Tedi Yusnanda: Reaktivasi Rel Banjar–Cijulang Adalah Investasi Sosial Jangka Panjang
Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute)
Pangandaran – Sarasa Institute menilai reaktivasi jalur kereta Banjar–Cijulang tidak sepatutnya dilihat sebagai proyek pemborosan anggaran, melainkan sebagai investasi sosial jangka panjang yang akan membuka akses, keadilan, dan konektivitas di wilayah selatan Jawa.
Hal itu disampaikan oleh Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute, saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (23/4/2025).
"Argumen bahwa proyek ini akan menghabiskan triliunan rupiah lalu sia-sia, adalah pandangan jangka pendek yang kurang memahami prinsip value for money dalam pembangunan. Negara tidak bisa terus menghitung rakyat dengan kalkulasi pasar," kata Tedi.
Menurutnya, reaktivasi rel Banjar–Cijulang bukan hanya soal gerbong dan rel, melainkan simbol keberpihakan negara kepada kawasan yang selama ini terisolasi. Ia menekankan bahwa fungsi utama proyek ini adalah sebagai public service obligation (PSO), bukan komersial murni.
"Negara hadir bukan untuk menghitung tiket terjual, tapi menyambungkan yang selama ini terputus. Kalau kita hanya mengejar balik modal, jalan tol Trans Jawa dan MRT pun tidak ada," ujar Tedi.
Jawaban atas Kritik: dari Anggaran hingga Kaum Kusam
Tedi juga menanggapi kekhawatiran bahwa masyarakat sudah terlalu nyaman dengan kendaraan pribadi, sehingga kereta tak akan laku. Menurutnya, kebiasaan bisa berubah jika moda transportasi baru menawarkan efisiensi dan harga terjangkau.
"Ketika ongkos kereta lebih murah dari biaya bensin, lebih aman daripada jalur rawan kecelakaan, masyarakat akan beralih. Kita lihat sendiri bagaimana KRL Jabodetabek mengubah pola komuter masyarakat," tegasnya.
Soal kritik terhadap kemungkinan penggusuran warga di tanah eks PJKA, Tedi justru melihatnya sebagai momentum negara untuk menata ulang dengan adil.
“Warga yang tinggal di jalur rel itu bukan penjahat, tapi korban pembiaran negara selama puluhan tahun. Relokasi bukan sekadar pengusiran, tapi penataan yang manusiawi. Ini kesempatan menebus kesalahan lama," jelasnya.
Ia mengingatkan, Pasal 34 UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian memang mengatur bahwa jalur dan kawasan rel adalah milik negara, namun implementasinya harus dilandasi keadilan sosial.
Belajar dari Jepang
Sebagai ilustrasi, Tedi mengutip kisah inspiratif dari Jepang yang menurutnya patut dicontoh. Di Hokkaido, jalur Kyu-Shirataki tak jadi ditutup hanya karena satu mahasiswi masih menggunakannya untuk bersekolah.
"Itu bukan soal bisnis, tapi keberpihakan. Bayangkan, negara tetap menjalankan kereta demi satu jiwa. Kita semestinya belajar dari keberanian dan kemanusiaan seperti itu," ungkapnya.
Antara Mimpi dan Keberanian
Tedi menilai, terlalu banyak mimpi pembangunan di negeri ini dikubur oleh rasa takut gagal. Padahal, menurutnya, pembangunan selalu mengandung risiko, namun harus dijalankan dengan nalar dan partisipasi publik.
"Kalau dilakukan dengan benar—terencana, inklusif, tidak elitis—reaktivasi ini justru bisa menjadi titik balik kebangkitan selatan Jawa. Jangan remehkan efek berantai dari rel yang disambung," pungkas Tedi Yusnanda.
( -AZ- )
No comments