Breaking News

Tedi Yusnanda N: "Membaca Tanda Di Balik Silang Perjumpaan Sufmi Dasco Dan Para Tokoh Oposisi


Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute) 

Pangandaran — Ketika narasi “Indonesia Gelap” menggema di ruang-ruang diskusi publik sebagai ekspresi kekecewaan terhadap iklim demokrasi yang kian redup, sebuah peristiwa tak terduga muncul ke permukaan. Sejumlah tokoh yang selama ini dikenal keras beroposisi terhadap kekuasaan—Rocky Gerung, Jumhur Hidayat, Eggie Sudjana, dan Syahganda Nainggolan—bertemu dengan Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra, Sufmi Dasco.

Pertemuan ini sontak memicu spekulasi. Ada yang menyebutnya sebagai isyarat rekonsiliasi, ada pula yang menaruh curiga—apakah ini bentuk kooptasi kekuatan sipil oleh kekuasaan yang sedang menata barisan pasca-pemilu?

Tedi Yusnanda N., Direktur Eksekutif Sarasa Institute di Pangandaran, yang dihubungi melalui telepon selulernya menanggapi fenomena ini secara lebih jernih dan mendalam. Dalam penilaiannya, pertemuan tersebut bukanlah peristiwa biasa, melainkan cermin dari perubahan dinamika kekuasaan yang tengah berlangsung dalam suasana transisi besar pasca-Presiden Joko Widodo.

“Jika kita melihat ini hanya sebagai strategi merangkul lawan politik, kita gagal memahami konteks besar yang sedang bergerak. Pertemuan ini adalah tanda dari mencairnya batas oposisi dan koalisi, suatu pola yang lazim dalam teori sirkulasi elite,” ujar Tedi dalam diskusi terbatas yang diadakan Sarasa Institute.

Ia mengacu pada konsep sosiolog-politik dari Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca, yang menyebut bahwa setiap sistem kekuasaan memiliki siklus perputaran elite. Elite lama melemah, dan elite baru naik ke permukaan, seringkali dengan wajah kompromi. Namun, yang lebih penting, menurut Tedi, adalah sejauh mana elite baru membawa kesadaran politik baru, bukan sekadar mengganti posisi kursi kekuasaan.

Antara Realisme Politik dan Dialektika Demokrasi

Melihat komposisi pertemuan antara Dasco dan para oposisi vokal ini, Tedi mengajukan interpretasi menarik. “Ini bisa dibaca sebagai taktik realisme politik: meredakan tensi dengan mengakomodasi suara berbeda, namun juga bisa menjadi peluang lahirnya model oposisi baru—yakni oposisi korektif dari dalam sistem.”

Ia kemudian mengaitkan fenomena ini dengan gagasan agonistic pluralism yang dikembangkan Chantal Mouffe—bahwa demokrasi bukan tentang menghapus pertentangan, tapi mengelola konflik secara produktif. Dalam konteks ini, oposisi tidak berarti harus selalu berada di luar pagar kekuasaan. Sebaliknya, justru dengan masuk dan menantang dari dalam, mereka dapat memainkan peran korektif yang substansial.

“Demokrasi bukan hanya soal siapa lawan siapa. Tapi siapa yang bisa menjaga integritas narasi keadilan ketika kekuasaan mulai kehilangan orientasi,” ujarnya.

Menyoal “Indonesia Gelap” dan Ilusi Heroisme

Tedi juga menyoroti menguatnya narasi “Indonesia Gelap” sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan yang dinilai otoriter dan sarat praktik penyalahgunaan wewenang. Namun, ia memberikan catatan kritis.

“Tagline itu penting, namun kita harus hati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi heroisme. Ketika kegelapan dibentangkan secara hiperbolik, publik bisa kehilangan kemampuan menilai spektrum realitas secara jernih,” ujarnya.

Bagi Tedi, “gelap” bukan sekadar kondisi politik, melainkan juga ekspresi kegagalan kolektif dalam membangun harapan. Ia mengutip Antonio Gramsci: “The old is dying and the new cannot be born…” Indonesia, menurutnya, kini tengah berada di tengah interregnum—ruang kosong antara akhir satu zaman dan lahirnya yang baru.

Prabowo dan Eks-Oposisi: Sebuah Cikal Front Nasional?

Pertanyaan penting kemudian mengemuka: jika pertemuan itu bukan tanda kooptasi, maka adakah kemungkinan lain? Tedi menjawab, “Kita bisa melihat ini sebagai awal dari terbentuknya front nasional—suatu koalisi lintas ideologi yang mengedepankan agenda kebangsaan ketimbang sektarianisme politik.”

Ia merujuk pada pengalaman negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur, yang pernah membentuk koalisi nasional pascarezim represif sebagai strategi transisi demokrasi. Menurutnya, jika Presiden terpilih Prabowo Subianto mampu membuka kanal dialog substantif dengan elemen-elemen oposisi, maka potensi pembaruan sistem bisa lebih terbuka.

“Tentu saja, ini hanya mungkin jika dialog tersebut bukan sekadar pertunjukan simbolik, tetapi dibarengi komitmen nyata terhadap kebebasan sipil, reformasi hukum, dan keadilan sosial,” tegasnya.

Catatan Kritis: Jangan Hanya Rangkulan Kosong

Namun, Tedi tak abai memberi peringatan. Ia menggarisbawahi bahwa rekonsiliasi tanpa nilai hanya akan melanggengkan oligarki dalam kemasan baru. “Kalau tokoh-tokoh kritis hanya dirangkul untuk dibungkam, maka kita sedang menyaksikan wajah baru dari otoritarianisme, yang lebih halus tapi lebih berbahaya,” katanya.

Ia menyerukan agar masyarakat sipil tetap siaga. Pertemuan semacam ini, betapapun menjanjikan, tidak boleh menumpulkan kewaspadaan publik terhadap kemungkinan penyimpangan kekuasaan. “Kita harus tetap bertanya: siapa yang diuntungkan, dan ide apa yang sedang dinegosiasikan?”

Di akhir pembicaraan, Tedi menyampaikan satu hal yang ia anggap esensial: “Kita sedang menyusun ulang peta jalan republik. Jangan sampai jalan itu berliku-liku hanya demi menyenangkan para elite. Jalan itu harus tetap menuju keadilan, bukan hanya kekuasaan.”

( - Dq - ) 

No comments