seperti bambu yang meliuk dalam badai, namun tak patah.

Di balik setiap luka, selalu ada ruang bagi pembentukan. Seperti logam yang ditempa, manusia yang tahan uji bukan yang tak pernah terbakar, tapi yang telah melewati kobaran dan tak meleleh. Dalam hidup yang tak bisa dihindari ini, kita tak dituntut menjadi pahlawan. Kita hanya diminta untuk bertahan, dan memaknai setiap guncangan bukan sebagai kutukan, tapi sebagai bagian dari keutuhan hidup yang utuh dan berharga.

Karena mungkin, kekuatan sejati adalah ketika kita tahu bahwa hidup ini berat, kadang kejam, kadang tak masuk akal, tapi kita memilih untuk tetap hidup. Tetap mencintai. Tetap berharap. Tanpa perlu keributan, tanpa perlu sorak-sorai. Cukup dengan ketabahan yang sunyi, kekuatan yang tak terdengar.

(Sebuah catatan di Kopi Domu Berkisah, Coffee Shop disekitar Serpong Tangerang) 

No comments