Breaking News

Japar Sidik Disingkirkan Tanpa Ganti Rugi, Sarasa Institute Layangkan Somasi

Japar Sidik (Pengelola lahan) 

Pangandaran
 — Sudah lebih dari satu dekade Japar Sidik mengelola sebidang lahan di wilayah yang dulunya merupakan aset Kabupaten Ciamis. Di atas tanah itu, ia membangun kolam ikan dan rumah makan berdasarkan izin resmi, lengkap dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan surat izin usaha dari Dinas PUPR Kabupaten Ciamis. Ia tidak menyerobot, tidak mengokupasi secara liar. Semua berdiri atas dasar legalitas.

Namun, kenyataan pahit menghantamnya ketika pada tahun 2024, Dinas Kelautan Kabupaten Pangandaran mengambil alih lahan tersebut untuk pembangunan Balai Bibit Ikan. Tanpa musyawarah, tanpa surat resmi penetapan penggantian, dan yang lebih menyakitkan: tanpa ganti rugi yang tuntas. Japar baru menerima Rp. 40 juta dari nilai yang pernah diajukannya. Hal ini dilakukan karena tidak ada kejelasan nominal dari Pemerintah Kabupaten Pangandaran. Sehingga nilai sebesar Rp. 150 juta yang disampaikan secara lisan oleh Japar Sidik dalam sebuah pertemuan. Nominal yang jauh sebenarnya jika dihitung dari biaya yang dikeluarkan oleh Japar Sidik untuk mendirikan rumah makan dan kolam ikan. Sisanya, Rp. 110 juta, hingga kini tak kunjung ada kepastian.

“Saya ditanya kapan bisa angkat kaki, tapi saya tidak pernah ditanya kapan sisa uang saya dibayar,” ujar Japar kepada wartawan. Usahanya kini mati, mata pencahariannya terhenti, dan harga dirinya seolah diabaikan.

Tidak tinggal diam, Japar kemudian didampingi oleh Yeni Rahayu dari Sarasa Institute, sebuah lembaga independen. Bersama Sarasa Institute, Japar melayangkan surat somasi resmi kepada Sekretaris Daerah Kabupaten Pangandaran, Bapak Kusdiana.

Yeni Rahayu (Sekretaris Sarasa Institute) 

Yeni menyebut, tindakan pemerintah daerah ini tidak hanya melukai keadilan sosial, tetapi juga telah melanggar sejumlah ketentuan hukum yang jelas keberlakuannya.

Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, negara memang menguasai tanah, tetapi kekuasaan itu harus digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk mencabut penghidupan rakyat. Dalam hukum agraria Indonesia, warga yang memanfaatkan tanah negara secara sah, apalagi dengan izin pemerintah, berhak atas perlindungan hukum.

Yeni menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum disebutkan bahwa ganti rugi adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Tidak disebutkan bahwa yang berhak hanya pemilik sertifikat hak milik. Orang yang menguasai, menempati, atau memanfaatkan tanah secara sah, juga berhak atas kompensasi yang sesuai.

Pemerintah wajib memberikan ganti rugi berdasarkan hasil penilaian yang obyektif dan proporsional. Termasuk di dalamnya adalah bangunan, usaha, dan akses penghidupan yang sah.

Yeni juga mengutip Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 yang menegaskan bahwa masyarakat yang memanfaatkan tanah negara secara sah tetap memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi jika lahan itu dialihfungsikan untuk kepentingan umum. Dalam Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2016 bahkan ditegaskan bahwa warga yang telah lama mengelola tanah negara dengan dasar sah dapat diakui sebagai pengelola dan berhak atas penggantian jika diminta meninggalkan lokasi.

Lebih tegas lagi, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 50/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa ganti rugi tidak boleh hanya dilihat dari nilai fisik tanah atau bangunan, tetapi juga harus memperhitungkan nilai sosial, ekonomis, dan psikologis yang melekat bagi warga yang terdampak.

“Atas dasar itu, kami melayangkan somasi dan memberi waktu lima hari kerja kepada Pemkab Pangandaran untuk memberi kepastian tertulis,” tegas Yeni. “Kalau tidak ada respon, kami akan membawa perkara ini ke pengadilan, Ombudsman, bahkan Komnas HAM jika perlu.”

Menurut Sarasa Institute, persoalan Japar adalah bagian dari pola besar di mana pembangunan dilakukan tanpa peta jalan keadilan. Banyak warga kecil yang akhirnya disingkirkan, karena kelemahan administratif dan sikap negara yang tidak konsisten terhadap hukum yang dibuatnya sendiri.

“Kalau warga yang mengelola lahan secara sah saja bisa dipinggirkan seperti ini, maka tidak ada lagi jaminan bagi siapa pun di republik ini,” ujar Yeni.

Kini Japar menanti. Bukan hanya menanti pelunasan ganti rugi yang dijanjikan, tapi juga menanti kejelasan: apakah negara masih berdiri untuk rakyat, atau hanya untuk membangun proyek, tanpa memikirkan siapa yang harus dikorbankan. 

No comments