Breaking News

Film "Pembantaian Dukun Santet": Horor Berdarah dari Tragedi Nyata di Banyuwangi


Film horor terbaru berjudul "Pembantaian Dukun Santet" resmi tayang di bioskop sejak 8 Mei 2025 dan langsung mengundang perhatian publik. Diangkat dari kisah nyata tragedi kelam di Banyuwangi tahun 1998, film ini merekonstruksi kembali peristiwa mengerikan ketika ratusan orang dibantai secara brutal karena dituduh sebagai dukun santet. Tak hanya mencekam, film ini juga memantik kontroversi dan diskusi sejarah yang selama ini tertutup rapat.

Disutradarai oleh Azhar Kinoi Lubis, film ini merupakan adaptasi dari thread viral di media sosial yang ditulis oleh akun @jeropoint, dan kini diangkat ke layar lebar dengan pendekatan sinematik penuh teror, kekerasan, serta atmosfir mistis khas pedesaan Jawa Timur. Tontonan ini bukan hanya menghadirkan kengerian horor, tetapi juga membuka kembali luka sosial yang belum sembuh di tubuh bangsa.

Sinopsis

Latar cerita mengambil masa akhir 1990-an, ketika ketakutan dan desas-desus tentang ilmu hitam merebak luas di kalangan masyarakat. Tokoh utama dalam film ini adalah Satrio, seorang santri muda yang menjalani hidup tenang di sebuah pesantren Jawa Timur. Kedamaian itu runtuh saat sekelompok orang bertopeng hitam datang pada malam hari dan membantai empat guru pesantrennya secara sadis, hanya karena dianggap sebagai dukun santet.

Kengerian pun merambat. Teror dan fitnah berkembang menjadi semacam histeria kolektif. Warga desa mulai main hakim sendiri. Guru dan santri yang tak bersalah tewas satu per satu secara misterius. Bahkan pesantren, simbol moral dan ketenangan spiritual, menjadi ladang pembantaian yang mengerikan. Dalam kekacauan itu, Satrio berjuang mengungkap siapa dalang di balik semua kekejaman ini, sembari menyelamatkan keluarganya dari ancaman balas dendam yang diklaim datang dari para dukun santet.

Film Penuh Kontroversi

Meski banyak penonton memuji atmosfer mencekam dan akting kuat dari para pemainnya, film ini tak luput dari kontroversi. Sebagian warga Banyuwangi menganggap film ini mencoreng citra daerah dan membuka kembali luka lama yang traumatik. Protes sempat muncul di media sosial hingga forum warga, terutama terkait penamaan daerah dan penggambaran masyarakat lokal.

Padahal, menurut produser dan sutradara, film ini tidak dibuat untuk menyudutkan, melainkan sebagai bentuk pengingat akan bahaya fanatisme, ketakutan kolektif, dan praktik pembenaran kekerasan atas nama moralitas.


Nuansa Lokal dan Atmosfer Mistis

Film ini menonjol karena kekuatan visualnya yang penuh simbolisme Jawa: dari sesajen, wayang kulit, hingga detail arsitektur rumah-rumah desa yang otentik. Musik latar digarap dengan nuansa gamelan gelap yang membuat suasana semakin mencekam. Semua elemen ini membungkus narasi berdarah dalam bungkus budaya lokal yang kuat dan mengguncang batin.

Aktor muda Kevin Ardilova memerankan Satrio dengan penuh intensitas, menyampaikan rasa takut, kehilangan, dan keputusasaan dalam tekanan psikologis yang menyesakkan. Film ini menjadi semacam tafsir ulang atas sebuah sejarah kelam yang pernah coba dikubur oleh waktu, tapi kini menyeruak kembali lewat media layar lebar. 

"Pembantaian Dukun Santet" bukan hanya horor biasa. Ia adalah narasi sejarah, trauma kolektif, sekaligus kritik sosial yang membungkus horor dalam cermin kemanusiaan. Sebuah film yang wajib ditonton — bukan hanya untuk ditakuti, tetapi juga untuk direnungkan.

No comments