"Kartini Menangis di Dunia Viral: Kritik Yeni Rahayu atas Emansipasi yang Tersesat dalam Joget dan Popularitas"
Yeni Rahayu (Sekretaris Sarasa Institute)
Pangandaran — Peringatan Hari R.A. Kartini pada 21 April seharusnya menjadi momen reflektif atas perjuangan perempuan di tengah tantangan zaman. Namun bagi Yeni Rahayu, Sekretaris Sarasa Institute, peringatan ini justru menyingkap ironi besar di tengah gegap gempita selebrasi.
Melalui sambungan telepon dengan redaksi, Yeni mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap arah perkembangan emansipasi perempuan saat ini, yang menurutnya telah bergeser jauh dari semangat awal yang ditulis Kartini dalam surat-suratnya, yang kemudian dibukukan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
"Kartini menulis dari ruang keterkurungan fisik dan sosial, tapi pikirannya menerobos batas-batas zaman. Hari ini, banyak perempuan justru terjebak dalam kurungan baru yang tak kasat mata: ruang virtual yang menjadikan viral sebagai tolok ukur eksistensi,” ujar Yeni.
Ia menyoroti tren generasi perempuan—baik muda maupun para “emak-emak”—yang lebih banyak mengekspresikan diri lewat joget-joget di media sosial, dari yang lucu hingga vulgar, demi mengejar popularitas dan sensasi sesaat. Fenomena ini, kata Yeni, bukan sekadar ekspresi bebas, melainkan cerminan teralienasinya perempuan dari substansi perjuangan sosial.
"Jika Kartini masih hidup hari ini, ia mungkin akan menangis melihat semangat emansipasi yang ia perjuangkan berubah menjadi semacam pertunjukan algoritmik. Dulu gelap itu penjajahan dan feodalisme. Sekarang gelap itu layar terang yang meninabobokan kesadaran,” lanjutnya.
Yeni mengaitkan gejala ini dengan konsep post-truth society, di mana fakta dan kebenaran telah dikalahkan oleh persepsi dan emosi. Menurutnya, dunia digital hari ini telah menciptakan ruang sosial yang memperkuat ilusi kebebasan, padahal justru mengunci perempuan dalam logika pasar dan eksibisionisme massal.
Ia menyitir teori kritik perubahan sosial dari para pemikir Frankfurt School, bahwa masyarakat modern telah menggantikan perjuangan dengan hiburan, menggantikan pencerahan dengan sensasi. "Kita hidup di zaman ketika masyarakat lebih percaya pada konten viral daripada kajian ilmiah. Isu perempuan pun kerap dijadikan komoditas visual, bukan lagi proyek pemberdayaan. Ini kemunduran yang diselimuti glitter digital," katanya.
Yeni juga menautkan fenomena ini dengan maraknya isu “Indonesia Gelap” yang belakangan ramai di media sosial, sebagai simbol krisis multidimensi, mulai dari listrik yang padam, korupsi yang masif, hingga merosotnya moral publik. Dalam konteks itu, kata Yeni, peringatan Kartini seharusnya menjadi titik balik, bukan hura-hura." ‘Habis gelap terbitlah terang’ adalah panggilan bagi kesadaran kolektif, bukan sekadar tagline. Tapi lihat sekarang, bahkan gelap pun dijadikan materi konten, parodi, drama, sensasi. Sementara realita perempuan di desa-desa, buruh migran, korban kekerasan domestik, tetap tak tersentuh," ujar Yeni tegas.
Ia menegaskan bahwa di tengah krisis kebenaran dan identitas hari ini, gerakan perempuan membutuhkan arah baru: bukan hanya membebaskan tubuh, tetapi juga membebaskan pikiran dan sistem sosial yang membelenggu.
"Emansipasi hari ini tak cukup dengan kebebasan menari atau berpakaian. Kita harus bicara tentang keadilan struktural, hak ekonomi, perlindungan hukum, ruang aman digital, dan pendidikan kritis. Itulah terang yang sesungguhnya," tutupnya.
Yeni mengajak publik untuk tidak terjebak dalam peringatan seremonial semata, melainkan memaknai ulang warisan Kartini sebagai panggilan untuk menggugat ketimpangan baru yang kini tersembunyi dalam bentuk-bentuk yang lebih canggih namun tetap menindas.
No comments