Breaking News

Ali Nurdin: "Negara Harus Akui Pekerja Migran sebagai Subjek Dalam Gerakan Buruh!"

 Ali Nurdin (Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi) 

Jakarta — Dalam peringatan Hari Buruh Internasional 2025, Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menyuarakan peringatan keras terhadap pemerintah tentang kondisi darurat pengangguran yang dihadapi Indonesia saat ini. Ia menegaskan bahwa pekerja migran harus menjadi bagian sentral dalam agenda perjuangan buruh nasional, bukan hanya dipinggirkan sebagai isu sektoral.

"Setiap 1 Mei, kita selalu menyuarakan hak-hak buruh, tapi sering kali yang dimaksud hanya buruh pabrik. Padahal jutaan pekerja migran Indonesia adalah buruh juga. Mereka juga berkeringat, menanggung risiko, dan menyumbang devisa negara. Kenapa mereka tidak pernah mendapat tempat yang pantas dalam narasi besar gerakan buruh?" kata Ali Nurdin saat memberikan pernyataan resmi dalam acara refleksi Hari Buruh di Jakarta, Kamis (1/5).

Pengangguran dan Bonus Demografi: Ledakan Tanpa Proteksi

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) awal 2025, angka pengangguran terbuka masih berada di kisaran 5,6%, dengan konsentrasi terbesar pada usia 20–35 tahun—masa produktif yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sementara itu, Indonesia tengah memasuki puncak bonus demografi, yang berarti mayoritas penduduk berada pada usia kerja. Namun tanpa strategi nasional yang kuat, bonus ini bisa menjadi beban.

"Ketika investasi asing tak kunjung masuk dan penciptaan lapangan kerja domestik stagnan, maka penempatan pekerja ke luar negeri bukan sekadar solusi sementara, tetapi harus menjadi prioritas strategis nasional," tegas Ali.

Legalitas dan Posisi Konstitusional Pekerja Migran

Ali Nurdin merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yang menyebut secara tegas bahwa negara berkewajiban untuk:

“Memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada Pekerja Migran Indonesia dari sebelum bekerja, selama bekerja, hingga setelah bekerja.” (Pasal 4)

UU ini menegaskan bahwa pekerja migran bukan subjek pinggiran, melainkan warga negara yang harus mendapat jaminan konstitusional. Dalam Pasal 5 juga disebutkan bahwa pemerintah wajib “meningkatkan kompetensi, pelindungan, dan kesejahteraan Pekerja Migran Indonesia.”

Namun dalam praktiknya, menurut Ali Nurdin, tata kelola migrasi tenaga kerja masih terfragmentasi dan terlalu banyak aktor terlibat, yang justru menciptakan konflik kepentingan dan melemahkan perlindungan.

“Negara harus serius menata ulang sistem ini. Kita butuh lembaga tunggal, bukan lembaga administratif. BP2MI harus naik kelas menjadi KP2MI—Kementerian Pelindungan dan Penempatan Pekerja Migran Indonesia—dengan mandat lex spesialis dari hulu hingga hilir,” ujarnya.

Pekerja Migran: Dari Pengirim Devisa Hingga Pemimpin Daerah

Ali juga menekankan pentingnya mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerja migran. Dalam catatannya, banyak purna pekerja migran yang kini menjadi anggota DPRD, kepala desa, hingga kepala daerah. Ini menunjukkan bahwa bekerja di luar negeri bukanlah bentuk keterbelakangan, tetapi pilihan strategis untuk mobilitas sosial.

“Selama ini mereka distigma sebagai TKI yang tak berpendidikan. Padahal banyak yang justru punya jejaring internasional, kompetensi bahasa, dan pengalaman manajerial. Kita harus setarakan status bekerja di luar negeri dengan bekerja di dalam negeri. Sama-sama terhormat, sama-sama berhak atas jaminan,” tegasnya.

Isu Strategis Hari Buruh Internasional: Jangan Lupakan Buruh Migran

Ali Nurdin mengingatkan bahwa Hari Buruh Internasional tidak boleh hanya dimonopoli oleh isu-isu industrial semata. Sebagai bagian dari global labor force, para pekerja migran menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari eksploitasi, perbudakan modern, hingga kekosongan perlindungan hukum di negara penempatan.

“Dalam forum internasional seperti ILO, pekerja migran selalu menjadi isu sentral. Tapi di dalam negeri, mereka masih dianggap pelengkap. Sudah saatnya kita ubah itu,” tegasnya.

Menurutnya, pekerja migran adalah wajah nyata dari buruh global. Mereka terjebak dalam sistem kerja lintas negara yang sarat eksploitasi dan diskriminasi. Namun jika dikelola secara profesional dan berbasis HAM, migrasi tenaga kerja bisa menjadi kekuatan ekonomi baru bagi Indonesia, seperti yang dilakukan Filipina.

Saatnya Pekerja Migran Jadi Agenda Nasional

Mengakhiri pernyataannya, Ali Nurdin mengajak seluruh serikat buruh dan elemen gerakan pekerja untuk menjadikan isu pekerja migran sebagai bagian dari perjuangan kolektif nasional. Ia juga menyerukan kepada pemerintah untuk segera menginisiasi pembentukan KP2MI sebagai bentuk keseriusan dalam menjawab tantangan pengangguran dan perlindungan tenaga kerja lintas batas.

“Pekerja migran adalah buruh juga. Mereka bukan cadangan, bukan korban, bukan beban. Mereka adalah subjek perjuangan yang nyata. Kalau kita bicara Hari Buruh, kita wajib juga bicara mereka,” pungkasnya.

[ - YR - ]

No comments