Breaking News

Jangan Hanya Formalitas, Penempatan Jabatan Harus Berdasarkan Kapasitas Nyata

Tedi Yusnanda N (Direktur Eksekutif Sarasa Institute) 

Penempatan figur pada jabatan strategis dalam pemerintahan tidak semestinya dilakukan atas dasar kepentingan politik atau administratif semata. Prinsip “the right man in the right place” menjadi penting terutama pada posisi-posisi yang membutuhkan keahlian dan pengalaman khusus, seperti jabatan duta besar atau utusan khusus untuk urusan pekerja migran Indonesia di kawasan Timur Tengah.

Hal ini ditegaskan oleh Direktur Eksekutif Sarasa Institute Pangandaran, Tedi Yusnanda N, saat dimintai pendapatnya terkait nama Yusri Addin Yusuf Albima, tokoh yang disebut-sebut layak dipertimbangkan untuk mengisi posisi tersebut.

“Kalau bicara urusan pekerja migran di Timur Tengah, terutama Arab Saudi, maka ini bukan wilayah biasa. Di sana, problem migran bersifat multidimensi: hukum, budaya, sosial, bahkan diplomasi informal. Karena itu, siapa pun yang ditempatkan harus benar-benar menguasai lapangan dan punya sejarah berinteraksi langsung dengan masalahnya,” ujar Tedi, Selasa (19/4/2025).

Tedi menilai, pengalaman Yusri Addin Yusuf Albima sangat khas dan jarang dimiliki oleh figur lain. Ia pernah menjadi tenaga kerja migran di Arab Saudi, bekerja sebagai penerjemah di kantor penempatan tenaga kerja lokal, aktif sebagai Ketua Umum serikat buruh migran, hingga menjadi petugas perlindungan di KBRI Oman dan Sudan. Bahkan, Yusri dikenal luas di kalangan pekerja migran sebagai tokoh yang berani berhadapan langsung dengan majikan untuk menyelamatkan para pekerja yang terjebak persoalan hukum atau kekerasan.

“Yusri adalah contoh dari praktisi migrasi sejati. Dia bukan hanya membaca laporan, tapi ikut mencatat langsung setiap luka dan perjuangan para migran kita,” tambah Tedi.

Bukan Sekadar Jabatan Seremonial

Dalam sejarah teori administrasi publik, prinsip “the right man in the right place” muncul sebagai reaksi terhadap birokrasi yang kaku. Teori ini diperkuat oleh gagasan meritokrasi modern yang dikembangkan sejak era Luther Gulick hingga Michael Young, yang menekankan bahwa penempatan seseorang dalam jabatan publik harus berbasis pada kemampuan, bukan koneksi.

Tedi menegaskan, jika negara sungguh-sungguh ingin menyelesaikan persoalan migran secara serius, maka jabatan seperti duta atau utusan khusus migran harus diisi oleh orang yang memang paham medan. “Arab Saudi bukan negara biasa. Sistem kafalah yang masih berlaku di sana sering membuat posisi pekerja sangat rentan. Kalau orang yang kita tugaskan tidak paham logika sosial dan budaya lokal, maka perlindungan akan jadi ilusi,” katanya.

Menurut Tedi, penempatan pejabat bukan hanya soal wajah negara, tapi menyangkut efektivitas pelaksanaan tugas. Ia berharap Presiden dan jajaran kementerian bisa melihat realitas ini dengan jernih.

Aspirasi dari Akar Rumput

Sejumlah organisasi buruh migran dan komunitas diaspora telah menyuarakan nama Yusri sebagai figur yang pantas dipertimbangkan secara serius. Dukungan datang dari berbagai kalangan, baik di dalam negeri maupun dari komunitas migran di Timur Tengah.

“Negara perlu berani menempatkan orang yang tepat, meski mungkin namanya tidak populer di meja kekuasaan. Tapi bagi ribuan migran di lapangan, nama seperti Yusri adalah simbol harapan,” tegas Tedi.

Ia menambahkan bahwa Sarasa Institute berencana menyusun rekomendasi resmi terkait pentingnya pembentukan posisi Duta Khusus Urusan Perlindungan Pekerja Migran di Kawasan Timur Tengah, dan mendorong agar proses seleksi dilakukan secara transparan dan meritokratik.

“Kita punya banyak PR di dunia migran, dan itu tidak bisa diselesaikan oleh orang-orang yang hanya tahu prosedur tapi tak pernah bersentuhan langsung dengan kenyataan,” pungkasnya.

No comments