Breaking News

Tedi Yusnanda Kritik Pemkab yang Tahan DBH Desa: Pelanggaran Hukum dan Keadilan Fiskal

 Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute) 

Bandung – Praktik Pemerintah Kabupaten yang menahan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan retribusi daerah kepada pemerintah desa menuai kritik tajam dari Direktur Sarasa Institute, Tedi Yusnanda N. Ia menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk pelanggaran hukum, penyalahgunaan wewenang fiskal, dan pengingkaran terhadap prinsip keadilan politik anggaran dalam negara desentralistik.

Menurut Tedi, DBH merupakan hak fiskal desa yang dijamin undang-undang dan tidak boleh ditahan apalagi dialihkan untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ia menekankan, berdasarkan Pasal 72 ayat (1) huruf c dan ayat (4) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah kabupaten/kota wajib menyalurkan bagian dari pajak dan retribusi daerah kepada desa paling sedikit 10% dari realisasi penerimaan dan dilakukan secara proporsional.

“Menahan DBH desa tanpa alasan hukum yang sah, apalagi mengalihkannya untuk belanja lain, adalah pelanggaran hukum tata negara. Ini bukan sekadar wanprestasi fiskal, tapi bisa masuk ke dalam tindak pidana korupsi jika ada unsur kerugian negara,” ujar Tedi, Senin (28/4/2025).


Ia menambahkan, penyaluran DBH ke desa juga diatur dalam PP No. 43 Tahun 2014 jo PP No. 11 Tahun 2019, khususnya Pasal 100 ayat (2) yang menyatakan bahwa penyaluran DBH ke desa wajib dilakukan setiap triwulan. Selain itu, menurut Permendagri No. 20 Tahun 2018, pemerintah desa berhak mengetahui jadwal dan besaran transfer ke desa, termasuk sumbernya.

Langgar Prinsip Politik Anggaran

Lebih jauh, Tedi menilai bahwa kebijakan penahanan DBH tersebut bertentangan dengan teori kebijakan publik yang menyatakan bahwa “apa yang pemerintah pilih untuk tidak dilakukan” adalah bentuk keputusan politik yang dapat berdampak sistemik. Ia mengutip Thomas R. Dye, bahwa kebijakan publik adalah refleksi dari pilihan negara dalam mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya.

“Ketika desa dibiarkan menggantung tanpa hak fiskalnya, itu menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten tidak menjadikan desa sebagai aktor politik yang setara. Padahal UU Desa sudah menempatkan desa sebagai subyek pemerintahan,” tegasnya.

Tedi juga merujuk pada teori politik anggaran dari Aaron Wildavsky yang menyebut anggaran sebagai instrumen kuasa dan prioritas politik. Dalam hal ini, pengalihan DBH ke pos lain tanpa revisi APBD yang sah mencerminkan distorsi politik anggaran dan berpotensi menjadi alat politik praktis.

Potensi Pelanggaran Hukum

Menurutnya, jika pemerintah daerah mengalihkan DBH untuk belanja lain tanpa persetujuan DPRD dalam bentuk Perda Perubahan APBD, maka tindakan tersebut dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum oleh badan pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad).

“Kalau sampai ada pemotongan, penahanan, atau pengalihan DBH tanpa transparansi dan landasan hukum, maka potensi pelanggaran pidana sangat besar. Apalagi jika desa mengalami kerugian pelayanan publik akibat tertundanya program-program yang dibiayai dari DBH,” ungkapnya.

Tedi mengingatkan bahwa Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur bahwa penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara yang merugikan keuangan negara atau daerah dapat dijerat pidana.

Desak Kepala Desa Ambil Langkah Hukum

Ia mendorong para kepala desa untuk tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah hukum dan administratif, seperti:

1. Menyampaikan surat resmi tuntutan kepada bupati,

2. Mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN),

3. Melaporkan ke Inspektorat, Ombudsman, atau bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika ditemukan indikasi penyalahgunaan dana.

“Kepala desa punya tanggung jawab politik dan hukum untuk membela hak anggaran desanya. Ini bukan soal perbedaan politik, tapi soal hak rakyat desa yang tidak boleh ditahan atas nama alasan defisit,” pungkasnya.

No comments